Saturday, March 31, 2018

Kinerja Baik dan Keterbukaan Informasi BPOM Dituding "Bunuh" Industri Ikan Pengalengan

Pada akhir pekan lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan 27 merek produk ikan kalengan mengandung cacing. Langkah BPOM tersebut dinilai dapat berdampak pada matinya industri pengalengan ikan di tanah air karena keterbukaan informasi yang mendidik masyarakat tersebut ternyata mampu menghentikan mesin pencari laba bagi perusahaan dan harus merumahkan karyawan demi mencegah kerugian lebih banyak.

Padahal masyarakat berhak mengetahui  informasi tentang produk yang aman termasuk merek dan masyarakat sekarang sudah cukup pintar dan terdidik untuk menindak lanjuti informasi terkait apakah akan mengkonsumsi atau tidak merek merek tertentu.

Adapun Asosiasi Pengalengan Ikan (APIKI) menyebut sebanyak 26 pabrik telah menyetop operasionalnya akibat penarikan produk.

Pakar Perikanan dan Standarisasi Mutu Produk Sunarya menilai BPOM tak semestinya menyebut langsung nama merek dagang dari ikan kalengan yang mengandung cacing. Alih-alih menyebut merek dagang, BPOM dinilai seharusnya hanya menyebutkan kode produksi dari ikan kalengan yang diduga mengandung cacing tersebut.

"Harusnya yang diumumkan itu kode produksi, batchnya, bukan langsung merek. Kan tidak semua ikan kalengan mengandung cacing," kata Sunarya di kawasan Pluit, Jakarta Utara, Sabtu (31/3).  Lagi pula, menurut dia, pemeriksaan kode produksi tak memerlukan proses panjang. Dari kode produksi tersebut, dapat diketahui asal muasal bahan baku ikan kalengan dan apakah ikan tersebut berpotensi mengandung cacing. "Jadi yang 'dimusnahkan' itu bukan produk berdasarkan merek dagangnya, tapi nomor produksi," kata dia.

Lebih lanjut, Sunarya juga meminta agar pemerintah serta badan pengawas terkait melakukan inspeksi secara besar-besaran dan berkelanjutan. Hal ini diperlukan untuk melihat proses produksi ikan kalengan, mulai dari pengambilan bahan baku, cold storage, proses pemanasan, hingga pengalengan itu sendiri.

"Jadi dilihat sudah sesuai standarisasi atau belum, jadi ketahuan mana yang memang berpotensi atau tidak, ini pentingnya. Bukan hanya based on sample saja lalu bilang merek dagang ini bahaya, harusnya tidak begitu," kata dia.  Sunarya juga memberi saran kepada pemerintah agar melakukan pengaturan terkait penggunaan bahan baku produksi ikan kalengan.

"Misalnya kalau di musim-musim tertentu bilang jangan pakai ikan makarel dari Utara, di musim ini jangan pakai dari Selatan. Kan bisa ketahuan produksi cacing ini musim kapan karena ikan yang jadi inang mereka itu bermigrasi," katanya. Sedikitnya 26 pabrik pengalengan ikan harus menghentikan operasionalnya akibat penarikan produk, usai beredar informasi ditemukannya cacing pada produk ikan makarel kalengan. Akibatnya, ribuan pegawai di industri ini 'dirumahkan' hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan.

Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan (APIKI) Ady Surya menyebut, penarikan produk secara otomatis berdampak pada penghentian produksi ikan kalengan. Dari 40 pabrik yang berada di bawah asosiasinya, kini 26 pabrik sudah menyetop operasionalnya.

"Setelah pruduk ditarik, pabrik pun ditutup, meski kebanyakan memang (pabrik) produk ikan makarel yang tutup. Otomatis, kami rumahkan ribuan pekerja kami," kata Ady ditemui di kawasan Pluit, Jakarta Utara, Sabtu (31/3). Ady enggan merinci berapa total pegawai yang telah dirumahkan. Namun, ia menyebut, kapasitas pegawai di satu pabrik saja mencapai sekitar 500 hingga 5.000 pegawai.

Menurut Adi, pabrik-pabrik yang telah tutup saat ini kebanyakan berada di daerah Banyuwangi, Bali dan Jawa Tengah. 

