Friday, March 6, 2020

Kisruh Antara Buruh dan Pengusaha Aice Tidak Perlu Terjadi Bila Ada Omnibus Law

Pemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR RI. RUU yang diharapkan mampu menggenjot investasi dalam negeri tersebut mengubah beberapa ketentuan terkait ketenagakerjaan. Salah satunya tentang hak pekerja untuk mengajukan gugatan kepada pemberi kerja ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ketika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja dikatakan, pemerintah memutuskan untuk menghapus ketentuan mengenai hak pekerja tersebut

RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga memungkinkan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem kontrak tanpa batas waktu

PT Alpen Food Industry (AFI) yang merupakan produsen es krim merek AICE melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 620 karyawan. Jumlah karyawan tersebut terdiri dari karyawan tetap sebanyak 595 orang, karyawan kontrak 22 orang, dan pekerja outsourcing (alih daya) 3 orang.

Juru Bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) Sarinah mengungkapkan alasan PHK tersebut lantaran perusahaan menilai para buruh melakukan mogok kerja secara tidak sah. Aksi tersebut dilakukan pada 21-28 Februari 2020 lalu.

Every great civilization are builds upon disposable cheap labor - Altered Carbon

"Mereka menganggap (mogok) kami tidak sah karena tidak ada risalah perundingan yang menyatakan deadlock (jalan buntu). Tetapi, menurut kami selama ini perusahaan keliru menginterpretasikan frasa 'mengalami jalan buntu'," katanya, Kamis (6/3).

Untuk diketahui, perihal mogok kerja diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah. Pasal 2 menyebutkan mogok kerja merupakan hak dasar buruh yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal selanjutnya menyebutkan mogok kerja tidak sah apabila bukan akibat gagalnya perundingan. Kemudian, pasal 4 menjelaskan ketentuan gagalnya perundingan, yakni tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial karena beberapa penyebab.

Pertama, pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun pekerja telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 kali dalam tenggang waktu 14 hari kerja. Kedua, perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.

Sarinah menjelaskan pihak buruh dan manajemen AICE telah mengadakan perundingan enam kali, salah satunya difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Lima perundingan tersebut tidak pernah menemui kesepakatan, tetapi berhasil menghasilkan lima risalah perundingan.

Sayangnya, tak ada satu risalah pun yang berisikan frasa 'mengalami jalan buntu' sebagaimana disyaratkan dalam aturan. Ia bilang yang tercantum hanyalah pernyataan 'tidak ada kesepakatan'. Fakta tidak tertulis frasa 'mengalami jalan buntu' disebut Sarinah sebagai alasan perusahaan yang berbasis di Singapura itu mengklaim mogok buruh tidak sah. Namun, Sarinah mengatakan justru perusahaan sendiri yang bersikeras tidak mau menulis frasa 'mengalami jalan buntu'.

"Itu sudah biasa, pengusaha pada umumnya tidak mau menulis buntu. Mereka selalu bersedia berunding, bahkan bisa sampai puluhan kali tapi tidak mau bikin risalah ada kata 'buntu' atau 'deadlock'," jelasnya.

Menurutnya, tafsir 'mengalami jalan buntu' dalam aturan tersebut tak mengartikan wajib tertera tulisan 'mengalami jalan buntu' dalam risalah perundingan. Namun, lebih kepada kondisi tak terjadi kesepakatan antara pekerja dan perusahaan. "Menurut kami tafsiran 'mengalami jalan buntu' ini bukan tafsiran harus ditulis mengalami jalan buntu, tetapi kondisinya," katanya.

Ia menyatakan serikat pekerja akan menempuh upaya non litigasi (di luar pengadilan) guna menuntut hak mereka. Bersama buruh lainnya, ia mengaku akan terus menyerukan kampanye boikot AICE. Mereka juga telah meminta bantuan dari serikat buruh dari negara tetangga, Filipina.

"Kami tidak mau pesangon, kami maunya bekerja kembali dengan kondisi kerja yang sesuai dengan undang -undang," imbuh dia. Untuk diketahui, selisih hubungan industrial antara perusahaan dan buruh sudah berlangsung sejak 2017. Perselisihan keduanya bahkan sempat menjadi buah bibir di media sosial.

Buruh mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Mulai dari penurunan upah, pekerja kesulitan mengambil cuti, perempuan hamil bekerja hingga malam hari, bonus dibayarkan dengan cek kosong, pelanggaran hak buruh kontrak, dan lainnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Legal Corporate Alpen Food Industry Simon Audry Halomoan mengklaim pihaknya telah melakukan PHK sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia mengacu pada pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003.

