Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahil Lahadalia menyoroti lifting minyak Indonesia yang masih rendah. Padahal, sekitar tahun 1996-1997 Indonesia mencatatkan lifting minyak hingga 1,6 juta barel per hari.
"Kita tahu bahwa 30 tahun lalu, tahun 1996-1997, bahwa lifting minyak kita itu 1.600.000 barrel per day, dengan kontribusi kepada pendapatan negara itu sekitar 40-50 persen," kata Bahlil di Jakarta
Namun angka lifting terus menurun tiap tahun, meski sempat naik lagi pada tahun 2008 sekitar 800-900 ribu barel per hari. Angkanya turun lagi dan menjadi sekitar 600 ribu barel per hari saat ini.
Padahal kebutuhan minyak nasional mencapai 1,6 juta barel per hari. Selisih dari kebutuhan itu lantas harus diisi dari impor.
"Produksi minyak kita itu tinggal 600.000 barat per day, dan konsumsi kita, itu 1.600.000 barat per day. Jadi kita impor kurang lebih sekitar 900 ribu sampai 1 juta. Jadi apa yang terjadi tahun 1997, kita export, sekarang berbalik, kita impor dengan jumlah yang sama," bebernya.
"Kalau tidak kita mampu mengatasi lifting, maka jangan pernah bermimpi kita ini akan menuju kepada keberatan energi," sambung Bahlil.
Ia juga menyebut Indonesia menghabiskan devisa negara Rp 500 triliun per tahun untuk impor minyak dan gas (migas). Kondisi tersebut turut mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Setiap tahun, kita itu menghabiskan devisa kita sekitar Rp 500 triliun. Makanya nilai tukar dolar kita, terhadap rupiah agak sedikit maju-mundur maju-mundur. Bayangkan, salah satu sumber kebutuhan dolar terbesar itu adalah kita untuk membeli energi," terang Bahlil.
Bahlil menjelaskan, solusi untuk permasalahan itu adalah penerapan teknologi Teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk meningkatkan lifting. Kemudian mengaktifkan kembali sumur minyak yang berstatus idle atau nganggur.
Dari sekitar 44.900 sumur yang ada, 16.000-an lebih sumur berstatus aktif. Kemudian 16.600 sumur idle, dan sekitar 5.000 sumur idle yang masih bisa dioptimalkan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan kondisi terkini terkait industri minyak Indonesia. Menurutnya, kondisi saat ini kebalikan dari tahun 1996-1997.
Bahlil mengatakan, saat ini Indonesia impor hingga 1 juta barel minyak per hari (BOPD) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Padahal dulu Indonesia bisa ekspor 1 juta barel minyak per hari.
"Jadi kalau (tahun) 96-97 kita ekspor 1 juta barel, di 2023 kita impor 1 juta barel. Ini kondisi bangsa kita," kata Bahlil dalam acara BNI Investor Daily Summit di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat.
Bahlil menyebut, kondisi ini terjadi karena lifting minyak di dalam negeri terus menurun, yakni hanya 600 ribu barel minyak per hari pada 2023. Di sisi lain, konsumsi semakin bertambah yakni 1,6 juta barel per hari.
"Di 30 tahun terakhir, tahun 1996-1997, lifting minyak kita itu 1,6 juta barel per day dan konsumsi kita itu 600-700 ribu barel per day. Saat itu 40-50% pendapatan negara bersumber kepada oil and gas, pada saat itu makanya kita masuk negara OPEC. Jadi terbalik 30 tahun lalu antara lifting dan ekspor, berbalik dengan lifting dan impor di 2023," tutur Bahlil.
Selain karena sumber migas Indonesia banyak yang sudah tua, Bahlil menyebut penurunan produksi terjadi salah satunya karena regulasi.
"Reformasi, kemudian terjadi perubahan aturan, Pertamina tidak lagi di bawah presiden, kemudian Pertamina didorong di bawah kementerian BUMN. Apa yang terjadi? Lifting kita turun terus, di samping memang sumur-sumur kita sudah lama, tetapi regulasi memang salah satu yang membuat persoalan ini," imbuhnya.
"Makanya di hampir setiap pembahasan APBN, makro ekonomi selalu berbicara tentang berapa harga ICP dan berapa lifting kita. Di saat bersamaan, harga minyak dunia sejak perang Rusia-Ukraina dan Timur Tengah itu fluktuatif," tambahnya.
No comments:
Post a Comment