Kerugian pengusaha yang diakibatkan pun mencapai milyaran rupiah. "Pulau Jawa dan Bali, kemarin saya periksa ya tutup karena tidak ada yang bisa kami produksi. Kami rugi, enggak ratusan juta yah, tapi milyaran," terangnya.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito menginstruksikan bagi produsen, distributor, ataupun importir produk ikan makarel kaleng yang mengandung cacing parasit untuk menyetop penjualan. Instruksi itu menyusul temuan BPOM atas 27 merek ikan makerel kaleng yang mengandung cacing. Temuan ini merupakan hasil pengujian 541 sampel dari 66 merek ikan makerel kaleng di seluruh Indonesia.

BPOM membeberkan secara rinci 27 merek itu di situs resminya pads Rabu (28/3). Puluhan merek produk mengandung cacing itu antara lain ABC, ABT, Ayam Brand, Botan, CIP, Dongwon, Dr. Fish.

Selain itu ada juga mereka Farmerjack, Fiesta Seafood, Gaga, Hoki, Hosen, IO, Jojo, King's Fisher, LSC, Maya, Nago/Nagos, Naraya, Pesca, Poh Sung, Pronas, Ranesa, S&W, Sempio, TLC, dan TSC

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyarankan masyarakat menyetop sementara konsumsi produk ikan, baik ikan segar maupun produk olahan hingga ada jaminan keamanan dari pemerintah terhadap produk-produk tersebut.

"Konsumen sementara tidak mengonsumsi produk ikan sampai ada jaminan dari Pemerintah," kata Wakil Ketua Harian YLKI Sudaryatmo. Dia menyebut langkah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan dan menginstruksikan penarikan produk ikan makarel kaleng bercacing tidak cukup.

Menurutnya, belum ada jaminan dari Pemerintah bahwa produk ikan selain ikan makarel kaleng tidak mengandung cacing atau bahan berbahaya lainnya. "Temuan ini membuat tanda tanya di masyarakat, bagaimana dengan jaminan kualitas produk lain yang masih beredar. Produk lain mengandung parasit tidak? Harus ada jaminan dari Pemerintah," cetusnya. Termasuk jaminan dari pengusaha.

Dia juga menyarankan pihak kepolisian untuk aktif terlibat dalam memastikan penarikan produk ikan makarel kaleng bercacing dari pasaran. 

Selain itu, Sudaryatmo menyarankan kepolisian proaktif melakukan pengusutan dugaan tindak pidana. Sudaryatmo mengatakan peredaran ikan ini melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Langkah-langkah di atas dinilainya akan mengganggu industri pangan ikan. Namun, itu lebih baik daripada mengorbankan konsumen. "Daripada konsumen merugi, pemerintah harus menjamin produk ikan segar atau olahan bebas kandungan berbahaya," ujar Sudaryatmo.

Sebelumnya, BPOM mengungkap ada 27 merek ikan makarel kaleng yang mengandung cacing, Rabu (28/3). Temuan ini merupakan hasil pengujian 541 sampel dari 66 merek ikan makarel kaleng di seluruh Indonesia.

Merek produk mengandung cacing itu antara lain ABC, ABT, Ayam Brand, Botan, CIP, Dongwon, Dr. Fish, Farmerjack, Fiesta Seafood, Gaga, Hoki, Hosen, IO, Jojo, King's Fisher, LSC, Maya, Nago/Nagos, Naraya, Pesca, Poh Sung, Pronas, Ranesa, S&W, Sempio, TLC, dan TSC.

Terpisah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyarankan masyarakat untuk mengolah ikan makarel kaleng secara baik agar tidak mendapat dampak buruk dari cacing parasit. KKP menyebut cacing yang wajar ditemui pada ikan adalah Anisakis.

"Karena cacing Anisakis maupun larvanya tidak tahan suhu tinggi, maka konsumsi ikan kaleng sebaiknya dilakukan dengan pengolahan dengan pemanasan yang cukup, yaitu di atas 70 derajat celsius selama minimal selama lima belas menit," ujar KKP, dalam siaran pers Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) yang berada di bawah koordinasi KKP.

