World Travel Market

”Apakah negara Anda benar-benar seluas ini?” tanya seorang pengunjung Paviliun Indonesia di arena World Travel Market di Excel Center, London, Inggris, pertengahan November lalu. Dia membentangkan sebuah peta yang dibagikan untuk pengunjung dan menunjuk ujung-ujung wilayah Indonesia yang terpampang di atas peta itu.

Pria asal Tunisia itu lalu bertanya berapa jumlah penduduk Indonesia, di mana ibu kotanya, di mana letak Pulau Bali, dan di mana terjadi bencana tsunami baru-baru ini.

”Ini bukan termasuk wilayahnya Malaysia, ya?” dia bertanya lagi sambil menunjuk Pulau Kalimantan. Tentu saja dia mendapat gelengan kepala atas pertanyaan itu.

Sekitar awal tahun 2007, dalam sebuah acara lokakarya media di Taipei, Taiwan, seorang wartawan asal Guatemala melontarkan pertanyaan mirip seperti itu. Dia menanyakan, apakah Indonesia benar-benar seluas seperti yang digambarkan di peta.

Sejenak dalam benak terlintas pertanyaan, negara sebesar ini tak banyak diketahui orang, sementara negara sekecil Singapura lebih banyak dikenal orang. Apakah mereka yang tidak pernah membaca soal Indonesia atau Indonesia sendiri yang kurang memperkenalkan dirinya kepada warga dunia?

Selain dalam perjalanan sejarah dunia, kiprah politik, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara ini, Indonesia bisa lebih dikenal melalui pariwisata. Negeri ini tidak kekurangan daerah yang elok dan peninggalan sejarah yang bisa dinikmati banyak orang dari belahan dunia lain.

Pintu gerbang

Membawa Indonesia dalam ajang-ajang pasar wisata di seluruh dunia menjadi salah satu pintu gerbang untuk mendatangkan wisatawan ke Tanah Air. Di ajang World Travel Market (WTM) di London pada 8-11 November, Indonesia mengusung Pulau Komodo sebagai ”dagangan” utama. Replika kadal raksasa yang terpajang di depan Paviliun Indonesia menarik minat banyak pengunjung WTM.

Mereka berfoto bersama si komodo, bertanya tentang kadal raksasa itu kepada pemenang kelima Putri Pariwisata 2010, Natasha Sutadisastra, yang kemudian mengajak pengunjung untuk memberikan suara bagi Pulau Komodo. Pulau ini menjadi salah satu finalis Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru (New Seven Wonders).

”Ada yang sangat antusias, ada pula yang heran dan berkata, ’Benar-benar ada kadal sebesar itu di negaramu? Untuk apa saya melihatnya? Menakutkan’,” tutur Natasha, sembari tertawa.

Sayangnya, perangkat lunak (software) untuk memberikan suara bagi Pulau Komodo tidak bisa diaplikasikan di arena WTM. Alhasil, tak banyak suara bisa dijaring bagi Pulau Komodo dari arena WTM.

Tenun ikat

Di sudut kanan, Alfonsa Horeng dari Flores memamerkan tenun ikat Maumere. Dia membawa alat tenun dan kain tenun ikat, baik yang sudah berbentuk tas atau baju maupun dalam bentuk lembaran. Banyak pengunjung yang mengagumi hasil karyanya dan tidak sedikit pula yang memutuskan untuk membelinya.

”Mereka lebih suka kain yang sudah dibuat menjadi tas atau pakaian. Beberapa pengunjung juga menuturkan mereka seperti melihat budaya mereka yang hilang dengan melihat tenunan ini,” ujar Alfonsa.

Paviliun Indonesia juga menawarkan kopi luwak di salah satu sudutnya. Kopi ini menjadi primadona pengunjung paviliun. Mereka rela mengantre untuk mendapatkan segelas kopi panas nan nikmat, yang disebut-sebut sebagai salah satu kopi termahal di dunia itu. Selain itu juga disajikan tarian Bali.

