Sunday, January 30, 2011

Dana Pinjaman Murah dan Cepat Untuk Infrastruktur

Kementerian Keuangan menawarkan pola pembiayaan alternatif yang lebih cepat dan sederhana tanpa harus menunggu keputusan di DPR. Dengan pembiayaan investasi ini, proyek infrastruktur di daerah dapat memperoleh dana murah tanpa prosedur rumit.

”Kalau memang memiliki niat tinggi untuk membangun daerahnya, ajukan saja (proposal pinjaman) ke Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Namun, harap diingat, ini bukan dana gratis, melainkan pinjaman yang harus dikembalikan. Seluruh pemangku kepentingan di daerah, baik DPRD, Muspida, maupun masyarakat harus sepakat bahwa ada alokasi dana yang perlu ditetapkan dalam APBD, yakni cicilan pokok dan pinjaman,” ungkap Kepala PIP Kementerian Keuangan Soritaon Siregar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (29/1).

Menurut Soritaon, contoh kesepakatan pinjaman yang dilakukan sangat cepat dan baru pertama kali dilakukan dalam jumlah besar adalah perjanjian kredit antara PIP dan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara senilai Rp 190 miliar. Dananya akan digunakan untuk membangun rumah sakit modern bernama Hospital Garden di Kendari.

Pembicaraan awal untuk perjanjian ini hanya berlangsung 20 menit antara Gubernur Sultra Nur Alam dan Soritaon. Lalu ditindaklanjuti dengan paparan Pemerintah Provinsi Sultra seminggu kemudian. Dan, dua minggu setelah itu sudah memasuki persiapan perjanjian, termasuk kunjungan lapangan PIP ke lokasi proyek rumah sakit yang akan dibiayai.

Suku bunga 8,5 persen

Pinjaman diputuskan dengan bunga 8,5 persen atau setara suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) plus 2 persen. Lebih murah dibanding bunga pinjaman yang awalnya ditetapkan 9 persen.

”Silakan cek pada pelaku usaha, tidak ada suku bunga kredit semurah ini. Dibuat dengan prosedur yang cepat,” kata Soritaon.

Gubernur Sultra Nur Alam mengatakan, dari total kebutuhan dana pembangunan rumah sakit sebesar Rp 350 miliar, kini masih membutuhkan dana Rp 240 miliar. Jumlah itu tidak mungkin ditutup dari APBD karena membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menutupnya.

Padahal, setiap tahunnya harga bahan bangunan dan alat rumah sakit minimal naik 20 persen. Bahkan, ada naik sampai 200 persen per tahun. Belum lagi risiko politik yang mungkin timbul dari pemimpin daerah yang enggan meneruskan proyek tersebut.

”Secara bisnis, membangun rumah sakit tujuh tahun dari sekarang sama sekali tidak masuk akal. Padahal, pengerjaan proyeknya sendiri bisa diselesaikan dalam masa dua tahun. Atas dasar itulah, Pemerintah Provinsi Sultra meminta pinjaman ke PIP,” kata Nur Alam.

Pemerintah Provinsi telah membebaskan lahan 17 hektar untuk membangun rumah sakit itu. Rencananya, rumah sakit ini sanggup menampung 500 pasien sekaligus, 70 di antaranya adalah pasien VIP, lima kamar super VIP, dan 52 layanan dengan perhatian khusus (ICU).

Dengan 12 spesialisasi dan satu spesialisasi yang belum ada di wilayah Indonesia timur, rumah sakit ini diharapkan akan menjadi tujuan utama pengobatan pasien dari Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan provinsi-provinsi di Sulawesi. Mereka membangun juga gedung administrasi yang digunakan sebagai gedung pertemuan dengan lobi yang luas.

”Gedung ini akan menghilangkan citra rumah sakit yang dikonotasikan bau obat dan menyeramkan,” kata Gubernur.

Direktur Rumah Sakit Umum Sultra dr Nurjayadin menyebutkan, dana pinjaman dari PIP itu digunakan membangun fasilitas inti rumah sakit yang menjadi sumber penghasilan utamanya, antara lain instalasi bedah, CTscan, laboratorium, jantung, dan radiologi. Rumah sakit itu diperkirakan akan mencapai pengembalian investasi dalam tujuh tahun.

”Kami memperbanyak ruang VIP karena di rumah sakit lama hanya 17 kamar. Banyak pasien yang pindah perawatan ke Makassar (Sulawesi Selatan). Kami akan kejar agar pada awal 2012, rumah sakit ini sudah dioperasikan,” katanya.

Target Inflasi Januari 2011 Bakal Terlampaui

Rencana pemerintah menerapkan program pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi dan pencabutan tarif dasar listrik sistem capping bakal mendorong inflasi 2011 ke level 6,1-6,62 persen. Hal ini berarti inflasi bakal di atas asumsi APBN 2011, yakni 5,3 persen.

Demikian Paparan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro berjudul ”Pencapaian Kinerja Ekonomi 2011 dan Mitigasi Risiko Inflasi 2011”. Bahan paparan ini diterima Kompas di Jakarta akhir pekan lalu.

Pengaturan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi diperkirakan akan menyebabkan tambahan inflasi 0,5-0,87 persen. Adapun pencabutan capping (batas maksimal kenaikan) tarif dasar listrik (TDL) akan menyumbang kenaikan inflasi 0,3-0,45 persen.

Dengan demikian, total peningkatan inflasi dari kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan pencabutan capping TDL adalah 0,8-1,32 persen.

Atas dasar itu, maka laju inflasi yang sangat mungkin terjadi, menurut Bambang, hingga akhir 2011 adalah 6,1-6,62 persen.

Prediksi terhadap inflasi 2011 itu didasarkan pada dua asumsi, yaitu pengaturan konsumsi BBM bersubsidi akan menyebabkan 50 persen kendaraan beralih ke BBM nonsubsidi. Kendaraan tersebut adalah mobil pribadi dan dinas pemerintah.

Asumsi kedua, setelah capping TDL dilepas, maka akan ada kenaikan TDL industri pada kisaran 20-30 persen.

Bambang mengatakan, inflasi juga bisa didorong oleh naiknya harga minyak dunia. Badan Energi Amerika Serikat memperkirakan rata-rata harga minyak mentah dunia di sepanjang tahun 2011 di kisaran 93,7 dollar AS per barrel.

Angka itu lebih tinggi 13 dollar AS dari asumsi harga minyak mentah dalam APBN 2011, yakni 80 dollar AS per barrel.

Lonjakan harga minyak mentah internasional sebesar 10 persen, kata Bambang, akan mendorong kenaikan harga minyak goreng, tepung terigu, dan kedelai masing-masing 0,46 persen, 0,09 persen, dan 0,0001 persen.

”Bagaimanapun kami tetap akan berpegang pada asumsi APBN 2011, yakni 5,3 persen dan target 5 plus minus 1 persen,” ujar Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati.

Tingkat kemiskinan naik

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohammad Ihsan sebelumnya menyatakan, setiap kenaikan inflasi 1 persen akan menaikkan tingkat kemiskinan 0,5 persen.

”Selain itu, setiap kenaikan 10 persen harga beras juga akan meningkatkan kemiskinan 1,3 persen,” ujarnya.

Padahal, mulai April 2011, pemerintah atas seizin DPR akan memberlakukan program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. BBM bersubsidi hanya untuk angkutan umum dan sepeda motor. Adapun mobil berpelat hitam dilarang menggunakan BBM bersubsidi.

Dengan demikian, pemilik mobil pelat hitam harus menggunakan BBM nonsubsidi, seperti pertamax yang harganya mencapai Rp 7.850 per liter. Adapun harga BBM bersubsidi premium hanya Rp 4.500 per liter. Dengan demikian, ada tambahan beban Rp 3.350 per liter, atau sekitar 74,44 persen.

PT. INCO Menelantarkan Tambang Nikel

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memberi tenggat hari ini, Senin (30/1), bagi Inco untuk menentukan sikap atas kelanjutan operasi pertambangannya di provinsi itu. Perusahaan nikel ini dinilai menelantarkan areal pertambangan yang sudah memiliki izin usaha di Sultra.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Kendari, Sabtu (29/1), menyatakan, Inco telah memiliki izin usaha pertambangan di Sultra sejak tahun 1968 dan memperpanjang izinnya hingga tahun 2025.

Namun, masyarakat Sulawesi Tenggara menilai Inco tidak berniat mengembangkan perekonomian di wilayah tambangnya karena tidak melakukan operasi tambang. Dengan demikian, masyarakat di sekitar areal tambang Inco serta Sulawesi Tenggara tidak memperoleh nilai tambah dari keberadaan Inco.

”Selama di Sulawesi Tenggara, Inco baru berkontribusi menyumbang Rp 15 miliar untuk membangun rumah sakit. Selebihnya, tidak ada penerimaan apa pun dari mereka, baik pajak, pendapatan negara bukan pajak, royalti, pengembangan komunitas, maupun CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) karena memang tidak ada operasi tambang,” ujar Nur Alam.

Oleh karena itu, ada tiga opsi yang ditawarkan kepada Inco.

Pertama, menyerahkan kembali seluruh izin usaha pertambangan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kedua, melanjutkan pertambangan dan wajib membangun smelter atau fasilitas pengolahan nikel. Ketiga, bekerja sama dengan mitra strategis mengolah kawasan tambangnya.

”Lebih baik Inco mundur saja. Nanti kami olah sendiri tambang itu,” ujar Nur Alam.

Kondisi Inco, menurut Nur Alam, berbeda dengan PT Antam, yang juga melakukan usaha pertambangan di Sultra. Badan usaha milik negara ini

berkontribusi aktif dengan membayar royalti tambang nikel. Antam ditargetkan membayar royalti pada 2011 sebesar Rp 70 miliar.

Tahun 2008, royalti yang disetorkan ke kas Pemerintah Provinsi Sultra Rp 103 miliar, tahun 2009 turun menjadi Rp 35 miliar. Royalti 2010, yang dibayarkan 2011 mencapai Rp 70 miliar.

Saat ini ada 20 usaha pertambangan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara.

Inflasi Kebutuhan Pokok Sudah Meresahkan

Kabar tentang kenaikan harga 12 jenis komoditas pangan pokok pada Januari 2011 dibandingkan harga Januari 2010 seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah dan juga masyarakat tentang seriusnya laju inflasi kali ini. Inflasi berkorelasi pada melemahnya daya beli masyarakat.

Bukan hanya masyarakat kecil yang akan menderita. Dunia usaha, terutama di sektor ritel, juga akan terkena dampak menurunnya pembelian. Kita berharap semoga tidak ada dampak lanjutan pada menurunnya daya serap industri atas tenaga kerja akibat ekspansi usaha tertunda.

Akan tetapi, kewaspadaan terhadap lonjakan inflasi bukan hanya atas kenaikan harga komoditas pangan yang sudah terjadi. Laju inflasi justru perlu dilihat dengan saksama karena ada banyak faktor yang bisa mendorong lonjakan harga pada sebelas bulan ke depan.

Pertama, setidaknya dalam sebulan ke depan, ada potensi kenaikan harga beras karena masa panen raya belum tiba. Tentu saja ledakan harga beras tersebut bisa diredam oleh impor yang dilakukan Bulog sehingga pemerintah harus memastikan impor ini berjalan lancar.

Namun perlu diingat, dengan impor beras dan panen raya pun, harga komoditas ini tetap naik di sepanjang tahun 2010. Lihat saja, harga beras umum antara Januari 2010 dan Januari 2011 naik 22,74 persen menjadi Rp 9.200 per kg. Harga beras termurah juga naik 22,6 persen menjadi Rp 7.452 per kg.

Kedua, mulai April 2011, pemerintah memberlakukan program pengaturan bahan bakar minyak (BBM), yakni semua mobil berpelat hitam wajib menggunakan BBM nonsubsidi.

Pemilik mobil pribadi tidak lagi diperkenankan menikmati bensin Rp 4.500 per liter, tetapi minimal pertamax dengan harga Rp 7.850 per liter. Ada kenaikan beban ekonomi sebesar Rp 3.350 per liter atau 74,44 persen. Hal itu dengan asumsi harga minyak mentah di pasar internasional relatif tetap.

Ketiga, jangan terlalu berharap tidak ada kenaikan harga minyak mentah dunia. Sebab, Badan Energi Amerika Serikat memperkirakan rata-rata harga minyak mentah dunia 2011 pada kisaran 93,7 dollar AS per barrel. Sekitar 13 dollar AS lebih tinggi dari asumsi harga minyak mentah yang digunakan APBN 2011, yakni 80 dollar AS per barrel.

Keempat, lonjakan harga minyak mentah tersebut selalu menjadi faktor pendorong kenaikan harga komoditas pangan selain beras. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sudah memahami hal ini dengan memperhitungkan kemungkinan kenaikan harga minyak goreng, tepung terigu, dan kedelai, masing-masing 0,46 persen; 0,09 persen; dan 0,0001 persen. Itu dengan asumsi kenaikan harga mentah dunia hanya 10 persen di atas asumsi APBN 2011.

Kelima, perubahan iklim yang ekstrem diperkirakan tidak akan bisa dihindari lagi hingga akhir tahun 2011. Kemarau basah membuat petani yang biasa menanam palawija bisa saja beralih ke padi. Pasokan bahan baku pakan ternak bisa berkurang, yang dapat memicu kenaikan harga daging.

Keenam, akibat masalah pasokan bahan pangan dan pakan ternak yang terganggu, Indonesia akan sangat bergantung pada impor. Ada risiko inflasi karena harga bahan pangan dan bahan baku pakan ternak di pasar dunia pun meningkat.