KKP mengakui bahwa cacing parasit Anisakis umum ditemui di ikan jenis Skombroid, seperti tuna, cakalang, tongkol, selar, kembung, ikan tengiri, dan makarel. Cacing tersebut biasanya mencemari ikan pemakan daging lewat infeksi dari larva stadium III di bagian daging, rongga perut, saluran pencernaan dan insang.

Seperti dimuat dalam jurnal Clinical Microbiology Reviews, cacing Anisakis banyak ditemukan pada ikan makarel kemasan. Jika dikonsumsi oleh manusia, cacing ini dapat berdampak pada kesehatan meski dalam kondisi sudah mati.
Namun demikian, objek asing di dalam produk ikan makarel kaleng belum tentu cacing parasit Anisakis. "Jaringan pengikat atau daging yang menempel pada tulang lunak ikan ketika dipanaskan pada suhu dan tekanan tinggi akan terlepas dan memiliki kenampakan seperti cacing yang telah mati," tulis KKP.

Sejumlah produsen yang produknya masuk dalam daftar 27 merek ikan makarel bercacing dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengaku legowo menarik produknya dari pasaran. Penarikan produk ini merupakan respons dari instruksi BPOM setelah ditemukan cacing dalam 27 merek ikan makarel kaleng pada Rabu (29/3). Sekretaris Perusahaan PT Central Proteina Prima (CPP) Armand Ardika mengatakan akan mengikuti instruksi apapun dari BPOM. Namun bukan berarti produk Fiesta Seafood Mackerel tidak aman untuk dikonsumsi.

Armand menyampaikan produk perusahaannya sudah mengaplikasikan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) dan tersertifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). "BPOM mau ngomong begitu (Fiesta Seafood Mackarel bercacing), silakan. Minta tarik, kami tarik. Tapi jangan salah, produk kami sudah melewati proses HACCP SNI dan sudah dicek oleh badan karantina KKP," kata Armand.

Dihubungi terpisah, PT Heinz ABC Indonesia mengungkapkan hal serupa lewat keterangan tertulis Perusahaan tersebut merupakan produsen ABC Mackerel. "Perusahaan kami selalu menjunjung tinggi integritas dan menempatkan konsumen sebagai yang utama, di mana tindakan melakukan penarikan produk ABC Makarel secara sukarela dari pasar merupakan bukti nyata dari penerapan nilai-nilai tersebut," tulis PT Heinz ABC Indonesia.

Armand menjelaskan sampai saat ini belum ada kepastian teknis dari BPOM terkait tindak lanjut mengenai durasi penarikan produk, jumlah produk yang ditarik, sampai perbaikan yang harus dilakukan. Namun menurutnya CPP sedang berdiskusi terus dengan BPOM terkait hal yang bisa dilakukan ke depan. Armand juga bilang CPP sebagai pelaku indistri akan patuh terhadap BPOM.

Dia juga mengimbau kepada konsumen agar tidak berhenti mengonsumsi produk Fiesta Seafood. "Kalau masih merasa ikan laut berbahaya atau segala macam, kami punya produk ikan budidaya patin, bukan dari laut. Kalau masyarakat mau mengurangi makarel ke patin, mengapa tidak?" ujarnya.

Sementara PT Heinz ABC Indonesia akan mendalami temuan dari BPOM. Mereka akan melakukan investigasi mandiri terhadap temuan cacing di produk mereka. "Kami akan melakukan investigasi terhadap permasalahan ini dan memberitahukan lebih lanjut mengenai kapan produk bebas dari kontaminasi dapat kembali dipasarkan," tulis mereka.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito menginstruksikan bagi produsen, distributor, ataupun importir produk ikan makarel kaleng yang mengandung cacing parasit untuk menyetop penjualan. "Kami instruksikan penghentian sementara impor dan produksi sampai ada audit yang lebih besar," Penny menyampaikan di kantor BPOM di Jakarta, Rabu.

Instruksi itu menyusul temuan BPOM atas 27 merek ikan makerel kaleng yang mengandung cacing. Temuan ini merupakan hasil pengujian 541 sampel dari 66 merek ikan makerel kaleng di seluruh Indonesia. BPOM membeberkan secara rinci 27 merek itu di situs resminya pads Rabu (28/3). Puluhan merek produk mengandung cacing itu antara lain ABC, ABT, Ayam Brand, Botan, CIP, Dongwon, Dr. Fish.