Mengapa hanya dua provinsi, yakni Bali dan Sulawesi Utara yang dibawa? Pihak Kementerian Budaya dan Pariwisata menyatakan, banyak provinsi yang telah diminta jauh-jauh hari untuk berpartisipasi di WTM, tetapi tidak banyak yang merespons. Provinsi yang selalu siap hanya Bali sehingga provinsi yang satu ini selalu ada hampir di setiap pasar pariwisata dunia. Provinsi lain mengalami sejumlah kendala, terutama dana.

WTM merupakan pasar pariwisata potensial. Ajang ini diikuti 187 negara dan ratusan pelaku industri pariwisata dari berbagai belahan dunia. Semua berlomba-lomba ”menjual” negaranya guna memikat sebanyak mungkin pengunjung untuk datang ke negara masing-masing.

Zona pameran diatur sedemikian rupa menurut kelompok benua. Stan setiap negara dibuat sesuai kekhasan budaya, keindahan daerah tujuan wisata, atau apa pun yang menonjol dari negara tersebut.

Banner raksasa dengan tag line iklan wisata, lampu-lampu berwarna-warni, aksesori meriah, pakaian nasional, foto-foto pemandangan menakjubkan, dan replika keistimewaan negara menghiasi setiap stan negara. India, misalnya, dengan tawaran ”Incredible India”, menempati stand yang luas dihiasi banyak foto budaya dan tempat-tempat terkenal untuk dikunjungi. Stan Afrika Selatan didominasi warna merah yang cerah. Di sisi-sisi luarnya terpampang gambar besar hamparan taman nasional dan mobil safari untuk menjelajahinya.

Kurang menarik

Stan Indonesia, yang dinamai Paviliun Indonesia, berdiri di seksi S5, diapit stand Malaysia dan Filipina. Paviliun Indonesia menempati gerai seluas 244 meter persegi dan menampilkan motif ukir-ukiran yang dicetak di atas kertas dan ditempel di dinding-dinding bahan aluminium penopang stan. Menggunakan sistem knockdown, gerai itu kelihatan ringkih jika dibandingkan kayu-kayu penopang gerai Malaysia atau Filipina.

Tulisan ”Indonesia” berwarna merah terpampang di bagian atas ruang VIP. Pada hari ketiga, huruf N pada salah satu tulisan Indonesia hilang. Warna ukiran pun kurang mencolok karena didominasi merah tua bertemu kuning. Kesan yang tertangkap sekilas ketika melihat Paviliun Indonesia: kurang eye-catching alias kurang bisa membuat mata terbelalak.

Pihak profesional convention organizer (PCO) menjelaskan, Indonesia menampilkan bagian dari budaya Toraja dalam WTM kali ini untuk bagian dekorasinya. Ukir-ukiran itulah wujudnya. Sayangnya, bentuk gerai yang ingin dibuat seperti rumah adat tongkonan tidak terlihat.

Segi fisik stan sangat penting karena bentuk itulah yang pertama kali dilihat pengunjung. Jika tidak terlihat menarik, pengunjung akan lewat begitu saja tanpa mencari tahu lebih jauh. Di sejumlah arena pasar pariwisata yang diikuti Indonesia, berdasarkan catatan Kompas, kurang menonjolnya stan Indonesia dilihat dari segi tampilan fisiknya kerap terjadi. Pada Arabian Travel Market 2010 di Dubai, Juni lalu, kurang greget dan kurang mencoloknya tampilan Indonesia juga menjadi ganjalan.

Setidaknya, jika ingin total dalam menjual Indonesia, tampilan stan yang menjadi pintu gerbang pemikat harus dibuat seunik mungkin dan sebanyak mungkin memperlihatkan pesona Indonesia. Jika tidak, orang hanya akan melewatinya tanpa melirik sedikit pun. Kalau sudah begitu, mau dijelaskan seindah apa pun Indonesia, mereka tidak akan tertarik untuk datang. Sayang sekali, bukan?