Ketujuh, dari sisi moneter, Bank Indonesia tidak akan serta- merta menaikkan suku bunga acuan dari level 6,5 persen sejak Agustus 2009. Sebab, kenaikan suku bunga tidak akan langsung menurunkan inflasi yang lebih diakibatkan oleh masalah harga pangan yang berfluktuasi. Selain itu, menaikkan suku bunga acuan juga hanya menjadi pemanis tambahan pada mengalirnya dana-dana panas jangka pendek ke dalam negeri.

Dengan ketujuh faktor tersebut, pemerintah sebaiknya maklum bahwa tidak mudah mengarahkan laju inflasi sesuai dengan asumsi APBN 2011, yakni 5,3 persen atau ditargetkan 5 persen plus minus 1 persen.

Atas perhitungan itu, laju inflasi yang sangat mungkin terjadi hingga akhir tahun adalah 6,1-6,62 persen. Tingginya inflasi perlu diartikan sebagai potensi kenaikan harga barang yang mencekik leher masyarakat miskin. Penciptaan lapangan kerja baru seharusnya menjadi prioritas pemerintah

Program Kewirausahaan Yang Dicanang Pemerintah Tidak Memiliki Tujuan

Program membangun kewirausahaan saat ini masih berjalan sendiri-sendiri. Belum ada sinergi dan koordinasi antar-kementerian dalam menjalankan program membangun kewirausahaan.

Ketua Tim Koordinasi Pengembangan Wirausaha Indonesia Kementerian Koordinator Perekonomian Handito akhir pekan lalu mengingatkan agar ada sinkronisasi program yang mendorong tumbuhnya kewirausahaan.

”Kita perlu sinkronkan program-program yang mendorong tumbuhnya wirausaha,” ujarnya dalam persiapan pencanangan Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) di Gedung SMESCo UKM, Jakarta. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan 2-4 Februari.

Menurut Handito, menghadapi tantangan ke depan yang kian berat perlu ada perubahan paradigma. ”Jadi, bukan hanya mendorong kalangan muda menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi juga didorong semangat meningkatkan kelas dari pelaku usaha mikro ke usaha kecil, dari pelaku usaha kecil ke usaha menengah, dan dari usaha menengah ke usaha besar,” katanya.

Untuk itu dibutuhkan sinergi antar-kementerian dalam menciptakan wirausaha mandiri, kreatif, inovatif, produktif, dan berdaya saing global.

Diharapkan, dalam empat tahun ke depan, GKN mampu menciptakan 500.000 wirausaha baru. ”Pencapaian ini berat sehingga perlu sinergi yang sangat kuat,” ujar Handito.

Menurut Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Agus Muharam, proporsi wirausaha Indonesia 2009 baru 0,24 persen dari jumlah penduduk, atau sekitar 500.000 orang.

Jumlah wirausaha di Indonesia itu relatif kecil bila dibandingkan dengan Singapura. Jumlah wirausaha di Singapura mencapai 7,2 persen dari jumlah penduduknya. Adapun di Malaysia mencapai 2,1 persen dari jumlah penduduknya, Thailand 4,1 persen, Korea Selatan 4 persen, dan Amerika Serikat 11,5 persen dari jumlah penduduknya.

Menurut sosiolog David McCleiland, untuk membangun ekonomi bangsa menjadi bangsa yang maju, Indonesia membutuhkan minimal 2 persen wirausaha dari populasi penduduknya, atau sekitar 4,8 juta wirausaha.

Untuk mencapai jumlah 4,8 juta wirausaha, menurut Agus, Indonesia membutuhkan waktu hingga tahun 2030.

Hasil sensus penduduk tahun 2008 menyebutkan, penduduk Indonesia 240,56 juta orang, dengan angkatan kerja 111,48 juta orang. Adapun yang bekerja penuh maupun paruh waktu 98,4 juta orang, dan pengangguran 8,4 juta orang atau 8,45 persen dari total angkatan kerja.

Untuk mengatasi masalah lapangan kerja, maka penciptaan wirausaha menjadi semakin penting. ”Dalam GKN, bersama dengan 13 kementerian di bawah Menko Perekonomian akan mencanangkan gerakan kewirusahaan,” kata Agus.

Ia menegaskan, selama ini sudah banyak gerakan kewirausahaan yang dijalankan. ”Tetapi, kita akan menjadikan momentum untuk sama-sama memantapkan kembali pelaksanaan kebijakan program dan kegiatan di setiap kementerian dan lembaga supaya bisa lebih tepat sasaran,” ujar Agus

Pemerintah Harus Membuat Blue Print Industri Hilir

Pemerintah harus memetakan potensi industri hilir yang ingin dikembangkan. Tanpa arah yang jelas, potensi pertumbuhan industri berorientasi penciptaan lapangan kerja bisa terganggu.

Demikian disampaikan Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Jakarta, Minggu (30/1). Indonesia memiliki 7,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan memproduksi 21,6 juta ton minyak sawit mentah (CPO) tahun 2010.

”Pemerintah harus hati-hati mengembangkan industri hilir sebelum tahu persis kebutuhan pasar potensi bisnisnya. Jangan sampai membangun industri hilir hanya untuk ’kinerja’ sektoral, tetapi tidak memberikan dampak pada pro job dan pro poor ataupun pro growth,” ujar Joko.

Gapki meminta pemerintah membuat studi dan menetapkan jenis industri hilir yang berpotensi bagi pengembangan ekonomi nasional. Mereka khawatir pemerintah tidak konsisten mendukung dunia usaha mengembangkan industri hilir.

Hal ini belajar dari pengalaman dunia usaha berinvestasi bahan bakar nabati saat harga minyak bumi menembus 140 dollar AS per barrel tahun 2008. Meski ada peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang mewajibkan pencampuran bahan bakar nabati dalam konsumsi energi industri, tetapi pemerintah tak menyelesaikan berbagai hal teknis dan fiskal berkait penetapan harga BBM yang bersaing di pasar komersial.

Menurut Joko, daya serap bahan bakar nabati domestik sangat besar. Akan tetapi, pemerintah harus menyiapkan insentif dan subsidi untuk merangsang dunia usaha masuk ke sektor hilir.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, pemerintah segera meluncurkan kebijakan fiskal mendorong industri mengekspor bahan olahan. Pemerintah menyiapkan insentif bagi pengusaha yang mengolah bahan mentah dan menciptakan nilai tambah di dalam negeri serta disinsentif bagi mereka yang mengekspor produk mentah

Hanya BTN Yang Sudah Mengucurkan Kredit Perumahan Bersubsidi

Hingga kini hanya satu bank, yaitu Bank Tabungan Negara, yang menyalurkan skim pembiayaan perumahan bersubsidi untuk masyarakat. Bank lain belum menunjukkan perannya dalam penyaluran pembiayaan perumahan bersubsidi.

Padahal, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) telah digulirkan pemerintah sejak Oktober 2010.

Menurut pemerintah, selain Bank Tabungan Negara (BTN), beberapa bank telah menyampaikan komitmennya untuk menyalurkan FLPP. Bank-bank tersebut adalah Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia, Bank DKI, dan beberapa bank pembangunan daerah.

Group Head Mortgage and Housing Bank DKI Fermiyanti di Jakarta, akhir pekan lalu, menyatakan, Bank DKI hingga kini masih dalam tahap penyesuaian, selain menyiapkan dana jangka panjang untuk penyaluran FLPP.

Menurut Fermiyanti, tidak tertutup kemungkinan Bank DKI mencari sumber dana jangka panjang melalui kerja sama dengan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).

Sumber dana jangka panjang dibutuhkan karena selama ini perbankan menghadapi risiko ketidaksinkronan, antara sumber dana jangka pendek dan kredit jangka panjang.

Sumber dana perbankan adalah dana pihak ketiga yang jangka waktunya relatif pendek, sedangkan kredit pemilikan rumah (KPR) FLPP menerapkan suku bunga tetap untuk jangka waktu hingga 15 tahun.

Direktur Utama PT SMF Erica Soeroto mengemukakan, pihaknya siap berpartisipasi sebagai penyedia dana jangka panjang bagi perbankan guna membiayai FLPP.

Pola pendanaan itu, kata Erica, berupa pembelian aset kredit pemilikan rumah (KPR) berjangka (term purchase) dan sekuritisasi aset KPR perbankan.

Tak bisa dipaksakan

Menanggapi kelambanan bank dalam menyalurkan FLPP, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa menyatakan, penyaluran FLPP tak bisa dipaksakan. Alasannya, alokasi kredit perumahan di tiap bank berbeda, tidak sama satu dengan yang lain.

”Mereka (bank) masih dalam tahap mempelajari. Alokasi kredit perumahan di bank-bank itu kan hanya beberapa persen,” ujarnya.

Menurut Suharso, Kementerian Perumahan Rakyat tidak memprioritaskan penyaluran FLPP melalui bank tertentu. Penyaluran KPR FLPP dapat dilakukan oleh semua bank yang telah siap.

FLPP merupakan subsidi kredit perumahan untuk masyarakat menengah bawah dengan gaji pokok di bawah Rp 4,5 juta per unit. FLPP berupa suku bunga tetap (fixed rate) 8,15-9,95 persen untuk jangka waktu 15 tahun.

Program FLPP ini diharapkan dapat mengatasi kekurangan rumah untuk masyarakat menengah bawah. Hingga saat ini, total kekurangan rumah telah mencapai 8,2 juta unit.

Dana FLPP bersumber dari pemerintah dan perbankan. Adapun penyalurannya dilakukan oleh perbankan.

Tahun 2011, total anggaran pemerintah untuk penyaluran FLPP mencapai Rp 6 triliun. Dari anggaran itu ditargetkan akan mampu memberikan pembiayaan untuk 200.000 unit rumah

PLN Siap Membeli Listrik Dari Swasta

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyatakan kesiapannya dalam membeli listrik dari pusat listrik tenaga panas bumi yang dikembangkan pengembang listrik swasta. Dalam membeli listrik dari PLTP itu, PLN menerapkan dua opsi, yaitu negosiasi bisnis dan penugasan pemerintah.

Menurut Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN Bambang Dwiyanto, Minggu (30/1) di Jakarta, pihaknya siap membeli listrik dari PLTP yang dikembangkan swasta. Syaratnya, pembelian listrik itu sesuai ketentuan yang ada, harga yang wajar, dan sesuai prinsip transparansi perusahaan atau good corporate governance.

Terkait hal itu, PLN menerapkan dua opsi, yakni opsi negosiasi bisnis, di mana PLN mengajak calon pengembang yang memiliki wilayah kerja pertambangan (WKP) untuk bernegosiasi harga jual-beli listrik berdasarkan syarat-syarat yang disepakati bersama.

Opsi lain adalah penugasan pemerintah. Jika pemerintah menugaskan kepada PLN agar menerima hasil tender WKP dengan pemerintah daerah, PLN siap melaksanakan. Selama ini PLN diminta menandatangani perjanjian jual-beli tenaga listrik dengan pengembang sesuai hasil pelelangan pemerintah daerah tanpa negosiasi lagi.

”Kami tidak bisa melaksanakan hal itu karena ketentuan mengharuskan adanya klarifikasi dan negosiasi. Karena itu, PLN tidak bisa menandatangani perjanjian jual-beli tenaga listrik dengan harga hasil pelelangan yang tidak melibatkan PLN,” kata Bambang.

Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Luluk Sumiarso, beberapa waktu lalu, menyatakan, dari hasil lelang wilayah kerja panas bumi, belum ada satu pun yang sampai tahap perjanjian jual-beli energi listrik dengan PLN.

”Sekarang kami sedang mencari terobosan-terobosan dengan peraturan presiden dan segala macam untuk menugaskan PLN agar melaksanakan ini. Hal itu karena tender wilayah kerja (WK) panas bumi dilaksanakan pemerintah daerah, pihak PLN merasa tidak wajib membeli listrik yang dihasilkan dari pembangkit itu.

Adapun investor enggan melakukan eksplorasi karena belum ada kepastian harga beli listrik dengan PLN, padahal biaya investasi awal untuk panas bumi sangat besar.

Sejumlah WK panas bumi yang belum memiliki perjanjian jual-beli listrik dengan PLN antara lain, WK Jaboi dengan harga Rp 1.705 per kWh, WK Cisolok Cisukarame Jawa Barat Rp 630 per kWh, WK Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat Rp 533,6 per kWh. Wilayah kerja lain di antaranya WK Jailolo di Maluku Utara dan WK Suoh Sekincau di Lampung.

Saat ini pemerintah sedang mengembangkan sumber energi primer terbarukan, terutama yang ramah lingkungan untuk dikonversi menjadi energi listrik, salah satunya adalah panas bumi.

Indonesia memiliki potensi panas bumi sekitar 27.000 megawatt dan sesuai RUPTL 2010- 2019 ditargetkan penambahan kapasitas PLTP sampai 2019 sebesar 5.990 MW atau rata-rata 600 MW per tahun.

Simpanan Masyarakat Pada Bank Meningkat Menjadi 150 Triliun

Simpanan masyarakat pada bank umum selama lima tahun terakhir terus meningkat. Hal ini, antara lain, adalah indikasi bahwa masyarakat masih memercayai sistem perbankan di Indonesia. Namun, kenaikan simpanan ini masih lebih rendah dari kenaikan kredit.

Per akhir tahun 2010, simpanan berupa deposito, tabungan, giro, sertifikat deposito, dan simpanan lain pada bank umum mencapai Rp 2.370,98 triliun, dengan 97,204 juta rekening.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tren simpanan masyarakat selama lima tahun terakhir meningkat. Nilai simpanan masyarakat tertinggi terjadi pada 2010, yaitu mencapai Rp 404,15 triliun.

Simpanan pada akhir November 2010 mencapai Rp 2.241,79 triliun, dalam 96,615 juta rekening. Menjelang akhir 2010, terjadi penambahan 589.039 rekening dengan nilai Rp 129,19 triliun.