Selain itu ada juga mereka Farmerjack, Fiesta Seafood, Gaga, Hoki, Hosen, IO, Jojo, King's Fisher, LSC, Maya, Nago/Nagos, Naraya, Pesca, Poh Sung, Pronas, Ranesa, S&W, Sempio, TLC, dan TSC.

Thursday, March 29, 2018

Demo Ojek Online Demi Upah Sebesar Rp. 1,5 Juta Perhari

Kehadiran transportasi berbasis daring (online) memberikan angin segar bagi permasalahan pengangguran tinggi yang saat ini menjadi masalah utama sektor ketanagakerjaan di tanah air.  Terlebih, data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta orang pada Agustus 2017. Jumlah ini naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 7,03 juta orang.

Berdasarkan kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang dirilis bulan ini, penghasilan mitra pengemudi aplikasi Gojek bahkan bisa melampaui Upah Minimal Pekerja (UMP). Survei yang dilakukan lembaga tersebut pada akhir tahun lalu ini menyebut, 
  • sekitar 1.200 dari 3.315 responden mitra Gojek mengaku memperoleh penghasilan di atas Rp3,5 juta per bulan. 
  • Sebagai pembanding, sebelum menjadi mitra Gojek, hanya 264 responden dari 3.315 responden yang memiliki penghasilan di atas Rp3,5 juta per bulan. 

Adapun untuk menjadi mitra Gojek, tak dibutuhkan syarat pendidikan, hanya perlu keterampilan mengemudi.  Di awal kemunculannya, perusahaan transportasi online atau aplikator memberikan subsidi tarif dan insentif yang cukup menggiurkan kepada para mitranya. Tak ayal, masyarakat pun berbondong-bondong melamar menjadi tukang ojek.

Namun, dalam perjalanannya, kemitraan ini beberapa kali mendapatkan sandungan. Pasalnya, aplikator tak bisa terus menerus memberikan subsidi tarif yang besar seiring membengkaknya jumlah mitra. Di sisi lain, aplikator juga saling besaing satu sama lain dalam memberikan tarif guna menarik penumpang. Beberapa kali pengembang aplikator didemo oleh mitranya karena masalah hubungan kemitraan yang dianggap merugikan, terutama masalah tarif.

Terakhir, Selasa (27/3) lalu, ribuan pengemudi ojek online menggelar demo di depan Istana Negara. Kali ini, protes aliansi pengemudi ojek online yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia itu menuntut intervensi pemerintah dalam rasionalisasi tarif ojek online yang diberlakukan oleh aplikator.

Setelah bertemu dengan perwakilan pendemo, pemerintah mengusulkan batas minimal tarif ojek online setidak nya Rp 2.000 per kilometer (km) setelah memperhitungkan keuntungan dan biaya jasa yang berkisar Rp1.400 - Rp1.500 per km. 

Namun, angka tersebut masih di bawah usulan pengemudi ojek online yang menuntut setidaknya tarif minimal Rp 3.000 per km tanpa perlu ada insentif tambahan, seperti bonus dan promo. Dengan skema seperti ini maka cukup dengan 4 kali rit dengan jarak 10 km per rit pengemudi online sudah mampu membawa sekitar Rp. 100.000, per hari dengan jam kerja kurang dari 3 jam per hari.
Lima orang perwakilan driver ojek online (ojol) mengeluhkan tarif yang kelewat murah kepada Presiden Joko Widodo. Driver ojol mengusulkan tarif sebesar Rp 2.500 per kilometer. "Usulnya jadi Rp 2.500 per kilometer," ujar Menhub Budi Karya Sumadi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/3/2018).

Menurut Menhub, tarif yang diberlakukan saat ini terlalu murah. Tarif itu disebut merugikan driver.
"(Mereka mengeluh) tarifnya kemurahan, sekarang itu Rp 1.600 per kilometer. Jadi 6 kilometer itu baru dapat Rp 10.000 (Kecuali apabila kurang dari jarak minimal). Jadi mereka merasa kurang," tutur Budi.

Budi menuturkan para driver ojol akan kembali melakukan mediasi. Mediasi akan digelar pada Rabu (28/3) di Kemenhub."Tadi pengemudi ojek online sudah diterima dan rencananya akan melakukan mediasi besok jam 16.00 WIB," ujar Budi. Setelah bertemu Jokowi, perwakilan driver ojol menemui massa yang menunggu di depan Istana. Jokowi disebut kaget atas skema tarif ojol saat ini.