Pada pasal 6 ayat 1 menyebut mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Ini berbanding terbalik dengan klaim buruh yang menyatakan mogok mereka dilakukan secara sah.

Lebih lanjut, pasal 6 ayat 2 menyebutkan pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok secara tidak sah dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Lalu, pasal 6 ayat 3 mengatakan pekerja yang tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri. "Kami dalam hal PHK selalu mengikuti prosedur yang berlaku," katanya..

Berdasarkan surat PHK karyawan yang diterima, tertulis jika perusahaan telah berupaya memanggil buruh untuk kembali melalui surat tertulis pada 21 dan 25 Februari 2020. Namun, Sarinah mengklaim belum semua buruh korban PHK mendapat suratnya.

Dalam surat PHK tersebut juga diberitahukan bahwa tindakan buruh dikualifikasikan sebagai mangkir karena tetap menjalankan aksi mogok pada tanggal pemanggilan kerja. Karenanya, buruh dianggap mengundurkan diri dari perusahaan. Alpen Food Industry menyatakan hubungan kerja dengan buruh berakhir sejak 29 Februari 2020. "Bagi kami, mogok kerja yang dilakukan SGBBI (Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia Alpen Food Industry) dikualifikasikan sebagai mogok kerja tidak sah," tandas Simon

 Pemerintah mengaku tidak bisa menghalau gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dari beberapa perusahaan yang terjadi beberapa waktu terakhir, misalnya PT Indosat Tbk hingga PT Alpen Food Industry (AFI), produsen es krim merek Aice. Namun, pemerintah akan memanfaatkan program Kartu Prakerja untuk meredakan tinggi gelombang PHK tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan pemerintah tidak bisa menghalau rencana PHK karena merupakan kebijakan masing-masing perusahaan. Apalagi, bila keputusan PHK mempertimbangkan kinerja perusahaan secara bisnis.

"Jadi harus dibedakan antara yang korporasi, apakah terkait persaingan atau memang ada persoalan lain. Itu yang harus didalami. Tapi itu fenomena korporasi," ujar Airlangga, Jumat (6/3). Bila akar masalah berasal dari persaingan, maka masing-masing perusahaan mau tidak mau memang harus bisa mengembangkan diri. Hal ini, sambungnya, berbeda bila keputusan PHK terjadi dari dampak kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

"Kalau ada masalah fundamental lain, ya baru kami lihat," imbuhnya.

Kendati begitu, Airlangga mengklaim bahwa gelombang PHK sejatinya menjadi perhatian pemerintah. Karenanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan program Kartu Prakerja dan program manfaat bagi pengangguran (unemployment benefit). Tujuannya, agar bisa kembali menyerap para tenaga kerja korban PHK. Selain itu, bisa pula menghubungkan para pencari kerja dengan industri.

Tak ketinggalan, bisa memberikan dan meningkatkan keterampilan kepada tenaga kerja lokal agar sesuai dengan kebutuhan industri yang terus berkembang dari masa ke masa. "Makanya pemerintah membuat program Kartu Prakerja untuk reskilling terhadap mereka yang kena PHK. Di dalam omnibus law, kami sudah terapkan juga yang namanya unemployment benefit sebagai jaminan untuk kehilangan pekerjaan," ungkapnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan kedua program dipersiapkan agar tenaga kerja yang sudah tak relevan bekerja di sebuah industri bisa dialihkan ke industri lain. Misalnya, industri baru yang sedang ingin dipacu, seperti industri berbasis ekspor dan substitusi impor. Hanya saja, memang kedua program masih dalam tahap persiapan. Sebab, keduanya belum memiliki kelengkapan landasan hukum dan belum melangsungkan tahap percobaan (pilot project).

"Tetapi ini belum bisa dilakukan kalau undang-undangnya belum diundangkan," tuturnya.

Sunday, March 1, 2020

PT Alpen Food Industry (AICE) Diduga Bayar Bonus Buruh Pakai Cek Kosong

Dari mulai upah yang turun, ibu hamil dipekerjakan pada malam hari, kontaminasi lingkungan karena amoniak, mutasi pekerja terhadap anggota serikat hingga PHK.

"Perusahaan sering tidak proporsional memberikan hukuman. Ada yang meninggalkan pekerjaan karena ada urusan serikat yang buru-buru, langsung ke SP-3. Sedangkan ada yang 12 kali alpa, tidak dapat sanksi apa-apa," ungkapnya. Sarinah memaparkan kasus lainnya adalah buruh dibohongi. Menurut penuturan Sarinah, buruh diberikan cek mundur yang kosong.

Perjanjian dilakukan pada 4 Januari 2019. Buruh setuju menunggu setahun karena pengusaha belum mampu. Perusahaan menjanjikan bonus untuk 600 karyawan dengan total Rp600 juta. Ketika karyawan akan mencairkan pada 5 Januari 2020, cek ternyata kosong.

Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia PT Alpen Food Industry (AFI) melaporkan manajemen perusahaan es krim Aice ke Kementerian Ketenagakerjaan atas dugaan pelanggaran ketenagakerjaan. 

Asisten Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Barat (PBHI Jakarta) Sarinah mengungkap sebanyak 600 orang karyawan yang tergabung dalam serikat pekerja (SP) akan melaporkan tindakan perusahaan yang dinilai melanggar ketenagakerjaan.

"Kami mau lapor ke kementerian (tenaga kerja). Kami minta agar AICE diaudit termasuk soal limbah. Karena pekerja tidak mau disuruh-suruh buat buang limbah malam-malam atau ngecek amoniak yang bocor keluar. Pekerja juga bisa tunjukkan gorong-gorong di bawah tanah tempat limbahnya dibuang," ujarnya. Sarinah mengungkap kasus yang melibatkan SP dan AICE sudah terjadi sejak 2017. Saat itu, buruh mogok karena berbagai masalah yang melibatkan pekerja dan perusahaan.

Aksi tersebut membuat perusahaan Aice disomasi hingga dua kali. Sarinah mengungkap telah melaporkan beberapa keluhan SP kepada polisi seperti kasus ibu hamil dipekerjakan pada malam hari. Namun, kepolisian belum menerima kasus karena harus ada konsultasi internal. Ketika melaporkan kepada pengawas ketenagakerjaan, Sarinah mengungkap ada mediasi.

"Kami sudah laporkan ke pengawas ketenagakerjaan dan sudah mediasi juga, tapi mereka (pengawas) condong memihak ke perusahaan," ujarnya.

Respons Perusahaan
Terkait dengan hal itu, manajemen PT AFI angkat suara mengenai persoalan tersebut, di antaranya soal jumlah keguguran yang mencapai cuma 14 orang bukan 20 orang. 

Dia membantah perusahaan telah melanggar ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur pekerjaan bagi perempuan hamil.  

"Kami melakukan medical check up dengan RS Omni, dari 14 itu tidak ada (pelanggaran), " ujar Simon Audry Halomoan Siagian, Legal Corporate PT AFI.

Diketahui Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.

Sementara itu terkait cek kosong, Simon mengatakan perusahaan tidak pernah memberikan cek kosong. "Mana mungkin kami memberi cek kosong. mana mungkin kami memberikan bonus, tunjangan atau upah dalam bentuk cek, apalagi dalam bentuk cek," katanya.

 Hujan deras yang mengguyur Jakarta tidak menyurutkan semangat Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) PT Alpen Food Indonesia (AFI) 'menggeruduk' PT AFI yang menggelar konferensi pers. Manajemen Aice pun terlihat kaget dan tak mengantisipasi kedatangan tersebut. Mereka tampak kecolongan saat kuasa hukum SGBBI Syaiful Anam dan lima buruh AFI hadir di lokasi.

Restoran Vietnam di bilangan Jakarta Pusat yang awalnya terlihat sepi pengunjung, sontak menjadi ramai oleh kehadiran dua kubu yang bertikai tersebut.  Rencana tim PT AFI memberikan penjelasan akan kasus yang tengah menjadi buah bibir di sosial media pun terusik.

"Kami dari buruh, bawa jawaban kronologi PT AFI," potong Fajar, salah seorang buruh yang hadir sembari membagikan selembaran kertas kronologi dari pihaknya. Suasana pertemuan yang awalnya santai, tiba-tiba berubah tegang. Awak media yang hadir pun sempat kebingungan dan saling bertukar tatap.

Temen-temen buruh nanti boleh ya kasih penjelasan tapi ini kami selesaikan dulu statement kami," ucap Humas Aice Joseph Sinaga berusaha menengahi. Penjelasan kronologi dari produsen es krim Aice yang sempat terpotong kembali dilanjutkan oleh kuasa hukum Aice Simon Siagian.

Namun, sayangnya diskusi dua arah tak terjadi. Setelah serikat buruh memberikan penjelasan, Tim Manajemen Aice memutuskan untuk meja diskusi dan menutup pertemuan tergesa dengan alasan rapat tim.

Kronologi Perselisihan
Perselisihan tim manajemen Aice dan serikat buruh sudah berlangsung lama. Perselisihan keduanya bahkan sempat menjadi buah bibir di media sosial. Sejak 2017, SGBBI mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.

Asisten Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Barat (PBHI Jakarta) Sarinah mengungkap pada 2017 buruh mogok karena pelbagai masalah yang melibatkan pekerja dan perusahaan.