Kenaikan dari bulan November ke Desember 2010 tersebut sebagian besar berasal dari dana murah, yakni tabungan, sebesar Rp 59,21 triliun. Disusul kenaikan nilai rekening deposito sebesar Rp 46,06 triliun dan giro sebesar Rp 24,66 triliun.

Namun, menurut pengamat ekonomi Mirza Adityaswara, kenaikan simpanan masyarakat di perbankan di Indonesia biasanya selalu lebih rendah daripada kenaikan kredit.

Tahun 2010, misalnya, kenaikan simpanan di perbankan 16 persen, sedangkan kenaikan kredit sebesar 23 persen.

”Jadi, jika dikurangi bunga sekitar 6 persen, kenaikan pokok simpanan baru hanya 10 persen,” ujar Mirza di Jakarta, Minggu (30/1).

Sementara ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto berpendapat, kenaikan simpanan masyarakat selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa masyarakat masih memercayai sistem perbankan di Indonesia.

”Dengan demikian, masyarakat memilih untuk menyimpan uang mereka di bank,” kata dia.

Simpanan di bank, kata Ryan, juga bisa digunakan untuk transaksi keuangan. ”Masyarakat dimudahkan dalam bertransaksi, misalnya membayar tagihan, dengan memiliki rekening dan simpanan di bank,” tutur Ryan.

Bunga di atas inflasi

Menurut Mirza, masyarakat masih memilih produk simpanan perbankan untuk menginvestasikan dananya. Ini karena produk investasi, seperti reksa dana, belum bisa menggantikan produk deposito karena jumlahnya baru sekitar Rp 150 triliun; bandingkan dengan dana pihak ketiga di perbankan yang mencapai Rp 2.100 triliun.

”Karena itu, bagi masyarakat penabung, penting suku bunga harus di atas inflasi karena sebagian masyarakat tabungannya masih dalam bentuk dana pihak ketiga, bukan di pasar modal,” papar Mirza.

Terkait penjaminan simpanan oleh pemerintah, menurut Mirza, akan sangat ditentukan stabilitas makro domestik, makro global, dan perbankan.

Dari sisi stabilitas makroekonomi domestik dan global, situasi kini jauh lebih baik dibandingkan dengan akhir 2008 saat pemerintah menaikkan penjaminan dana pihak ketiga di perbankan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.

”Namun, dari sisi stabilitas politik, saat ini terasa ada peningkatan suhu politik,” kata Mirza.

Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani sebelumnya mengatakan, pemerintah berwenang menaikkan atau menurunkan penjaminan simpanan. Saat ini batas maksimal penjaminan Rp 2 miliar, dengan besaran bunga di bawah suku bunga penjaminan.

”Di Indonesia, garansi penuh 100 persen. Di beberapa negara, seperti Malaysia, Hongkong, persentase penjaminan makin berkurang. Oleh karena itu, sedang dipikirkan apakah mungkin penjaminan diturunkan,” kata dia.

Menurut Ryan, pemerintah bisa saja mengurangi nilai atau persentase penjaminan, tak lagi 100 persen. Namun, harus diyakini bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sudah kuat. Selain itu, bank juga dikelola dengan baik.

”Masyarakat harus yakin bahwa pelaku industri keuangan taat aturan. Para bankir juga kerja dengan profesional,” ujar Ryan.

Ia menegaskan, selama masih ada penyelewengan, sulit bagi pemerintah menurunkan tingkat penjaminan. ”Kalau masih ada fraud, saya kira pemberlakuan penjaminan yang tidak lagi 100 persen masih berat untuk diterapkan,” tutur Ryan.

Oleh karena itu, meskipun ada penjaminan, pengawasan terhadap perbankan harus ketat. ”Ini perlu agar perbankan melaksanakan peraturan dengan prudent,” tutur Ryan

Friday, January 28, 2011

Mobil Plat Hitam Diberi Dua Opsi Yaitu Memakai BBM Non Subsidi atau Gas Cair

Ada dua opsi yang bisa diambil pengguna mobil pribadi saat pemerintah menerapkan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi pada bulan April. Opsi tersebut adalah menggunakan bahan bakar minyak nonsubsidi atau menggunakan gas cair.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita H Legowo, Jumat (28/1), usai pengukuhan pengurus Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, di Jakarta.

Opsi pertama, pengguna kendaraan pelat hitam bisa membeli Pertamax. Opsi kedua adalah menggunakan bahan bakar gas cair (liquiefied gas vehicle/LGV).

”Kami ingin mendorong LGV untuk mobil pribadi, tetapi sosialisasinya kurang,” katanya.

Evita menjelaskan, apabila menggunakan LGV maka harus memiliki converter kit. ”Rencananya, kami akan berbicara dengan teman-teman ATPM (agen tunggal pemegang merek) untuk menyiapkan sekaligus,” ujarnya.

Dengan demikian, dalam satu kendaraan pribadi akan ada dua tangki pengisian bahan bakar, yakni bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas (BBG) cair. ”Kini, delapan SPBU di Jakarta sudah menjual LGV. Untuk DKI Jakarta, tahun ini selesai 18 SPBU,” tutur Evita.

Guna mendorong pemakaian LGV, pemerintah akan mengkaji insentif untuk converter kit atau tidak. ”Dari perhitungan kami, dalam waktu 1-2 tahun sudah tertutupi karena selisih harganya jauh. LGV hanya Rp 3.600 per liter, sedangkan harga premium bersubsidi Rp 4.500 per liter,” kata Evita.

Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PPP, Romahurmuziy, pemerintah belum siap mengendalikan BBM bersubsidi. ”Persiapan pemerintah terlalu sunyi. Belum ada kesiapan sosialisasi kepada warga yang dialihkan produknya maupun kesiapan petugas SPBU mengidentifikasi kendaraan yang berhak menerima premium,” tuturnya.

Di Argentina, misalnya, kata Romahurmuziy, negara memfasilitasi BBG cair itu sebelum melaksanakan konversi. Hasilnya 80 persen transportasi darat di Argentina beralih ke BBG cair.

Pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto pesimistis, pembatasan BBM bersubsidi bisa menyelesaikan masalah subsidi BBM. ”Tidak ada jaminan bahwa pemerintah tidak akan teriak lagi jika harga minyak dunia menembus 110 dollar AS,” ujar dia.

Kebijakan ini diterapkan, menurut Pri Agung, karena pemerintah tidak berani menaikkan harga BBM ketika besaran subsidi naik. Padahal, ada beberapa opsi yang bisa dikaji, misalnya menaikkan harga BBM bersubsidi secara bertahap hingga mencapai harga keekonomian.

Opsi lain, menerapkan pembatasan BBM bersubsidi. Namun, harga bagi pengguna kendaraan pribadi Rp 5.500 atau Rp 6.000 per liter. ”Jadi, harga BBM untuk mobil pelat hitam tidak diserahkan ke pasar yang terus naik harganya,” katanya.

Bank Mandiri Akan Buka Cabang Di Shanghai

Direktur Utama Zulkifli Zaini, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (28/1), mengatakan, Bank Mandiri menjadi satu-satunya bank dengan struktur internasional dari sisi permodalan.

”Tambahan dana akan kami gunakan untuk memperkuat struktur permodalan. Sesuai rencana, tahun ini kami akan membuka cabang di Shanghai, China. Saat ini sedang dalam proses rekrutmen dan persiapan teknologi informasi,” ungkap Zulkifli.

Saat ini, Bank Mandiri sudah membuka cabang di Timor Leste; Kuala Lumpur, Malaysia; Hongkong; Singapura; London; dan Kepulauan Cayman.

Dari penerbitan saham baru (rights issue), Bank Mandiri diharapkan bisa memperoleh dana Rp 11,68 triliun. Sebanyak 2,336 miliar lembar saham baru ditawarkan Rp 5.000 per lembar.

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang digelar pada Jumat (28/1) menyetujui rencana tersebut. Selanjutnya, masa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu akan diselenggarakan pada 14-21 Februari 2011.

Harga saham Bank Mandiri pada penutupan bursa, Jumat sore kemarin, Rp 6.050 per lembar. Harga terendah pada perdagangan kemarin tercatat Rp 5.900, sedangkan tertinggi Rp 6.050.

Selain dari penerbitan saham baru, Bank Mandiri juga akan memperoleh dana Rp 1,4 triliun dari hasil penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) PT Garuda Indonesia.

Jumlah itu terdiri dari dua komponen, yakni konversi penyertaan saham sebesar Rp 967,869 miliar dan restrukturisasi utang Garuda Rp 331 miliar.

Sisa utang Garuda

Konversi penyertaan saham tersebut merupakan sisa utang Garuda Indonesia. Harga saham perdana Garuda sudah ditetapkan Rp 750 per lembar.

Thomas Arifin, Direktur Treasury, Financial Institution, & Special Asset Management Bank Mandiri, mengatakan, uang tunai yang dihimpun Bank Mandiri tahun lalu sebesar Rp 2,4 triliun.

”Dengan adanya IPO Garuda, tahun ini diharapkan dapat Rp 1,4 triliun lagi. Ditambah sejumlah dana lagi, total akan mencapai Rp 2 triliun,” kata Thomas. Jumlah itu belum termasuk tambahan dana dari penawaran saham terbatas sebesar Rp 11,68 triliun.

Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri Pahala N Mansury memaparkan, per September 2010, ekuitas Bank Mandiri mencapai Rp 39 triliun.

Dengan tambahan modal dari rights issue dan operasional laba maka total ekuitas Bank Mandiri sebesar Rp 50 triliun.

Menurut Zulkifli, tambahan modal itu akan digunakan untuk pertumbuhan Bank Mandiri. Tahun 2011, bank BUMN ini menargetkan pertumbuhan kredit 20-22 persen.

Tambahan modal yang akan diperoleh Bank Mandiri diharapkan dapat menjaga rasio kecukupan modal (CAR) pada posisi 15-16 persen.

Per September 2010, kredit Bank Mandiri mencapai Rp 230,1 triliun dengan rasio kredit bermasalah net 0,74 persen. Aset Bank Mandiri meningkat menjadi Rp 408,3 triliun pada akhir triwulan III-2010.

Adapun laba bersih per September 2010 mencapai Rp 6,4 triliun. Laporan keuangan hasil review bulan Oktober 2010 menyebutkan, laba Bank Mandiri dalam 10 bulan pertama tahun 2010 mencapai Rp 7,33 triliun.

Sementara itu, Presdir PT Mandiri Investasi Abiprayadi Riyanto menyebutkan, pencapaian dana kelola pada tahun 2010 sebesar Rp 20 triliun.

Abiprayadi optimistis, dana kelolaan dapat tumbuh 30 persen pada tahun ini. ”Pertumbuhan kelas menengah akan meningkatkan prospek produk investasi,” katanya.

Menurut Direktur Mandiri Investasi Andreas Muljadi Gunawidjaja, tahun ini akan diluncurkan 15-20 produk baru dan mayoritas reksa dana terproteksi. Andreas mengemukakan, ada rencana ekspansi ke pasar regional dengan membuka akses bagi investor asing untuk berinvestasi pada instrumen berbasis portofolio Indonesia.

Direktur Mandiri Investasi Wendy Isnandar menambahkan, fokus tahun ini ialah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Namun, potensi di Korea dan Jepang juga akan dijajaki. Produk reksa dana masih terkonsentrasi di Jabodetabek dan kota-kota besar di Indonesia, dengan tingkat penetrasi rendah.

Ide Strategis Indika Energi Menganggap Upah Buruh Sebagai Modal dan Bukan Biaya

Akuisisi menjadi ”grand strategic”. Hanya urusan mengakuisisi itu relatif gampang ditangani. Tantangan terbesar adalah mempertahankan sumber daya manusia agar tetap sebagai investasi, bukan beban biaya bagi perusahaan. Kalau dipandang sebagai beban, perusahaan pasti akan mencari celah untuk selalu memotong gajinya.

Pemikiran itulah yang kerap menggelayuti Mohammad Arsjad Rasjid Prabu Mangkuningrat (40), Co-Chief Executive Officer (CO-CEO) PT Indika Energy Tbk, yang dalam lima tahun (akhir tahun 2005-2010) mampu mengembangkan nilai aset industri energi batu bara berlipat ganda, dari 150 juta dollar AS menjadi senilai 2,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 22,5 triliun).

Pria kelahiran Jakarta, 16 Maret 1970 ini mencetuskan ide ”gila” untuk membawa Indika Energy bukan semata-mata menjadi industri pertambangan batu bara, tetapi juga industri yang memiliki kekuatan nilai tambah dari hulu ke hilir.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Arsjad di Jakarta, Kamis (20/1).

Bagaimana SDM dijadikan kekuatan membangun industri Indika?

Ini tantangan terbesar saya. Setelah mengakuisisi sejumlah perusahaan untuk mendukung kegiatan industri pertambangan kami, tantangan yang harus saya lalui adalah mengupayakan untuk mempertahankan SDM dan menyatukan kelompok tua dan muda untuk mau berkomitmen membangun industri ini.

Pembinaan leadership yang merupakan kunci. Yang muda haruslah diberikan kepercayaan untuk memimpin. Itulah yang saya lakukan dengan membuat kegiatan semacam outbound, di mana kelompok muda ditempatkan sebagai pemimpin. Yang tua, ya harus menjadi anggotanya.

Karena itu, saya melakukan ide ”gila” di tingkat manajemen dengan melakukan transformasi manajemen. Bukan berarti kita perusahaan jelek, kalah, dan tidak performing, melainkan diartikan secara continuous improvement. Artinya, kami mencanangkan komitmen untuk tidak terlena, puas diri, tetapi sama-sama fokus membangun industri ini.