"Beliau (Jokowi) kaget ketika saya gambarkan dulu saya pernah (mengalami tarif, red) Rp 4 ribu per 1 km, sehari saya bawa Rp 1,5 juta. Sekarang cuma Rp 1.600 per km, Bapak Presiden kaget," kata perwakilan dari Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), Rahman, saat menemui massa.

Sebagai gambar dengan penghasilan Rp. 1,5 juta per hari atau sekitar Rp. 45 juta sebulan maka penghasilan driver ini sudah setara dengan gaji direktur diperusahaan skala besar bahkan dengan bekerja selama kurang dari 2 jam perhari driver sudah dapat menghasilkan Rp 3 juta sebulan. Tentu saja para pemakai jasa mereka harus rela mengeluarkan uang lebih banyak dan mungkin menghemat pengeluaran di tempat lain.

Konsep kemitraan antara aplikator dengan mitra pengemudi di Indonesia merupakan suatu anomali. Pasalnya, posisi aplikator dan pengemudi sebagai mitra tidak berimbang. Misalnya, dalam hal penentuan tarif yang cenderung diputuskan sepihak oleh aplikator.  Menurut Susilo, anomali ini terjadi karena jumlah pasokan tenaga kerja di Indonesia melampaui jumlah lapangan kerja yang tersedia, tercermin dari masih tingginya angka pengangguran. Akibatnya, posisi tawar mitra pengemudi yang membutuhkan lapangan kerja menjadi lebih rendah.

Di sisi lain, pengemudi ojek online bukanlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh aplikator. Akibatnya, hak dan kewajiban mitra pengemudi ojek online tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun tentang Ketenagakerjaan. Indonesia, lanjut Susilo, belum memiliki payung hukum yang jelas dalam melihat hubungan kemitraan gaya baru ini. Jangankan hubungan kemitraan, moda transportasi ojek sebenarnya tidak termasuk sebagai angkutan umum yang diakui dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kendati demikian, melihat banyaknya jumlah mitra pengemudi yang kini telah menggantungkan hidupnya pada ojek online, pemerintah tak bisa berdiam diri.  "Dalam konteks sebagai regulator, pemerintah harus menjadi pelindung dari pihak yang lemah. Pemerintah harus intervensi dan membuat aturan yang jelas antara mereka (aplikator dan mitra pengemudi), termasuk masalah hak dan kewajiban," ujar Susilo.

Pemerintah, lanjut Susilo, bisa berperan sebagai mediator antara kedua belah pihak. Namun, pada akhirnya, masalah penentuan tarif harus dikembalikan pada aplikator dan mitranya.'

Senada dengan Susilo, Pengamat Ketenagakerjaan sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono juga menilai masalah penentuan tarif harus dikembalikan kepada kedua belah pihak karena hubungan keduanya merupakan hubungan kemitraan. Jika terjadi pelanggaran dalam perjanjian kemitraan, salah satu pihak bisa membawa ke ranah hukum perdata.

"Seharusnya, (pengemudi ojek online) tidak meminta pemerintah untuk mengatur (tarif itu). Ini kan berarti pemerintah campur tangan pada perjanjian pada umumnya," ujarnya. Pemerintah, lanjut Aloysius, hanya bisa berperan sebagai perantara antara kedua pihak untuk mengadakan perjanjian mengenai tarif. Pengamat ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi mengungkapkan keberadaan aplikasi ojek online bisa menjadi solusi jangka pendek bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia yang belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja. Karenanya, keberadaannya jangan sampai dihilangkan.

"Kalau memiliki keahlian tinggi tetapi lapangan kerjanya tidak ada kan sama saja," ujar Tadjudin.

Pemerintah sendiri terus mengkaji aturan hubungan kerja antara aplikator transportasi online dengan mitranya, terutama pengemudi kendaraan roda dua.  Menurut Menteri Ketenakerjaan Hanif Dhakiri, pola kemitraan antara keduanya masih samar. "Yang terjadi saat Ini kan nonstandard form of employment. Jadi memang polanya tidak biasa. Makanya, justru karena kasusnya seperti itu, kami mengkaji secara mendalam, apakah perlu output dalam bentuk kebijakan. Tapi dengan catatan, kalau misalnya jadi regulasi, jangan bikin industrinya jadi tidak berkembang," ujar Hanif kemarin.