Misalnya, penurunan upah, kondisi kerja ibu hamil pada malam hari, kontaminasi lingkungan, mutasi pekerja terhadap anggota serikat, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). "Perusahaan sering tidak proporsional memberikan hukuman. Ada yang meninggalkan pekerjaan karena ada urusan serikat yang buru-buru, langsung ke SP-3. Sedangkan ada yang 12 kali alpa, tidak dapat sanksi apa-apa," katanya.

Menurut kuasa hukum Aice, ketidakpuasan buruh pada 2017 telah mencapai kesepakatan dua pihak. Dalam penyelesaiannya, salah satu solusi yang diberikan Aice adalah pengangkatan 665 buruh menjadi karyawan tetap. "Ada rangkaian peristiwa 2017 yang sudah kita selesaikan, jadi itu saya harap bukan hal yang perlu diungkit lagi karena sudah selesai," jawab Simon pada Jumat (28/2).

Sempat mereda, pada 2019 kasus lainnya kembali mencuat. Menurut Sarinah, buruh merasa dibohongi karena diberikan cek mundur yang kosong. Pada perjanjian yang dilakukan pada 4 Januari 2019, buruh setuju menunggu setahun bonus sebesar Rp600 juta untuk 600 karyawan.

Namun ketika hendak dicairkan pada 5 Januari 2020, pihak Bank menyatakan cek tersebut tidak aktif alias kosong. "Pihak Bank menelepon, katanya cek yang Bapak setorkan belum terdaftar. Aku kan enggak ngerti, aku tanyakan tapi tidak ada respon akhirnya telepon lagi. Katanya ceknya enggak aktif. Bayangkan setelah setahun kami menunggu, ternyata ceknya kosong," ungkap Panji, salah seorang buruh yang tergabung dalam SKBBI.

Dikonfirmasi mengenai klaim tersebut, kuasa hukum Aice membantah akan pemberian cek tersebut. Simon menyebut bahwa PT AFI tidak pernah memberikan bonus dalam bentuk cek, ia juga mempersilahkan SKBBI untuk menempuh jalur hukum jika dirasa perusahaan melanggar hukum.

"Saya ingin menantang kalau misalnya ada cek kosong dan itu merupakan pelanggaran hukum, mereka (SKBBI) dapat melakukan jalur hukum pidana. Dari legal corporate clear tidak ada cek keluar dari PT Alpen Food Industri," terang Simon pada Jumat (28/2).

Poin lainnya yang dipermasalahkan oleh SKBBI, menurut Sarinah, adalah jam kerja malam masih diberlakukan kepada perempuan hamil meski telah dikeluarkan surat rekomendasi oleh Komnas Perempuan. Hal itu menurutnya menjadi pemicu tingginya angka keguguran karyawan wanita.

Aice membantah perusahaan telah melanggar ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur pekerjaan bagi perempuan hamil. "Kami melakukan medical check up dengan RS Omni, dari 14 (keguguran) itu tidak ada pelanggaran," ucapnya.

Diketahui Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00.

Sementara, pada Oktober 2019 Aice membenarkan terjadinya kebocoran amoniak di gudang bahan jadi perusahaan. Dari keterangan resmi yang didapatkan, disebutkan bahwa tidak ada pekerja yang diminta melakukan kegiatan pembersihan saat terjadi kebocoran amoniak dan penanganan dilakukan oleh tim maintenance. Tidak dijelaskan apakah tim maintenance ini karyawan perusahaan atau pihak keitga lainnya.

"Kejadian bocornya amoniak memang pernah terjadi sekali di Oktober 2019 di ruang finish good (gudang bahan jadi). Namun saat terjadi kebocoran, seluruh karyawan segera dievakuasi dan penanganan kebocoran segera dilakukan oleh tim maintenance," katanya seperti dikutip dari pernyataan resmi Aice.

Belum mencapai kesepakatan, SKBBI menyatakan akan menempuh jalur hukum dalam mencapai hak dan tuntutan mereka. Selain itu, SKBBI AFI juga akan melaporkan manajemen perusahaan es krim Aice ke Kementerian Ketenagakerjaan atas dugaan pelanggaran tenaga kerja.

"Kami mau lapor ke kementerian (tenaga kerja). Kami minta agar AICE diaudit termasuk soal limbah. Karena pekerja tidak mau disuruh-suruh buang limbah malam-malam atau ngecek amoniak yang bocor keluar. Pekerja juga bisa tunjukkan gorong-gorong di bawah tanah tempat limbahnya dibuang," ujarnya.

Sarinah pun telah mengantongi bukti-bukti yang memberatkan manajemen. Kini, serikat buruh harus menanti hasil dari pelaporan yang dilakukan ke pihak berwenang.