Apa arti penghargaan The Best Indonesian Executive 2010 dari Asiamoney dan beberapa penghargaan lainnya? (Indika Energy juga meraih The Best Medium-Cap Corporate of The Year 2010 dari Asiamoney dan Asia Best Managed Companies 2011 dari Euromoney)?

Ini adalah simbol yang bukan disediakan hanya untuk saya sebagai pribadi, melainkan juga penghargaan besar bagi keseluruhan manajemen. Yang menarik, penentuan sebagai CEO terbaik itu ditentukan lewat voting yang respondennya adalah analis, bankers, investor, dan sebagainya.

Penghargaan ini merupakan simbol kepercayaan terhadap manajemen Indika Energy. Memang saya dipilih sebagai CEO terbaik, tetapi secara internal, saya mengatakan inilah penghargaan bagi manajemen sebagai team work yang membawa perubahan besar.

Strategi apa yang Anda lakukan?

Dahulu banyak orang mempertanyakan, bahkan meragukan, tiga pilar strategi perusahaan ini. Ketiga pilar itu adalah sumber daya alam, services, dan infrastruktur.

Saya hanya ingin membawa perusahaan memiliki strategi yang koheren dan bersih untuk Indonesia ataupun Asia. Syukur-syukur, strategi yang saya kembangkan menjadi pionir bagi industri lainnya.

Apa fokus implementasi strateginya sampai nilai perusahaan ini melonjak drastis?

Semua peningkatan nilai aset itu berawal diciptakan lewat akuisisi. Kita percaya dengan integrasi nilai. Inti industri ini adalah pertambangan. Tak bisa semua dimulai dari nol, dengan mendirikan anak-anak perusahaan.

Karena itu, akuisisi merupakan pilihan supaya segala yang tadinya dipandang sebagai biaya, bisa sekaligus memiliki pendapatan.

Kami memiliki fokus pada sumber daya alam sebagai induk pendorong perusahaan, yang kemudian ditopang oleh jasa pelayanan (services) dan infrastruktur.

Bagaimana awalnya untuk menuju kekuatan yang terintegrasi?

Awalnya adalah memperkuat fondasinya. Ada dua fondasi kami, yaitu SDM (human capital) dan sumber pendanaan (financial capital). Kekuatan pendanaan dilakukan melalui melepas bond, kemudian penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) supaya permodalan kuat.

Adapun untuk manajemen, kita bisa ambil dari SDM dengan mengakuisisi perusahaan jasa yang punya dasar keahlian dalam bidang pertambangan, seperti Tripatra yang memiliki keahlian engineering dan manajemen proyek pertambangan. Kemudian mengakuisisi Petrosea yang memiliki keahlian dalam bidang pertambangan. Dengan demikian, kemampuan dasar services sudah dimiliki. Sementara, kekuatan infrastruktur diperoleh dengan akuisisi perusahaan logistik Mitrabahtera Segara Sejati.

Bagaimana implementasi pasca- akuisisi?

Gampangannya, industri menambang batu bara, memasukkan ke kapal, dan dikirim baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Seluruh kekuatan itu dijadikan modal untuk menekan biaya.

Tidak bisa kita hanya bergantung pada fluktuasi harga komoditas batu bara. Bisa gila kita melihat fluktuasi harga. Istilahnya, apabila harga komoditas ini jatuh, industri yang memiliki cost produksi tinggilah yang akan terlebih dahulu jatuh.

Maka, biaya paling murahlah yang perlu diterobos supaya industri ini tetap kompetitif. Kami berupaya mengontrol biaya produksi, karena memiliki kekuatan pilar-pilar tersebut.

Siapa saja kompetitor Anda?

Dalam income produksi, kami baru menempati posisi ketiga, setelah Bumi Resources dan Adaro. Kekuatan ide gila ini belakangan membuat kami berani memperluas integrasi dengan bermain di industri pembangkit listrik yang menggunakan batu bara berkadar 4.500 kalori.

Terjun ke industri pembangkit listrik ini semata-mata untuk memperbesar revenue?

Tidak. Kami melihat peluang, ada pasar baru dan produk baru, dengan kekuatan sumber daya alam yang dimiliki. Tadinya, batu bara kadar 4.500 kalori tidak laku. Kini dengan rekayasa energi yang super canggih, batu bara ini dapat dimanfaatkan.

Namun, lebih jauh lagi, kami memanfaatkan batu bara berkadar 4.500 kalori ini untuk bisa digunakan di dalam negeri untuk turut berkontribusi mencukupi kebutuhan listrik nasional. Ini proses panjang untuk membangun nasionalisme baru.

Pada akhirnya, kita juga tidak boleh hanya berjaya di kandang sendiri. Proyek pemanfaatan batu bara di tingkat internasional haruslah direbut. Tentu, harus perkuat dahulu fondasi industri kita!

Pertaminan Mencetak Laba Terbesar Pada Perusahaan Milik Pemerintah Indonesia

Dalam paparan BUMN Outlook yang disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar, Jumat (28/1) di Jakarta, dibandingkan laba bersih tahun 2009, yaitu Rp 15,80 triliun, laba bersih Pertamina tahun 2010 turun 15,70 persen.

Tahun ini Kementerian BUMN memperkirakan laba bersih Pertamina Rp 17,70 triliun, atau naik 32,88 persen dibanding 2010.

Namun, Vice President Komunikasi Korporat PT Pertamina (Persero) Mochamad Harun menyatakan, angka Kementerian BUMN adalah data lama. Data Pertamina, tahun 2010 perseroan ini diperkirakan meraup laba bersih Rp 15,5 triliun. Angka ini turun dibanding prognosis laba bersih 2009 sebelum audit, yang mencapai Rp 19 triliun.

”Turunnya laba bersih 2010 disebabkan menguatnya mata uang rupiah terhadap dollar AS, karena pendapatan Pertamina dalam dollar AS,” katanya.

Faktor lain adalah margin bahan bakar minyak public service obligation, atau alpha yang dipatok Rp 556 per liter, dan kerugian akibat harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kilogram yang tidak boleh naik.

Mustafa menjelaskan, secara umum terjadi peningkatan kinerja keuangan 142 perusahaan BUMN. Ini karena situasi ekonomi nasional yang mendukung, selain perbaikan kinerja perusahaan, seperti efisiensi, peningkatan produktivitas, dan kenaikan harga komoditas di pasar.

Kementerian BUMN tahun ini memperkirakan laba bersih 142 perusahaan BUMN Rp 113,72 triliun, naik 19,32 persen dari target 2010. Laba bersih 2010 sebesar Rp 95,30 triliun atau naik 9,67 persen dari 2009.

Peningkatan laba bersih 2011 diperkirakan dari naiknya pendapatan usaha Rp 1.294,37 triliun. Naik 13,12 persen dibanding 2010, yakni Rp 1.124,33 triliun.

Belanja modal juga mencapai Rp 210,12 triliun, naik 83,26 persen dibanding 2010 yang diperkirakan Rp 196,91 triliun. Adapun belanja operasional pertama kalinya bakal mencapai Rp 1.020,87 triliun. Naik 9,52 persen dari tahun sebelumnya.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN Achiran Pandu Djajanto mengatakan, 2011 laba industri strategis diperkirakan meningkat hingga 85 persen, dari Rp 0,80 triliun menjadi Rp 1,48 triliun. Hal ini disebabkan adanya kerja sama dengan Kementerian Pertahanan, dalam memproduksi perlengkapan untuk Kementerian Pertahanan.

Terkait sektor perkebunan, Mahmuddin Yasin, Sekretaris Kementerian BUMN, menjelaskan, membaiknya kinerja keuangan ditopang oleh membaiknya harga komoditas ekspor, seperti karet dan minyak kelapa sawit mentah.

Mustafa mengatakan, setoran dividen 2011 dipatok Rp 27,5 triliun, turun dibanding 2010 sebesar Rp 30,09 triliun. Hal ini untuk mendorong ekspansi usaha, penambahan modal usaha bagi BUMN. Dengan demikian, kata Mustafa, hal itu dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, yang akhirnya meningkatkan setoran dalam bentuk pajak.

PT Jasa Marga Tbk Mengajukan Pinjaman Rp 2,7 Triliun kepada Pusat Investasi Pemerintah

PT Jasa Marga Tbk mengajukan pinjaman Rp 2,7 triliun kepada Pusat Investasi Pemerintah, lembaga keuangan yang dibentuk di bawah koordinasi Kementerian Keuangan.

”Kami belum meluluskan permohonan pinjaman itu karena sedang mempertimbangkan skema kepemilikan saham, bukan meminjamkan mereka dana. Selain itu, jika memang ada tawaran yang lebih baik dari swasta, kami pun masih terbuka,” kata Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Soritaon Siregar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (28/1).

Uang pinjaman akan dipakai Jasa Marga untuk membangun proyek Jalan Tol Porong-Gempol senilai Rp 1,3 triliun dan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta W2 senilai Rp 1,4 triliun.

Pengajuan pinjaman tersebut sudah disampaikan pada 9 Agustus 2010, namun hingga saat ini masih diproses di PIP.

Di samping itu, PIP juga mendapatkan permohonan pinjaman dari PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) yang akan merelokasi galangan kapal III ke Pulau Batam.

Nilai pinjaman yang diajukan Rp 300 miliar. Permohonan pinjaman tersebut diterima PIP sejak 12 Oktober 2010 dan hingga saat ini masih dalam proses pembahasan.

Korporasi lain yang meminta pinjaman kepada PIP adalah PT Brantas Abipraya. Perusahaan ini akan membangun Bendungan Jatibarang, Bintang Bano, dan ruas Jalan Malal Toli-toli. Pinjaman yang diajukan senilai Rp 100 miliar.

Ekspor Barang Mentah Akan Di Hentikan Pemerintah

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Jumat (28/1). Turut dalam kunjungan ini, Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.

Industri yang mengutamakan ekspor bahan mentah, kata Hatta, mendapat disinsentif. Adapun industri yang mengolah bahan mentah lebih dahulu sebelum diekspor mendapat insentif.

”Misalnya, untuk pertambangan mineral dan batu bara, mereka wajib membangun smelter di lokasi sesuai UU Minerba. Begitu juga komoditas lain. Semua ini akan disampaikan dalam peluncuran Visi Indonesia 2025 bulan April,” kata Hatta.

Indonesia memproduksi sedikitnya 300 juta ton batu bara per tahun, 240 juta ton di antaranya diekspor.

Mengenai komoditas minyak kelapa sawit mentah (CPO), dari 21,5 juta ton produksi CPO 2010, 15,6 juta ton di antaranya diekspor. Sekitar 60 persen diekspor dalam bentuk mentah.

Hal yang sama terjadi pada komoditas kakao dan karet alam. Indonesia produsen utama kedua komoditas.

Zulkifli Hasan menambahkan, Kementerian Kehutanan selama setahun terakhir terus mempermudah perizinan industri kehutanan berbasis kayu rakyat. Keberhasilan pola kemitraan industri kayu lapis dengan menyerap bahan baku dari hutan rakyat di Pulau Jawa merupakan contoh sukses pemerataan kesempatan ekonomi kehutanan.

”Kami mengarahkan pengembangan industri kehutanan berbasis rakyat di luar Jawa. Kami terus mencadangkan hutan produksi untuk hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan untuk mendukung ketersediaan bahan baku industri,” ujar Menhut.

Minat bangun pabrik

Menanggapi rencana pemerintah itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman mengatakan, pembatasan ekspor biji kakao akan mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Investor akan berminat membangun pabrik pengolahan biji kakao.

”Paling tidak akan terjadi relokasi pabrik-pabrik cokelat dari Singapura dan Malaysia ke Indonesia. Dua negara itu tidak memiliki bahan baku,” katanya.

Saat ini, tingkat penyerapan industri kakao dalam negeri masih rendah. Dengan relokasi pabrik kakao dari Malaysia di Karawang, Jawa Barat, dan beroperasinya pabrik pengolahan makanan di Pasuruan, Jawa Timur, serta pabrik bubuk cokelat di beberapa wilayah, kapasitas pabrik bila beroperasi penuh baru 400.000 ton. Itu pun kalau semua beroperasi pada 2012.

”Produksi biji kakao kita 600.000 ton. Mau dikemanakan yang lainnya,” kata Piter.

Namun, Piter menghargai, pembatasan ekspor bahan mentah akan mendorong bangkitnya industri pengolahan kakao di dalam negeri; selain juga memberi nilai tambah dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. ”Sehingga diharapkan tidak ada lagi biji kakao yang diekspor,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Polah Tjahyono menegaskan, pengolahan komoditas seperti rotan memang harus didorong di daerah asal. ”Kalau langsung diekspor, petani tidak akan memperoleh nilai tambah. Industri mebel dan kerajinan akan kekurangan bahan baku,” ujarnya.

Dalam analisis tim Komisi Pengawas Persaingan Usaha, rotan yang diambil dari hutan, seperti Kalimantan dan Sulawesi, sudah mengalami proses kegiatan industri. Sebelum dikirim ke industri mebel, rotan terlebih dulu dimasak. Namun, tidak dihitung besaran peningkatan nilai tambahnya.

”Asmindo memahami, petani juga perlu penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau bahan baku rotan yang tersedia begitu banyak, tidak terserap industri, mau bagaimana lagi? Di sini tugas pemerintah betul-betul mengawasi agar wajib pasok kepada industri dalam negeri sungguh dipenuhi,” kata Ambar.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, kapasitas terpasang industri mebel berbahan baku rotan merosot. Tahun 2005 mencapai 551.685 ton, namun 2009 hanya 386.109 ton.