Penyelesaian konflik antara mitra pengemudi gojek dengan aplikator harus segera menemukan titik temu. Jika terjadi konflik berlarut-larut, pada akhirnya yang akan dirugikan adalah masyarakat luas.

Di tengah terpaan debu dan gelapnya malam Jakarta, beberapa pengemudi ojek konvensional masih terlihat setia menunggu penumpang di pangkalan mereka depan Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara.  Pandangan mata tertuju pada salah seorang pengemudi ojek konvensional. Pengemudi ojek tersebut menggunakan jaket salah satu perusahaan ojek online. Namun ia pakai secara terbalik sehingga sekilas terlihat seperti jaket hitam biasa.

Pria itu biasa dipanggil Maksus. Dia dulunya berprofesi sebagai tukang ojek pangkalan. Kini dia menjalani sebagai pengemudi ojek online sekaligus ojek pangkalan. "Iya mas saya awalnya opang (ojek pangkalan), kemudian saya menjadi ojek online. Sekarang saya kembali menjadi ojek pangkalan," kata Maksus.

Masalah pendapatan menjadi alasan Maksus menyambi keduanya, pengemudi ojek pangkalan sekaligus ojek online. Ia tidak bisa bergantung pada pendapatan sebagai pengemudi ojek online. Begitu juga sebaliknya, penghasilan yang ia dapat dari ojek pangkalan tak bisa menjadi pegangan sehari-hari.

Maksus bercerita pendapatan sebagai pengemudi ojek pangkalan tak beda jauh dengan ojek online. Yang membedakan, ojek online memiliki sistem bonus dan insentif. Selain itu pengaplikasian teknologi internet dalam ojek online, tentu bisa menjaring konsumen lebih banyak daripada ojek konvensional.

"Saya jadi opang itu sehari Rp100 ribu sampai Rp150 ribu sih ketutup narik cuma perlu 4 kali kerja enak bisa santai dan banyak nongkrong. Sama saja seperti ojol, beda dikit, kalau lagi malas Rp80 ribu, kalau lagi rajin bisa dapat Rp150 ribu tapi harus kerja keras 8 jam, jadi malas karena nggak bisa sambil main main. Tapi kan di ojol ada bonus dan insentif juga.

Selain soal perbedaan pendapatan, Maksus, pria berusia 42 tahun yang sudah menjadi tukang ojek selama 20 tahun ini juga bercerita mengenai ojek online yang kian hari dia anggap kian semena-mena dan terlalu berpihak pada pelanggan dengan menganggap konsumen adalah raja.

Saat itu, ia merasa perusahaan ojek online sebagai operator tiba-tiba mengubah tarif dan bonus yang justru merugikan pengemudi. Karena dasar itu, dia kemudian berhenti sebagai pengemudi ojek online. "Saya tidak suka dengan tindakan aplikator yang semena-mena mengubah tarif atau bonus," ujar dia.

Maksus menjelaskan rinci aplikator melakukan penurunan tarif tanpa pemberitahuan, padahal sebelumnya selalu ada pemberitahuan setiap ada kebijakan penurunan tarif.  Selain itu ada juga perubahan sistem bonus. Awalnya pengemudi harus memenuhi syarat jumlah pelanggan untuk mendapat bonus, kini berubah syaratnya menjadi jumlah kilometer yang ditempuh dan ini namanya pemaksaan untuk harus rajin bekerja padahal tujuan awalnya adalah agar bisa santai.

"Tadinya per orang (konsumen) buat bonus, sekarang perkilometer bonusnya. Tarif per kilo juga saya bingung, dulu ada pemberitahuan lewat pesan singkat, sekarang turun ya turun saja tarifnya," kata Maksus. Pria asli Betawi ini menyebut alasan lain ia berhenti sebagai pengemudi ojek online karena merasa aplikator tidak memikirkan nasib para pengemudinya di lapangan. Tindakan semena-mena tersebut tercermin dari penurunan tarif dan penentuan promo sesuka hati aplikator.

"Bayangkan kalau dari Gading ke Pantai Indah Kapuk hanya Rp 20 ribu. Isi bensin saja bisa Rp15 ribu. Gila kata saya. Bisa pingsan di jalan dong driver-nya. Sudah begitu dipotong juga sama promo. Ya kami makan apa? Makan angin?," ungkap Maksus menggebu-gebu. Sedangkan bila jadi opang bisa pakai harga tembak dan kartel, jadi dapatnya bisa Rp. 100 ribu sekali jalan.

Pria dua anak ini lantas menyebut istilah karyawan atau mitra yang disematkan oleh aplikator kepada pengemudi tak lebih sekadar status. Karena di sisi lain, perusahaan justru seperti tak memikirkan nasib para mitranya. "Narik cuma buat kasih makan orang aplikator. Kita kan bekerja begini supaya bisa buat kasih makan anak istri juga. Jangan mereka (aplikator) makmur, kita (pengemudi) modar," cetus Maksus.

Usai berhenti dari ojek online selama tiga bulan, Maksus kembali lagi menjadi pengemudi ojek online karena sekarang sulit menerapkan harga tembak, tanpa melepaskan statusnya sebagai ojek pangkalan. Dia menegaskan, penghasilan merupakan alasan utama dia menjalani dua profesi ini.

Ada plus minusnya antara ojek pangkalan dan ojek online.

Maksus menyebut keuntungan sebagai pengemudi ojek konvensional, yakni pengemudi bisa menentukan tarif perjalanan sesuka hati dengan penumpang karena disini penumpang tidak punya daya tawar dan hanya jadi objek perahan. Berbanding terbalik dengan pengemudi ojek online yang tarifnya ditentukan sesuka hati oleh aplikator.

Di sisi lain ada kerugian sebagai pengemudi ojek konvensional, dalam hal ini memakan waktu lama untuk mendapatkan pelanggan karena mahalnya tarif sehingga penumpang lebih memilih naik taksi atau membawa kendaraan pribadi. Berbeda dengan ojek online yang berada dalam jaringan internet, akan lebih mudah mendapat konsumen.

"Kalau sebagai opang saya yang nentuin tarif sesuka hati sama penumpangnya. Kalau di online saya tidak bisa menentukan, dari operator saya ditentuinnya, operator yang seenaknya itu. Bedanya, kalau opang itu mau mencari penumpang saja sampai menunggu dua tiga jam, baru bisa dapat tarikan nunggu orang yang laig kepepetlah istilahnya," kata Maksus sambil tersenyum lebar.

Di samping itu, ia mengakui menjadi pengemudi ojek online bisa mendapat keuntungan lain berupa bonus untuk menambah penghasilan. Namun lagi-lagi, sistem bonus juga mulai diubah oleh aplikator. Perubahan ini yang dianggap malah memberatkan pengemudi.

"Bonus sekarang (dihitung) per kilometer," ujar dia. "Ini kan sama dengan memaksa orang jadi rajin dan kurang waktu untuk bergaul dan tidur siang"

Saat ini tarif per kilometer ojek dalam jaringan sekitar Rp1.600. Tarif rendah ini yang menjadi tuntutan ribuan pengemudi ojek online saat berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3). Mereka menyampaikan usulan soal tarif baru kepada perusahaan. Mereka berkeras kenaikan tarif harus terjadi. Tarif yang mereka inginkan antara Rp 3.500 sampai Rp 4.000 per kilometer sehingga dengan bekerja 8 jam perhari bisa membawa uang pulang sebesar Rp. 45 juta sebulan

Perwakilan ojek online pun sudah diterima Presiden Jokowi yang kemudian menunjuk dua menterinya, yakni Menhub Budi Karya Sumadi dan Menkominfo Rudiantara untuk mengurus dan menyelesaikan permasalahan yang jadi tuntutan para pengemudi ojek online.

Mengenai unjuk rasa itu, Maksus pun berharap agar pemerintah bisa merealisasikan tuntutan tarif Rp4.000 pe rkilometer karena dirinya sudah tidak sabar untuk membeli mobil

Menurutnya, naiknya tarif perkilometer ojek online juga akan memberi kesempatan bagi ojek pangkalan. Artinya, tarif antara ojek pangkalan dan ojek online tidak terlalu berbeda jauh sehingga akan membuat persaingan sehat. Penghasilan antara ojek pangkalan dan ojek online pun bisa setara.