Tuesday, January 25, 2011

Setelah Mengeluh Tidak Naik Gaji, Kini Gaji Presiden Akan Dinaikan

Komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal gaji tak naik selama tujuh tahun yang disampaikan di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, pekan lalu, memang ampuh. Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Selasa (25/1), langsung merespons dan menyampaikan, pemerintah bakal menaikkan gaji sedikitnya 8.000 pejabat pemerintah dari pusat sampai ke daerah. Tentu saja presiden yang kini bergaji Rp 62 juta per bulan ikut di dalamnya.

Terlepas dari beragam komentar yang beredar, kita menyayangkan tanggapan kenaikan gaji presiden dengan mengaitkan nasib buruh relatif sedikit. Padahal, buruh formal kini semakin menciut dan peluang mereka yang masuk ke kelompok miskin meningkat karena degradasi kualitas hidup.

Hasil pemantauan upah minimum provinsi (UMP) oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi per 22 Desember 2010, dari 33 provinsi, hanya Lampung, Sulawesi Barat, dan Papua sedang dalam proses penetapan gubernur.

Adapun Maluku Utara masih dalam pembahasan dewan perwakilan rakyat daerah. Sementara Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah tidak menetapkan UMP sehingga pemerintah pusat mengambil data penetapan upah minimum kabupaten/kota terendah di ketiga provinsi tersebut.

Berbicara tentang nasib sedikitnya 33,8 juta buruh formal dari 116,5 juta angkatan kerja tahun 2010, memang tidak terlalu menarik. Para elite politik, baik di eksekutif maupun legislatif, baru fasih berbicara kesejahteraan buruh saat pemilihan umum. Tetapi saat buruh meminta mereka lebih membumi memperjuangkan penetapan upah minimum di atas kebutuhan hidup layak (KHL) dan inflasi, pengambil kebijakan lebih banyak diam.

Dari 29 provinsi yang sudah memiliki UMP tahun 2011, baru delapan provinsi yang menetapkan lebih dari 100 persen KHL. Kondisi ini memprihatinkan. Apalagi jika kita melihat nilai filosofis upah minimum yang bertujuan menjadi jaring pengaman bagi pekerja lajang dengan masa kerja maksimal 1 tahun. Sampai kini, masih banyak pengusaha yang menggaji pekerja pemilik masa kerja bertahun-tahun dengan upah minimum.

Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar dengan tingkat kenaikan gaji yang lebih kecil dari inflasi. Kalau kondisi ini terus terjadi, bagaimana mereka bisa meningkatkan taraf hidup, menyekolahkan anak, berobat ke dokter saat sakit, sampai memiliki rumah sendiri yang layak. Buruh formal harus bekerja keras melebihi delapan jam kerja demi mengejar upah lembur. Anak-anak buruh terpaksa berhenti sekolah dan meneruskan kemiskinan karena sedikitnya 40 persen upah orang tua mereka terkuras untuk biaya transportasi dan kontrakan.

Buruh harus berjuang bertahan hidup dari gaji yang kian tak bertenaga menghadapi kenaikan harga beras, cabai rawit merah, minyak goreng, sampai biaya kesehatan. Pemerintah seperti tak memberikan banyak pilihan bagi buruh karena lapangan kerja baru tak bertumbuh dan pengusaha kian gemar memakai buruh kontrak.

Berbicara remunerasi pejabat ibarat minum air laut yang asin. Semakin banyak mereka menikmati, kian haus rasanya. Sementara buruh, harus hidup menahan lapar

Pemerintah Harus Serius Mengkaji Perbedaan Harga Subsidi Bahan Bakar

Adanya disparitas harga antara bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan umum dengan harga nonsubsidi untuk kendaraan pribadi, menurut pemerhati transportasi Rudy Thehamihardja di Jakarta, Selasa (25/1), membutuhkan pengawasan ekstra di lapangan.

”Harus ada rencana detail dan jangka panjang, bagaimana praktik di lapangan dikerjakan. Itu yang pertama harus dibeberkan pemerintah. Bagaimana bila alat kontrol secara massal dirusak dengan maksud agar premium dapat dijual ke pengguna kendaraan pribadi,” kata Rudy.

Selain itu, harus dikaji apakah jatah premium bersubsidi bagi kendaraan umum benar-benar dapat memperbaiki, atau setidaknya mempertahankan kelangsungan hidup angkutan umum.

Menurut Rudy, bila ingin angkutan umum tetap beroperasi dengan mempertahankan tarif sesuai sedia kala, tidak harus dengan memberikan subsidi BBM.

”Banyak cara, misalnya dengan meniadakan pajak, atau menyubsidi harga suku cadang. Ini cara yang lebih cerdas daripada menerapkan disparitas harga yang membuat kita pusing mengawasinya,” tutur Rudy.

Uji coba

Uji coba penerapan pembatasan BBM bersubsidi akan dimulai pekan depan. Hal itu diputuskan dalam pertemuan Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Darat, kemarin.

Dirjen Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso menjelaskan, uji coba pembatasan BBM bersubsidi itu dengan menggunakan sistem stiker.

Uji coba ini dilakukan terhadap Mikrolet 01 rute Senen-Kampung Melayu sebanyak 409 unit. Uji coba juga diterapkan pada 1.850 taksi di Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Menurut Suroyo, tiap minggu akan dilakukan evaluasi terhadap uji coba pembatasan BBM subsidi tersebut. ”Hingga pembatasan BBM bersubsidi itu dapat diberlakukan mulai April 2011 di wilayah Jabodetabek,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Organda Andriyansah menjamin, bila pengalokasian BBM bersubsidi bagi angkutan umum berjalan lancar, tak akan ada kenaikan tarif angkutan umum.

Di kesempatan terpisah, Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi Tubagus Haryono menjelaskan, kendaraan umum yang mendapat stiker, atau yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi, adalah kendaraan umum yang memenuhi syarat.

Penempelan stiker dilakukan oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan raya (DLLAJR) DKI Jakarta. Waktu uji coba adalah Februari sampai April.

”Stiker ini merupakan tanda bagi kendaraan yang akan dipasangi RFID untuk mendapat BBM bersubsidi,” kata Tubagus.

Hampir rampung

Tubagus memaparkan, kesiapan fasilitas dan infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi di Jabodetabek sudah hampir rampung.

Terminal BBM kini telah siap 75 persen. Ditargetkan, pada akhir bulan Februari telah siap seluruhnya.

Dari 720 stasiun pengisian bahan bakar umum, 79 persen di antaranya sudah siap. Pada akhir Maret ditargetkan telah rampung seluruhnya.

”Sedangkan mobil tangki sudah siap semua,” ujar Tubagus.

Untuk Jawa dan Bali, Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi menargetkan, terminal BBM siap pada bulan Mei. Adapun SPBU ditargetkan selesai akhir Juni. Saat ini kesiapan terminal BBM baru 30 persen.

Tubagus menjelaskan, dari 3.025 SPBU, 49 persen di antaranya telah siap melayani pembelian BBM nonsubsidi.

Pasokan Barang Harus Diatur Untuk Cegah Inflasi

Hal itu disampaikan pengamat pasar modal Yanuar Rizky di Jakarta, Selasa (25/1). Menurut dia, tekanan inflasi yang semakin tinggi harus disikapi, antara lain, dengan menjaga kurs atau nilai tukar. Hal ini untuk menjaga harga barang.

Langkah untuk menjaga harga berupa menaikkan suku bunga acuan (BI Rate). ”Tapi, kalau mau menaikkan BI Rate sekarang, saya pikir sudah terlalu terlambat,” kata Yanuar.

Langkah lain berupa menjaga pasokan barang sehingga tidak muncul lonjakan harga. ”Bukan hanya BI yang harus bertindak, melainkan banyak elemen,” katanya.

Langkah itu, kata Yanuar, termasuk mempertimbangkan dana yang masuk ke pasar uang.

Data Bank Indonesia menyebutkan, per 31 Desember 2010 terjadi aliran dana asing sebesar Rp 271,66 triliun. Dana itu masuk ke sertifikat bank Indonesia sebesar Rp 54,93 triliun, surat berharga negara Rp 195,75 triliun, dan saham Rp 20,98 triliun.

Sebaliknya, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Budimanta, berpendapat, kenaikan suku bunga acuan tidak akan secara otomatis menyelesaikan persoalan akibat tekanan inflasi. Yang terjadi justru suku bunga kredit akan naik, yang berdampak terhadap biaya operasi.

Akibatnya, terjadi lonjakan harga yang memberatkan masyarakat. Bahkan, selama inflasi terus menekan, sektor riil sulit bergerak.

”Persoalannya kan pada inflasi. Menaikkan BI Rate bukan instrumen utama untuk menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Menurut Yanuar, yang terjadi selama ini, BI Rate tidak elastis terhadap suku bunga kredit. Meskipun BI Rate rendah, suku bunga kredit tetap tinggi.

Berkaitan dengan nilai tukar rupiah, Arif, yang juga anggota Panitia Kerja Inflasi DPR, menambahkan, sebenarnya DPR ingin mengetahui, seberapa kuat BI mengintervensi untuk menahan nilai tukar. Anggaran BI tahun 2010 defisit Rp 32 triliun, di antaranya untuk keperluan intervensi nilai tukar rupiah.

”Padahal, penguatan nilai tukar rupiah tidak setinggi negara lain di Asia. Kami ingin tahu, seberapa dalam intervensi yang dilakukan BI,” kata Arif.

Meski inflasi terus menekan, Bank Indonesia belum kunjung menyiratkan kenaikan suku bunga acuan. BI memilih melakukan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial.

Meskipun demikian, Gubernur BI Darmin Nasution pada dua pekan lalu pernah menyampaikan, BI segera menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan itu mempertimbangkan laju dan tekanan inflasi mendatang. BI melihat bahwa inflasi akan terus datang sehingga BI mencari waktu yang pas untuk menaikkan BI Rate.

BI Rate pada level 6,5 persen sudah berlangsung selama 18 bulan, sejak Agustus 2009. Inflasi tahun 2010 mencapai 6,96 persen, dengan inflasi inti 4,28 persen. Bahan makanan merupakan salah satu pemicu utama inflasi, yakni beras dan cabai.

Investasi

Kemarin, Direktur Utama PT Schroder Investment Michael Tjoajadi dalam seminar tentang dana jaminan sosial mengemukakan, untuk berinvestasi, masyarakat harus mempertimbangkan inflasi. Untuk keperluan jangka panjang, deposito bukan jenis investasi yang cocok.

”Deposito hanya cocok untuk jangka pendek,” katanya.

Ia mencontohkan, deposito memberikan bunga sekitar 7 persen. Setelah dikurangi pajak, menghasilkan bunga 5,6 persen. Sekilas bunga itu cukup tinggi. Namun, jika memperhitungkan inflasi, hasil investasi justru akan mengakibatkan daya beli berkurang.

”Kalau deposito saja, dalam 20 tahun akan terjadi pemiskinan,” kata Michael.

Revisi Bea Masuk Tertahan di Kementerian Hukum dan HAM

Hingga kemarin pemerintah belum mengundangkan revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241 Tahun 2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Meskipun Menteri Keuangan telah menandatanganinya, Jumat pekan lalu.

Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra, Selasa (25/1) di Jakarta, mengatakan, Menkeu sudah menandatangani revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241 pada 21 Januari 2011. ”Adapun pengundangannya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia,” katanya.

Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pemerintah menurunkan 57 pos tarif bea masuk impor komoditas pangan untuk menjaga stabilitas harga pangan di dalam negeri. Komoditas yang bea masuknya diturunkan adalah gandum, kedelai, bahan baku pakan ternak, dan pupuk.

Pemerintah juga menunda selama setahun pemberlakuan PMK No 241/2010, terkait protes para pengusaha yang menghendaki agar bea masuk beberapa barang tak dinaikkan.

Menanggapi tertahannya revisi PMK, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit mengatakan bahwa seharusnya kebijakan khusus ini juga diimbangi dengan langkah-langkah khusus dalam revisi PMK.

”Kami melihat kinerja birokrasi masih business as usual, padahal semua pihak menginginkan agar revisi segera ditetapkan dan pemerintah sudah menyepakatinya,” kata Anton.

Semakin lama pengesahan revisi PMK tertunda, kerugian dunia usaha semakin besar. Petugas bea dan cukai tetap mengacu pada PMK lama karena secara resmi memang itu yang berlaku.

Para pengusaha berharap, Kementerian Hukum dan HAM segera mengundangkan revisi PMK yang sudah ditandatangani Menkeu. ”Harusnya kalau sudah ditandatangani hari Jumat, tidak perlu lama untuk mengundangkan,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jabar Rali Sukari, Selasa di Bandung, Jawa Barat, menegaskan, kebijakan penghapusan bea masuk pangan dan bahan pangan, termasuk untuk komoditas kedelai mulai awal pekan ini, dinilai akan semakin meminggirkan petani kedelai lokal. Kondisi itu mengancam swasembada pangan kedelai yang telah ditetapkan Kementerian Pertanian pada 2014.

Rali mengatakan, dengan kebijakan penghapusan bea masuk untuk kedelai itu, para petani akan enggan menanam kedelai. Akibatnya, produksi kedelai pada 2011 diperkirakan menyusut 10 persen dari tahun lalu 55.000 ton, menjadi tinggal 48.000 ton.

”Petani kedelai akan beralih komoditas tanam. Saya maklum, penghapusan bea masuk ini memang dapat mengatasi persoalan tingginya harga komoditas meski hanya untuk sementara. Tetapi, untuk jangka panjang, pasti mematikan petani kita,” ungkap Rali

Industri Gula Lebih Baik Di Kelola Swasta Daripada Pemerintah

pemerintah seharusnya memberi kesempatan lebih luas kepada swasta dalam produksi gula kristal putih. Pengelolaan pabrik gula oleh swasta terbukti lebih menguntungkan dibandingkan yang dikelola oleh badan usaha milik negara.

Oleh karena itu, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit, Selasa (25/1) di Jakarta, jika ada strategi yang jelas, swasembada gula tak sulit untuk dicapai.

”Pemerintah tinggal menetapkan kebutuhan itu, lalu umumkan ke publik kalau mau meningkatkan produksi gula nasional. Ajak swasta masuk, tentu dengan semangat transparansi,” kata Anton.

Transparansi dapat diwujudkan dengan mengumumkan pada masyarakat tentang peluang masuk ke industri gula, atau dengan melakukan tender. Dengan cara ini akan tampak mana perusahaan yang sungguh-sungguh dan mana yang sekadar mencari untung. ”Kalau ini dilakukan, produksi gula pasti bisa ditingkatkan,” ujar Anton.

Untuk menjamin terlaksananya investasi di industri gula, pemerintah bisa membuat kesepakatan dengan swasta, misalnya swasta wajib menaruh uang jaminan 10-20 persen dari total investasi ke pemerintah. Adapun pemerintah memberi dukungan infrastruktur, dukungan lahan melalui pemerintah daerah, dan keringanan pajak.

”Kalau sampai batas waktu yang ditentukan swasta tidak juga membangun, dana jaminan diambil pemerintah. Syaratnya, pemerintah harus merealisasikan insentif itu,” tutur Anton.

Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, di Blora dan Purbalingga, Jawa Tengah, tengah dibangun pabrik gula swasta. Dua pabrik yang beroperasi pada 2013 itu didukung 20.000 hektar lahan tebu.

Kalah produktivitas

Produksi gula nasional tahun 2009 mencapai 2,59 juta ton. Kontribusi perusahaan gula BUMN, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II, VII, IX, X, XI, dan IX hanya 1,41 juta ton atau 54,35 persen. Produksi gula BUMN itu dihasilkan dari 51 pabrik gula, dengan lahan tebu 273.613 hektar atau 62,27 persen dari total lahan tebu nasional.

Sementara itu, sembilan pabrik gula swasta mampu memproduksi 1,18 juta ton atau 45,65 persen total produksi gula nasional. Adapun lahan tebu yang dikuasai hanya 37,73 persen dari lahan tebu nasional.

Industri gula BUMN kalah dalam produktivitas dan rendemen dibandingkan industri gula swasta. Produktivitas tebu BUMN rata-rata hanya 63,69 ton per hektar, swasta 84,45 ton. Rendemen tebu BUMN 6,85 persen, adapun swasta 9,78 persen.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Soemitro Samadikoen mengakui, kadar rendemen gula petani yang digiling di pabrik gula BUMN rendah. Padahal, kualitas tebu Indonesia tak kalah dibandingkan tebu Thailand maupun China.

Nelayan Butuh Lapangan Kerja Karena Cuaca Ekstrem

Nelayan mulai beradaptasi dengan perubahan iklim yang ekstrem. Mereka mencari alternatif penghasilan, selama tidak bisa melaut, antara lain dengan mencari kerang, berdagang, atau membuat kerajinan.

Di perkampungan Nelayan Marunda, Jakarta Utara, misalnya, sejumlah nelayan mencari alternatif penghasilan dengan menangkap kerang di pinggiran pantai. Hal ini dilakukan karena mereka tak dapat melaut akibat cuaca ekstrem.

Sebagian nelayan lainnya, membuat kerajinan alas kaki dan keset dari limbah industri garmen. Upah yang mereka terima Rp 30.000 per hari per orang. Upah tersebut menjadi penopang hidup, selain upah mereka sebagai buruh bangunan.

Adaptasi tidak hanya dalam sumber mata pencarian, tetapi juga pola makan, menyesuaikan dengan keuangan.

Tiharom, nelayan di Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara, menuturkan, keluarganya memanfaatkan daun enceng gondok untuk sayuran dan hasil tangkapan kerang untuk lauk.

Selama cuaca ekstrem, ujar Tiharom, kapal-kapal nelayan kecil di Marunda, yang biasanya hanya mampu melaut sejauh 2 mil, tidak bisa melaut. ”Perubahan cuaca

semakin sulit diprediksi. Terpaksa mencari pendapatan lain,” ujar Tiharom, yang memiliki kapal berbobot mati 2 ton.

Menurut Sekretaris Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dedy Ramanta, berbagai cara nelayan untuk mencari nafkah menunjukkan mereka tidak menyerah kepada keadaan.

Pemerintah menyebut fenomena cuaca ekstrem sebagai bencana sosial. Oleh karena itu, tahun ini pemerintah menggulirkan bantuan beras sebanyak 13.271 ton untuk kebutuhan selama 14 hari. Bantuan tersebut diberikan kepada 473.983 nelayan di 41 kabupaten/kota di 20 provinsi. Nelayan yang mendapat bantuan sudah tidak melaut selama 2010.

Respons pemerintah menangani dampak cuaca ekstrem di kampung nelayan, kata Dedy, terhambat akurasi data dan status kebencanaan.

Penelusuran Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), terdapat 12 kabupaten/kota yang belum dicantumkan sebagai terdampak cuaca ekstrem. Jika wilayah-wilayah itu dimasukkan, ada 550.000 nelayan yang tidak melaut, atau sekitar 2 juta orang keluarga nelayan yang terancam penghidupannya.

Akurasi data terkait nelayan yang terkena dampak sangat dibutuhkan untuk menetapkan besarnya bantuan dan masyarakat yang menjadi sasaran.

Upaya lain untuk mengantisipasi dampak cuaca ekstrem, menurut Dedy, perlu dibangun sistem distribusi informasi cuaca sampai ke pelosok memanfaatkan teknologi internet dan tenaga penyuluh perikanan.

Upaya lain, menyediakan modal lunak untuk usaha produktif karena nelayan butuh kegiatan ekonomi alternatif sebagai penopang hidup.

JAMSOSTEK Akan Investasi Di Pasar Saham

Direktur Investasi PT Jamsostek Elvyn G Masassya menyampaikan hal itu saat ditanya wartawan tentang aksi korporasi pada tahun ini. ”Target investasi kami tahun 2011 sebesar Rp 115 triliun. Lebih besar dibandingkan investasi tahun 2010 yang mencapai Rp 98 triliun,” kata Elvyn.

Selain saham, PT Jamsostek juga mengalokasikan 44-48 persen portofolio untuk pembelian obligasi, 30-31 persen untuk deposito, 4-8 persen untuk reksa dana, serta sisanya untuk properti dan penyertaan.

Direktur Utama PT Jamsostek Hotbonar Sinaga membenarkan rencana pembelian saham PT Garuda Indonesia Persero tersebut. Namun, ia menolak menyebutkan jumlah dana yang disiapkan. ”Kami sedang menghitung berapa nilai yang ada untuk saham itu,” ujarnya.

Garuda akan melepas maksimum 9,3 miliar lembar saham atau 36,48 persen. Jumlah itu terdiri dari 7,4 miliar lembar saham baru atau 28,93 persen dan 1,9 miliar lembar saham divestasi PT Bank Mandiri. Saham akan dilepas pada kisaran harga Rp 750-Rp 1.100 per lembar saham.

Dari penjualan saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO), Garuda menargetkan perolehan dana setidaknya 350 juta dollar AS, yang akan digunakan untuk ekspansi. Kebutuhan dana pengembangan usaha Garuda sekitar 1,2 miliar dollar AS.

Berkenaan adanya penawaran saham perdana maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia, Elvyn mengatakan, pembelian saham Garuda merupakan rencana aksi korporasi biasa. Sejauh prospeknya bagus, akan dilakukan oleh Jamsostek.

PT Jamsostek juga sudah menyiapkan dana Rp 750 miliar-Rp 1 triliun untuk membeli saham Bank Mandiri. ”Kami akan mengambil placement dari pemerintah,” kata Elvyn.

Rencananya, pada kuartal I-2011, PT Bank Mandiri akan melakukan penawaran saham umum terbatas atau right issue. Saat ini, sekitar 66,73 persen saham Bank Mandiri dimiliki pemerintah.

Sekitar 1,6 miliar dollar AS ditargetkan diperoleh dari penerbitan 2,3 miliar lembar saham baru seri B. Dana ini untuk memenuhi kebutuhan modal Bank Mandiri selama lima tahun ke depan. Penambahan modal itu sesuai rencana Bank Mandiri untuk meningkatkan penyaluran kredit sekitar 20-22 persen tahun 2011. Jika tidak ada penambahan modal, rasio kecukupan modal bank akan tergerus.

Aksi korporasi yang baru bagi PT Jamsostek adalah membangun gedung perkantoran di Jakarta, dengan investasi Rp 500 miliar. Pembangunan di atas lahan milik Jamsostek. Elvyn menolak menyebutkan lokasinya.

”Kalau lahan itu dibangun gedung perkantoran, akan ada capital gain, ” katanya, tentang alasan investasi properti tersebut.

Dalam acara seminar tentang Dana Jaminan Sosial, kemarin, Deputi Menteri Badan Usaha Milik Negara Bidang Usaha Jasa Parikesit Suprapto menyampaikan, sejumlah program BUMN dibiayai asuransi milik negara. Langkah itu tetap menghasilkan keuntungan.

Misalnya, dalam penawaran saham baru PT Bank BNI dan PT Bank Mandiri, Kementerian BUMN menawarkan kepada asosiasi perusahaan asuransi milik negara untuk menjadi calon investor.

Pertaminan Akan Investasi Besar Besaran Untuk 20 Blok Minyak Baru

PT Pertamina mengevaluasi 20 lapangan minyak dan gas untuk diakuisisi. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan produksi migas perseroan itu.

Sejauh ini manajemen Pertamina masih mempertimbangkan beberapa wilayah blok migas yang hendak diakuisisi.

”Masih dalam pertimbangan, Asia atau Afrika,” kata Direktur Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina (Persero) Ferederick Siahaan, Selasa (25/1) di sela-sela acara Indogas 2011 di Jakarta.

Menurut dia, ada 20 aset atau blok migas yang dalam proses evaluasi, di antaranya sedang proses tender dan pemeriksaan dokumen. ”Kami belum tahu apakah kami jadi pemenang atau tidak,” ujarnya.

Saat ini banyak blok migas yang ditawarkan di Afrika dan Irak ataupun penjualan lapangan-lapangan besar. Pertamina menargetkan kenaikan produksi migas 12,9 persen dalam lima tahun ke depan atau total produksi 702.800 setara barrel minyak per hari. Dari total produksi itu, 100.000 barrel di antaranya dari akuisisi dan merger.

Untuk melaksanakan akuisisi tahun ini, Pertamina mengalokasikan dana Rp 10 triliun. Kalau mendapat blok migas yang menarik, Pertamina menyiapkan lebih dari 1 miliar dollar AS.

Pengamat perminyakan Kurtubi, beberapa waktu lalu, menilai positif strategi akuisisi blok-blok migas di luar negeri yang dijalankan perseroan itu.

”Hal ini akan memengaruhi produksi minyak bagi Pertamina ataupun secara nasional,” ujar Kurtubi. Sebab, hasil minyak di lapangan migas itu akan menambah produksi minyak Pertamina dan nasional.

Hal ini berbeda jika Pertamina mengakuisisi blok-blok migas di dalam negeri. Meski meningkatkan produksi minyak Pertamina, hal itu tidak berpengaruh pada produksi minyak nasional.

Pasar Otomotif Akan Tumbuh Tipis Tahun 2011

Penjualan kendaraan roda empat atau lebih di Indonesia diprediksi naik tipis, dari 764.710 unit tahun 2010 diperkirakan hanya naik 4,3 persen atau mencapai 797.258 unit pada tahun ini.

Hal itu disampaikan Wakil Presiden Praktisi Otomotif dan Transportasi Frost and Sullivan (FS) Asia Pasific Vivek Vaidya dalam ”Outlook Otomotif Indonesia Tahun 2011” di Jakarta, Selasa (25/1).

Menurut dia, banyak faktor yang memengaruhi penjualan otomotif, terutama menyangkut kebijakan pemerintah.

Vaidya memprediksi, pertumbuhan penjualan otomotif akan berdampak positif pada penjualan tahun 2013 atau 2014 dan diperkirakan mencapai rata-rata 1 juta unit per tahun.

Hal itu harus menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan otomotif, sebab mata dunia akan melihat perekonomian Indonesia. Industri otomotif menjadi catatan penting bagi para investor.

Berdasarkan data FS, penjualan otomotif di Indonesia pada tahun 2010 berhasil melompat dari posisi ketiga ke posisi kedua di dunia.

Tahun 2009, penjualan mobil di Malaysia sebanyak 536.905 unit, Indonesia masih sebesar 483.548 unit, dan Thailand 630.799 unit.

Tahun 2010, penjualan mobil di Malaysia hanya mencapai 605.156 unit, Indonesia naik mencapai 764.710 unit, dan Thailand 800.357 unit.

Wakil Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiharto mengatakan, tahun 2011 industri otomotif menghadapi tantangan serius, khususnya menyangkut perpajakan.

Bea balik nama

Beberapa pemerintah daerah sudah menaikkan bea balik nama kendaraan bermotor, seperti di Jawa Timur sebesar 15 persen, DKI Jakarta 10 persen, Sulawesi 12,5 persen, dan Medan 15 persen, serta beberapa daerah juga menerapkan pajak progresif.

Faktor yang dapat mendorong perkembangan pasar otomotif di Indonesia adalah suku bunga acuan atau BI Rate, likuiditas perbankan, dan stabilitas nilai tukar rupiah.

”Yang paling laku keras adalah 51 persen kelas multi purpose vehicle (MPV) di bawah 1.500 cc, dengan harga jual rata-rata di bawah Rp 150 juta per unit. Inilah yang paling sensitif. Kalau harga jual mobil di kelas itu naik, penjualan otomotif akan hancur,” ujar Jongkie.