"Kalau saya meminta mudah-mudahan aspirasi dari yang pada demo itu tolong diusahakan. Per kilometer Rp 4.000, tapi ya Rp 3.000 per kilometer juga tidak apa," ujar Maksus. Lebih dari itu, ia berharap agar pemerintah mendorong para aplikator ojek online dapat memperhatikan kesejahteraan para pengemudi.

Dalam hal ini, diharapkan pemerintah bisa menekan para aplikator untuk tidak menerapkan sistem yang bisa 'mencekik' para pengemudi online. Misalnya soal syarat bonus yang justru memberatkan para pengemudi, maupun pemberlakuan promo potongan tarif yang hanya menguntungkan konsumen. "Intinya pikirkan kami (pengemudi) yang selalu dirugikan dengan tarif rendah dan potongan promo. Kita kan sama-sama cari uang juga," terang Maksus sambil berlalu untuk kembali berbaring sambil menunggu penumpang.

Menaker Ingin Jam Kerja Karyawan Fleksibel Sehingga Bisa Kerja Dibanyak Tempat Sekaligus

Kementerian Ketenagakerjaan tengah mengkaji revisi jam kerja bagi pekerja agar lebih fleksibel dibanding saat ini. Kajian baru dimulai awal 2018. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan kajian ini bertujuan untuk menimbang apakah jam kerja sudah cocok bagi proses bisnis saat ini yang serba cepat. Selain itu, dengan jam kerja yang lebih fleksibel, ia berharap pekerja tidak merasa tertekan.

Ia mencontohkan, misalnya ada pegawai restoran yang bekerja di jam-jam sibuk seperti makan siang antara jam 11.00 hingga 13.00. Selepas itu, pekerja restoran bisa mencari pekerjaan lain dengan jam kerja pendek lainnya.

"Jadi, saya sudah menugaskan jajaran saya untuk mengkaji perlu tidaknya reformasi jam kerja dalam mensiasati perubahan pola bisnis yang begitu cepat. Tapi sekali lagi ini kajian, kami belum tahu seberapa perlu kami mereformasi jam kerja. Nanti akan kami lihat," jelas Hanif di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu malam (28/3). Selain itu, ia berharap jam kerja yang lebih fleksibel juga bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun, jika kajian Kemenaker tak menyimpulkan hal tersebut, bisa jadi reformasi jam kerja urung dilakukan.

"Ini tujuannya juga meningkatkan employability. Kesempatan orang untuk bekerja dalam rangka mencari tambahan penghasilan dan segala macam ini bisa lebih mudah. Akan kami lihat apakah reformasi jam kerja bisa meningkatkan kesempatan kerja dalam masyarakat. Kalau memanhg di kajian menemukan itu, maka kesimpulannya jadi perlu atau tidak perlu," papar dia.

Jika perubahan jam kerja dilakukan, ia juga masih melihat implikasinya terhadap peraturan saat ini. Menurutnya, saat ini jam kerja terhitung delapan jam sehari untuk enam hari kerja dan tujuh jam sehari untuk lima hari kerja sesuai pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di samping itu, ia bilang negara-negara maju juga sudah menerapkan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam. Ia mencontohkan, Inggris tetap memberlakukan pembayaran gaji secara bulanan. Tapi, basis perhitungannya adalah upah per jam. Dengan demikian, gaji yang didapat per bulan adalah akumulasi jam kerja selama sebulan dan dikalikan dengan tingkat upah per jamnya. Namun, karena masih kajian, ia tak bisa menyebut jumlah jam kerja yang optimal nantinya.

"Kami saat ini melihat dinamika pasar kerja di mana ada ketimpangan supply demand tenaga kerja yang tak imbang. Lalu ada masalah, jam pekerjaan fleksibel, tapi pekerjaannya ga bisa fleksibel," pungkas dia.

Meskipun hal ini dapat menurunkan upah kerja secara signifikan dan tanpa adanya penegakan hukum dan pasal pasal karet yang dapat dimulti tafsirkan oleh HRD perusahaan hal ini justru akan merugikan karyawan dimana harus kerja lebih banyak dengan bayaran lebih sedikit.