Vaidya memperkirakan, tahun ini kenaikan material produksi kendaraan sekitar 10-15 persen. ”Dari total jumlah penjualan 797.258 unit, penjualan kendaraan komersial mencapai 233.325 unit, sedangkan sisanya 563.933 unit adalah kendaraan penumpang,” kata Vaidya.

Skenario penjualan

Apabila pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 4,5 persen, kemudian pajak kendaraan bermotor dinaikkan, inflasi 7-8 persen, dan suku bunga acuan BI sebesar 9-10 persen, maka penjualan otomotif diperkirakan turun 7,3 persen atau mencapai 709.124 unit pada 2011.

”Penurunannya memang sangat kecil karena kami meyakini fundamental ekonomi Indonesia sangat bagus dan cukup kuat menopang tantangan-tantangan yang terjadi tahun ini,” kata Vaidya.

Namun, lanjut Vaidya, jika pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen, kebijakan perpajakan diterapkan, kenaikan biaya material diperkirakan tidak terjadi atau hanya di bawah 10 persen, dan ada penundaan kebijakan pembatasan BBM sampai tahun berikutnya, inflasi di bawah 4 persen, dan BI Rate 5-6 persen, penjualan otomotif tahun ini akan tumbuh 11 persen dibandingkan tahun 2010, yakni mencapai 849.077 unit

Monday, January 24, 2011

Penerapan Bea Masuk Akan Diawasi Ketat

Ketua Umum Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Welirang di Jakarta, Senin (24/1), mengatakan, ”Pemerintah melalui Menko Perekonomian sudah menegaskan penundaan penurunan terhadap 57 pos tarif BM pangan. Namun, kebijakan baru itu dilakukan secara lisan di media.”

Menurut Franciscus, pemerintah kerap bicara kebijakan National Single Window (NSW) dalam kerangka mempersiapkan masyarakat ekonomi ASEAN, sementara sistem kebijakan nasional, seperti penundaan aturan bea masuk saja, tidak mampu dirancang secara online ke bea cukai di pelabuhan.

”Kami belum melihat pencabutan atau penundaan peraturan itu secara hitam di atas putih. Industri terigu harus tanggung biaya BM impor gandum,” ujarnya.

Menurut dia, kebijakan BM gandum dari nol persen menjadi 5 persen sangat menyesakkan karena kebijakan ini tidak akan memproteksi petani penghasil gandum di Tanah Air. Hasil produksi gandum itu hanya dikonsumsi petani sendiri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor gandum tahun 2009 mencapai 4,64 juta metrik ton. Tahun 2010, impor gandum mencapai 4,60 juta metrik ton. Konsumsi terigu nasional tahun 2010 mencapai 4,38 juta metrik ton. Pertumbuhan kebutuhan diperkirakan 10,53 persen.

Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan, ”Dampak keterlambatan pemerintah menerbitkan SK menyebabkan industri harus menanggung BM 5 persen, sekitar Rp 100 miliar per bulan.”

Selain BM, pemerintah juga menjanjikan insentif bagi produsen minyak goreng yang memfortifikasi vitamin A pada produknya. Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, dari 24 produsen minyak goreng, Musim Mas dengan merek Sunco memelopori fortifikasi ini.

Teknik administrasi

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, seharusnya Menkeu sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur penurunan tarif bea masuk khusus komoditas pangan hari ini (Senin, 24 Januari 2011). Sebab, keputusan tentang hal itu sudah menjadi ketetapan pemerintah yang diambil dalam Rapat Koordinasi gabungan antara Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono pada 19 Januari 2011.

”Harusnya sudah, tinggal teknik administratif. Ini perlu dicek ke Menteri Keuangan,” ujarnya.

TKI Tidak Berdokumen Ketakutan Karena Ada Razia

Dalam tiga minggu terakhir ini Pemerintah Malaysia kembali meningkatkan frekuensi razia terhadap pekerja asing tanpa dokumen. Akibatnya, tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen lengkap takut berkeliaran. Kawasan Chow Kit, yang biasanya padat pada akhir pekan, malah lengang.

TKI sektor konstruksi di Selangor, Karmadi, Minggu (23/1) malam, mengungkapkan, Polis Diraja Malaysia bersama petugas imigrasi dibantu pasukan RELA, personel pertahanan sipil bentukan Kementerian Dalam Negeri Malaysia, kerap merazia kantong-kantong TKI.

Beberapa waktu lalu, razia berlangsung di kawasan Chow Kit, salah satu sentra pertemuan informal TKI di Kuala Lumpur.

Mereka menyediakan truk untuk mengangkut TKI tanpa dokumen. Akan tetapi, dalam proses tersebut ada oknum yang memanfaatkan keadaan.

Dua minggu lalu, aparat pemerintah juga merazia pekerja asing yang menyalahgunakan dokumen di Jalan Alor, Bukit Bintang. Kawasan itu merupakan pusat jajanan kaki lima yang banyak mempekerjakan TKI, baik sebagai koki maupun pelayan.

Banyak TKI pelanggar izin kerja atau tidak berdokumen ditangkap dan diangkut menggunakan truk. Mereka kemudian diperiksa lebih lanjut.

Malaysia menjadi negara tujuan utama TKI karena faktor kedekatan geografis dan kemiripan bahasa. Berdasarkan data Imigrasi Malaysia per 31 Desember 2010, yang dilansir KBRI di Kuala Lumpur, jumlah WNI di Malaysia 924.548 orang.

Adapun jumlah TKI tak berdokumen sebanyak 1 juta orang. Secara keseluruhan, WNI yang bekerja di luar negeri 6 juta. Mereka mengirim remitansi lebih dari Rp 70 triliun per tahun.

Banyaknya TKI tak berdokumen membuat isu pemutihan pekerja asing cepat sekali beredar di masyarakat. Bahkan, sejumlah TKI membayar 3.000-4.000 ringgit Malaysia kepada agen pekerja yang mengklaim bisa mengurus pemulangan tersebut.

Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Mulya Wirana mengingatkan para TKI agar tidak mudah terjebak isu soal pemutihan. KBRI Kuala Lumpur menangani 1.382 kasus TKI pada 2010 dan menyelamatkan uang TKI senilai Rp 4,3 miliar.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, yang juga Wakil Ketua Tim Khusus Penanganan TKI DPR, meminta pejabat Perwakilan Tetap Indonesia di Malaysia mewaspadai fenomena aparat keamanan Malaysia yang menyasar TKI. ”TKI ditangkap lalu diproses dan dilepas lagi,” kata Eva.

DPR sendiri sudah meningkatkan anggaran perlindungan TKI di negara penempatan. Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanudin mengatakan, DPR telah menetapkan anggaran perlindungan TKI sampai tahun 2014 senilai Rp 1 triliun.

”Naik dari Rp 3 miliar tahun lalu, tetapi kenaikan ini tidak ada artinya kalau masalah TKI di hulu belum selesai,” ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, menyebutkan, perwakilan tetap RI di negara yang ada WNI dalam jumlah banyak harus mendapat anggaran dan staf pendukung yang proporsional untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi pelayanan dan perlindungan TKI.

Dua Proyek Infrastruktur Akan Diambil Alih Dari Swasta

Menteri Keuangan Agus AW Martowardojo menilai studi kelayakan dua proyek tersebut tidak dipersiapkan dengan baik sehingga memerlukan studi kelayakan baru.

”Sebenarnya, yang ingin kami sampaikan, kita sudah bicara lama dan panjang lebar, ternyata proyeknya tidak ada yang menyiapkan dengan benar,” ujar Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Freddy Saragih di Jakarta, Senin (24/1).

Oleh karena itu, Menkeu memerintahkan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai pelaksana studi kelayakan dan penyusunan dokumen tender, sekaligus pelaksana tender proyek-proyek unggulan pemerintah tersebut.

”Kalau dokumen tendernya jelek, sangat wajar jika investor yang ikut tender hanya satu,” ujar Freddy.

Menkeu, lanjut Freddy, ingin tender dua proyek itu dilakukan terbuka. ”Semua swasta bisa ikut tender. Kami tidak ingin seperti proyek lain yang tidak jelas. Jangan sampai untuk rel bandara karena dapat bantuan Jepang, maka referensi perusahaannya pun ke Jepang,” katanya.

Kementerian Keuangan akan membiayai sendiri studi kelayakan dan penyusunan dokumen tender dua proyek tersebut. ”Ada bantuan dana dari Australia Aid untuk studi kelayakan Bandara-Manggarai dan proyek Umbulan,” kata Freddy.

24 jalan tol

Sementara itu, terkait proyek 24 ruas jalan tol, menurut Freddy, Kementerian Keuangan keberatan untuk menjamin proyek jalan tol tersebut.

Kementerian Keuangan berpendapat, seharusnya proyek 24 jalan tol itu telah mendapat pembiayaan karena telah mendapatkan pemenang sebelum Peraturan Presiden No 13/2010 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur terbit.

Kementerian Pekerjaan Umum melalui Badan Pengatur Jalan Tol telah mengevaluasi 24 proyek tol yang terbengkalai itu. Hasilnya, proyek tersebut masih layak untuk diteruskan.

Senin kemarin, surat pemberian kredit Rp 246 miliar dari Bank Mandiri kepada afiliasi Semen Tonasa, yakni PT Pelayaran Tonasa Lines dan PT Prima Karya Manunggal, ditandatangani. Kredit itu untuk mendukung kelancaran distribusi semen sehingga dapat mendorong pengembangan infrastruktur, terutama di kawasan Indonesia Timur.

Direktur Utama PT Semen Tonasa Sattar Taba memaparkan, produksi 2010 mencapai 4 juta ton. Diperkirakan, pada 2011 bisa Rp 4,3 juta ton. ”Akhir 2011 sampai 2012 kapasitas akan ditambah 2,5 juta ton,” kata Sattar.

Sekitar 80 persen produksi semen itu didistribusikan antarpulau, termasuk ke kawasan Indonesia Timur.

Direktur Commercial & Business Banking Bank Mandiri Sunarso menyatakan, dari Rp 3,5 triliun kredit yang ditandatangani dengan PT Semen Tonasa dalam dua tahun, baru Rp 400 miliar yang dicairkan. ”Mudah-mudahan seluruh kredit segera ditarik,” kata Sunarso.

Kredit yang tidak dicairkan ini masuk ke dalam catatan undisbursed loan. Bank Indonesia menyebutkan, undisbursed loan perbankan mencapai Rp 556,8 triliun.

Lembaga Keuangan Mikro Butuh Legalitas

Potensi usaha mikro di Indonesia sangat besar. Hal ini yang membuat lembaga keuangan mikro berkembang pesat. Untuk itu, dibutuhkan undang-undang guna mengatur lembaga keuangan mikro.

Pengurus Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) menyampaikan hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Senin (24/1).

Menurut Ketua Komite II DPD Bambang Susilo, rapat tersebut untuk menghimpun masukan yang akan menjadi bahan pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

LKM memiliki karakteristik sendiri sehingga tidak bisa dipaksakan sebagai badan hukum bank atau koperasi.

Isnaini Mukti Azis dari Bank Muamalat mengatakan, pelaku usaha mikro sulit mengakses kredit dari bank karena persyaratan untuk mendapat kredit sulit dipenuhi oleh usaha mikro. Dalam kondisi ini, LKM berperan strategis dalam menyalurkan kredit bagi usaha mikro.

”Kelemahannya, kalau LKM bangkrut, tidak bisa dituntut atau diminta tanggung jawabnya karena tidak ada badan hukumnya,” kata Isnaini.

Chairil Asfar Azis dari BII Syariah mengakui bahwa bank sulit menjangkau nasabah mikro. ”Keberadaan LKM membantu akses bank terhadap nasabah mikro melalui jaringan,” ujarnya.

Tahun 2008, kata Budiana Saifullah dari Jaringan Nasional Pendukung Usaha Kecil Menengah (JNPUKM), terdapat 51,2 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah. Sekitar 80 persen dari jumlah itu usaha mikro.

Di sisi lain, Syahril T Alam, Ketua divisi Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan LKM Syariah mengkritisi pasal 12 RUU tentang LKM. Pasal itu menyebutkan, LKM dapat menerima simpanan, memberi pinjaman, dan melakukan usaha lain yang tidak melanggar aturan.

”Ini luas sekali. Padahal, BPRS saja hanya memberi pinjaman dan menerima simpanan,” kata Syahril.

Besaran kredit mikro umumnya maksimal Rp 50 juta. Data Bank Indonesia, mengutip hasil studi GTZ-Profi sampai 2006, menyebutkan, total kredit mikro yang disalurkan Rp 49,656 triliun untuk 70,042 juta nasabah.

Dari kredit itu, Rp 16,154 triliun di antaranya disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat untuk 5,672 juta nasabah, Baitul Maal wat Tamwil menyalurkan Rp 264 miliar untuk 460.000 nasabah, dan Badan Kredit Desa menyalurkan Rp 197 juta untuk 480.000 nasabah

Pemerintah Akan Memangkas Impor Daging Sapi

Tidak hanya alokasi impor daging dan jeroan yang dipangkas, impor sapi bakalan juga ditekan menjadi 500.000 ekor. Kebijakan itu dinilai tidak mengacu angka kebutuhan dan kemampuan produksi daging sapi nasional.

Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) Joni Liano, Senin (24/1) di Jakarta, mengungkapkan, pihaknya menghitung konsumsi per kapita daging sapi 2011 diproyeksikan 2,10 kilogram per tahun.

Ada kenaikan 0,01 kilogram dari konsumsi tahun 2010. Mengacu hal itu, kebutuhan daging dan jeroan sapi 2011 adalah 506.653 ton atau naik dari 496.780 ton tahun 2010. ”Lebih baik direncanakan matang di awal daripada nanti kurang,” katanya.

Joni menjelaskan, produksi daging dalam negeri tahun 2011 mengacu data Program Swasembada Daging Sapi 2014 hanya 316.100 ton. Dengan impor yang lebih kecil, tahun ini diperkirakan akan defisit kebutuhan daging dan jeroan 190.553 ton.

Bila tahun ini pemerintah hanya mengalokasikan impor sapi bakalan 500.000 ton dan daging beku 50.000 ton, akan menekan defisit pasokan menjadi 50.553 ton. Defisit ini setara dengan 361.093 ekor sapi lokal (setara 140 kg per ekor) atau 280.850 sapi eks impor (setara 180 kg per ekor).

”Kebutuhan daging menutupi defisit 2011 idealnya 645.833 ekor setara sapi bakalan dan 74.303 ton impor daging,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Thomas Sembiring memperkirakan, rencana alokasi impor itu sifatnya sementara karena belum didasarkan kebutuhan riil.

Direktur Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian Prabowo Respatiyo Caturroso pada 30 Desember 2010 menerbitkan Surat Edaran No 30018/2010 tentang Pemasukan Sapi Impor 2011. Surat ini untuk 24 perusahaan importir di tujuh provinsi.

Wajib membeli

Selain menetapkan rencana alokasi impor sapi bakalan dan daging, surat itu juga mewajibkan importir membeli sapi lokal sebanyak 10 persen dari total barang yang diimpor.

Perusahaan impor sapi juga wajib melakukan masa karantina 14 hari, menggemukkan sapi minimal 60 hari, dan setiap siklus penggemukan dialokasikan sepertiga dari kapasitas kandang.

Menurut Direktur Budidaya Ternak pada Direktorat Jenderal Peternakan Riwantoro, kebijakan mewajibkan menyerap sapi lokal untuk penggemukan memiliki semangat agar ada nilai tambah bagi peternak sapi lokal untuk memelihara sapi.

Terlambat Membuat Perda Perumahan Akan Rugikan Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah yang lamban menerbitkan peraturan tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akan rugi karena kehilangan pendapatan asli daerah. Hal ini karena penjualan properti di daerah itu terhenti.

Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa di Jakarta, Senin (24/1), menegaskan, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk berlama-lama menyusun peraturan daerah tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

”Kalau BPHTB tidak bisa dipungut karena tidak ada perda, yang dirugikan adalah pemda sendiri,” ujar Suharso.

Surat Edaran Menteri Keuangan tertanggal 30 November 2010 Nomor S-632/MK.07/2010, menyebutkan, apabila pemda tidak menetapkan perda tentang BPHTB, untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan di daerah, BPHTB tidak dapat dipungut.

Selain itu, syarat pelunasan BPHTB untuk memproses penetapan akta kepemilikan tanah dan bangunan dinyatakan gugur.

Deputi Bidang Perumahan Swadaya Kementerian Perumahan Rakyat Jamil Anshari mengemukakan, dengan ketentuan itu, pemda akan kehilangan sementara pos pendapatan dari BPHTB.

Pembayaran BPHTB baru dilaksanakan saat balik nama kepemilikan properti, dengan tidak mengubah nilai jual obyek pajak.

Mulai 1 Januari 2011, pelaksanaan pemungutan dan pengelolaan BPHTB dilakukan pemerintah kabupaten/kota. BPHTB diperlukan agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa memverifikasi pelaksanaan kewajiban antara pengembang dan konsumen.

Berdasarkan data Real Estat Indonesia (REI), pemerintah daerah yang telah memiliki Perda tentang BPHTB baru DKI Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

Ketua Umum Real Estat Indonesia Setyo Maharso menyambut baik terobosan kebijakan pemerintah bagi daerah untuk mengantisipasi belum adanya perda BPHTB. ”Terobosan itu diharapkan mengatasi mandeknya penjualan properti di sejumlah daerah,” ujar Setyo.

BPN, kata Setyo. telah berkomitmen melakukan validasi pelaksanaan kewajiban antara pengembang dan konsumen tanpa menunggu BPHTB lunas.

Sementara itu, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 15/2010 tentang Juklak Pelaksanaan Pengadaan Perumahan melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera dengan Dukungan Bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan menyebutkan, apabila akta pemilikan rumah dan bangunan (akta jual-beli/AJB) rumah bersubsidi tidak bisa diterapkan di daerah, dapat digantikan dengan perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB).

Bank Siap Respons Keputusan BI Untuk Naikan Suku Bunga

Direktur Utama Bank BTN Iqbal Latanro menyampaikan, apabila BI menyikapi tekanan inflasi yang semakin dalam dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate, bank akan dihadapkan pada dua pilihan. ”Pertama, menyesuaikan bunga. Kedua, mengurangi net interest margin (NIM) atau melakukan efisiensi,” kata Iqbal kepada Kompas di Jakarta, Senin (24/1).

Jika bank memilih menekan margin, suku bunga kredit tidak perlu naik. Akan tetapi, tambah Iqbal, NIM yang terlalu rendah lebih sulit bagi perbankan karena laba yang direncanakan tidak tercapai. ”Tampaknya, penyesuaian bunga lebih masuk akal,” ujar Iqbal.

Perubahan suku bunga acuan nantinya akan mengubah bunga kredit perbankan. Menurut Iqbal, hal itu juga akan mengubah target yang telah ditetapkan perbankan untuk tahun 2011.

Inflasi selama tahun 2010 sebesar 6,96 persen. BI memandang belum perlu menaikkan BI Rate. Selama 18 bulan, sejak Agustus 2009, BI Rate tetap pada level 6,5 persen.

Sejumlah kalangan mengusulkan agar BI menaikkan suku bunga acuan untuk menekan laju inflasi. Dalam acara pertemuan tahunan perbankan pekan lalu, Gubernur BI Darmin Nasution kembali menegaskan, tekanan inflasi tak dapat dihadapi hanya dengan kebijakan suku bunga. Akan tetapi, diperlukan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas eksternal dan internal.

Dalam acara itu Darmin juga mengemukakan, kredit perbankan tahun 2011 diperkirakan tumbuh 20-23 persen. Namun, pencapaian kredit itu rentan terhadap risiko kenaikan harga komoditas, tekanan inflasi, dan peran pembiayaan nonbank yang semakin besar. Hal itu dapat menyebabkan pertumbuhan kredit hanya di kisaran 19-21 persen.

Pada 2010, perbankan mengucurkan kredit sebesar Rp 1.740 triliun, tumbuh 22,8 persen dibandingkan tahun 2009.

Sunarso, Direktur Commercial & Business Banking Bank Mandiri, menolak menyebutkan pilihan apa yang akan dilakukan Bank Mandiri, seandainya level suku bunga acuan naik. Menurut Sunarso, pihaknya siap mengikuti apa pun langkah yang diambil pembuat kebijakan.

Ekonom Mirza Adityaswara berpendapat, apabila suku bunga acuan naik, sikap perbankan bergantung pada situasi. ”Saat kondisi kondusif, bank akan berusaha mempertahankan pangsa pasar kreditnya,” kata Mirza.

Jika BI menaikkan suku bunga acuan 0,5 persen, belum tentu perbankan menaikkan bunga kredit hingga 0,5 persen. Bunga kredit saat ini berkisar antara 11 persen sampai 14 persen.

Sebaliknya, apabila situasi sedang tidak kondusif, bank dapat menaikkan bunga kreditnya lebih tinggi dibandingkan kenaikan BI Rate.

”Saat ini, situasi sedang kondusif. Kalau BI menaikkan BI Rate, tidak semua bank akan menaikkan bunga sebesar kenaikan BI Rate,” katanya.

Mirza memperkirakan, langkah BI akan melihat lebih dulu laju inflasi bulan Januari ini. Jika inflasi menurun signifikan, kenaikan bunga bisa ditunda

Belum Ada Aturan Tarif Regional Untuk LIstrik

Hingga kini belum ada aturan tentang pelaksanaan tarif tenaga listrik regional. Padahal, dengan kondisi geografis dan potensi energi daerah yang berbeda satu dengan yang lain, biaya produksi tiap daerah berbeda.

Anggota Dewan Energi Nasional Rinaldy Dalimi, Senin (24/1) di Jakarta, menyatakan, dalam Undang-Undang Kelistrikan Nomor 30 Tahun 2009 disebutkan, tarif listrik ditentukan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ”Penetapan tarif regional diperlukan,” ujarnya.

Apalagi, pembangunan listrik nantinya lebih berorientasi teknologi pembangkit tenaga listrik berdiri sendiri yang spesifik, seperti pembangkit tenaga surya. Tidak ada lagi transmisi tegangan tinggi yang menghubungkan antar-pembangkit.

Oleh karena itu, kata Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, pemerintah daerah harus lebih berani agar tidak terperangkap penyeragaman tarif. ”Pemda perlu mendorong tarif yang bisa diterima konsumen dan mendorong industri,” ujarnya.

Namun, menurut anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto, penerapan tarif listrik regional masih terkendala tidak adanya peraturan pemerintah sehingga belum bisa diterapkan secara nasional. ”Padahal, aturan perundangan tentang kelistrikan sudah ada sejak 2009. Seharusnya, kebijakan itu sudah diimplementasikan satu tahun setelah UU diterbitkan,” kata Dito.

Saat ini tarif listrik regional sudah diuji coba untuk diterapkan di Batam dan Tarakan.

Beberapa aspek yang memengaruhi besaran tarif listrik di daerah adalah kemampuan ekonomi masyarakat di daerah itu.

Jika tarif listrik murah, investor akan berminat membangun industri di daerah itu. Ini akan menimbulkan efek domino, seperti menyerap tenaga kerja, mengurangi arus urbanisasi, dan menumbuhkan ekonomi daerah.

Menurut Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Bidang Investasi dan Produksi Kardaya Warnika, pemerintah saat ini merumuskan aturan pelaksanaan tarif listrik regional, yang ditargetkan selesai tahun ini. ”Kementerian ESDM sedang menyiapkan payung regulasinya agar bisa memberi pedoman pada daerah-daerah lain sehingga polanya sama,” kata Kardaya.

Ia menjelaskan, bila kemampuan suatu daerah tinggi, mereka bisa mengatur tarif listrik tanpa subsidi.

Tugas Berat Dirjen Pajak Untuk Penuhi Target APBN

Sejak antipraktik ijon diproklamasikan Kementerian Keuangan ketika itu juga realisasi penerimaan pajak sangat sulit memenuhi target yang ditetapkan APBN atau APBN Perubahan. Jauh sebelum kasus Gayus Halomoan Tambunan muncul, kecenderungan target yang tidak tercapai itu sudah mulai menggejala. Bayangkan, setelah kasus Gayus muncul, ada hambatan psikologis dari setiap pembayar pajak untuk merasa ikhlas melaksanakan kewajiban pajaknya.

Lihat saja kajian Sustainable Development Indonesia (SDI) yang menunjukkan, pada periode 2006-2009, realisasi pendapatan pajak dalam negeri yang ditangani Ditjen Pajak mengalami shortfall (realisasi lebih rendah dari targetnya). Shortfall kumulatifnya mencapai Rp 123 triliun selama empat tahun, atau rata-rata Rp 31 triliun per tahun.

Dirjen Pajak yang baru, Fuad Rahmani, memiliki pekerjaan berat dalam memenuhi target pajak yang semakin tinggi itu. Keberanian memang menjadi pangkal kesuksesan Dirjen Pajak sebab wajib pajak besar yang dihadapi memiliki kapasitas luar bisa untuk ”melawan”.

Mereka memiliki tameng hukum dan dana yang kuat untuk mempertahankan diri dan terbebas dari kewajiban pajaknya. Lihat saja, sejak Januari 2010 hingga September 2010, jumlah kasus pajak yang masuk dalam proses peninjauan kembali di Mahkamah Agung meningkat dibandingkan jumlah kasus sepanjang tahun 2008 dan 2009.

Sepanjang Januari-September 2010 sudah ada 617 kasus peninjauan kembali kasus pajak, padahal tahun 2009 hanya 255 kasus dan pada 2008 sebanyak 114 kasus. Meskipun demikian, fakta tersebut jangan sampai membuat Ditjen Pajak mengalihkan penagihan pajak pada wajib pajak yang lemah.

Jika itu yang dilakukan, Ditjen Pajak sudah memasuki golongan lembaga negara yang keterlaluan. Pengenaan pajak yang taat asas dan berkeadilan adalah mimpi kita semua.

Kebijakan Kementerian Keuangan yang hanya mengandalkan sumber penerimaan pajak dari obyek-obyek pajak terdekat dengan lingkungan pemerintah bukan merupakan solusi utama.

Pemerintah seperti kembali ke masa ijon dulu, yakni berburu di kebun binatang. Sebaiknya pemerintah khususnya Ditjen Pajak mulai keluar dari zona nyaman, tidak hanya membidik wajib pajak yang kecil-kecil, tetapi mulai melirik potensi-potensi penerimaan pajak dari sumber-sumber besar, pengusaha besar atau pihak lain yang menikmati kue ekonomi lebih tinggi dibandingkan rata-rata warga negara Indonesia lainnya.

Memang tidak mudah menarik pajak dari wajib pajak besar. Itu sudah pernah diakui Sri Mulyani Indrawati ketika masih menjabat menteri keuangan. Akan tetapi, kesulitan itu bukan berarti harus dihindari. Kinerja Dirjen Pajak yang baru, antara lain diukur keberhasilan dan kegagalannya dalam mencapai target penerimaan pajak tahun 2011 sebesar Rp 787,5 triliun.

Tidak mudah memang mengumpulkan penerimaan negara sebesar itu. Apalagi jika ke depan, kasus-kasus kecurangan pajak lainnya mulai terungkap satu per satu, tentunya tidak mudah menegakkan kepercayaan publik dengan cepat.