Thursday, October 21, 2021

Alasan Bank Tolak Pengajuan KPR Meskipun BI Checking Bagus

 Direktur Utama PT Pefindo Biro Kredit Yohanes Abimanyu mengungkapkan beberapa alasan bank tidak meloloskan pengajuan kredit atau pinjaman nasabah meskipun rekam jejak nasabah tersebut terbilang baik.

Pertama, nominal kredit yang diajukan membutuhkan agunan, namun bank melihat nilai agunan yang dibutuhkan terlalu besar. Sementara menurut bank, nasabah dianggap tidak memiliki kemampuan agunan sebesar nilai yang dibutuhkan.

"Kalau bank melihat bahwa agunan (yang dimiliki nasabah) tidak cukup untuk cover kredit dan agunan yang dibutuhkan, ini bisa jadi salah satu alasan kredit tidak bisa disetujui," ungkapnya pada bincang virtual bersama media, Kamis (21/10).

Kedua, nasabah belum pernah mengajukan kredit ke bank. Secara rekam jejak, ia mungkin tidak punya catatan menunggak cicilan atau kredit macet. Tapi, hal ini membuat bank juga tidak punya pengetahuan soal profil risiko nasabah.

"Kalau tidak ada credit scoringnya, bank mungkin perlu waktu untuk melihat profil debiturnya. Bank jadi perlu waktu lebih lama untuk tanya-tanya ini orang karakternya bagaimana, rajin bayar engga, cek dulu ke tempat kerjanya, tetangganya, dan lainnya. Beda dengan yang laporan credit scoring-nya sudah ada, sudah valid, bisa lebih mudah," jelasnya.

Ketiga, bank sengaja menahan penyaluran kredit yang agresif ke nasabah. Menurut Direktur Pefindo Biro Kredit Wahyu Trenggono, alasan ini muncul khususnya di masa pandemi covid-19. Sebab, risiko meningkat, sehingga bank harus lebih hati-hati dalam mengucurkan kredit ke nasabah.

"Dengan kondisi ekonomi saat ini, kemampuan membayar nasabah, dan lainnya, bank agak menahan diri untuk kucurkan kredit secara agresif meski mungkin tidak ada masalah di credit scoring-nya, mereka selektif, ini bisa jadi alasan kenapa catatan bagus, tapi masih ditolak," kata Wahyu.

Tak cuma masyarakat secara individu, Yohanes mengatakan penolakan kredit bank kadang juga terjadi pada UMKM. Padahal, bisnis mereka kadang menjanjikan.

Menurut Yohanes, hal ini terjadi karena data UMKM masih cenderung minim di bank, meski jumlah mereka sangat banyak di Indonesia, yaitu mencapai 65 juta UMKM. Begitu juga dengan sumbangannya ke perekonomian yang sangat besar.

"Padahal data ini faktor penting untuk kita nilai kredit, tapi data UMKM ini sangat tersebar dan belum tersentralisasi sehingga bank masih belum bisa menganalisa," tuturnya.

Karenanya, Yohanes mengatakan nasabah dan masyarakat secara umum perlu memahami credit scoring atau kualitas kredit mereka untuk bisa bernegosiasi kepada bank saat mengajukan kredit. Apalagi, bila credit scoring nasabah sudah baik.

"Maka dari itu, masyarakat harus mulai paham soal pentingnya credit scoring, sehingga kalau credit scoring kurang baik, masyarakat bisa segera perbaiki, kalau sudah baik, bisa untuk meyakinkan bank," imbuh Yohanes.

Selain credit scoring, Yohanes mengatakan ada beberapa hal juga yang perlu diperhatikan nasabah agar pengajuan kredit mudah diterima. Mulai dari riwayat pengajuan kredit, riwayat pembayaran atau pelunasan kredit, dan lainnya. 

BTN Berhasil Bukukan Laba Bersih 1,52 Triliun Ditengah Pandemi

 PT BTN (Persero) Tbk mencatat laba bersih sebesar Rp1,52 triliun pada kuartal III 2021. Laba bank BUMN itu naik 35,32 persen dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp1,12 triliun.

Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo mengatakan kenaikan laba bersih ditopang oleh penyaluran kredit dan pembiayaan yang naik 6,03 persen pada kuartal III 2021. Walhasil, total penyaluran kredit yang pada periode sebelumnya Rp254,91 triliun, kini mencapai Rp270,27 triliun.

"Ini sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional yang berhasil dan transformasi BTN," ucap Haru dalam konferensi pers, Kamis (21/10). Kenaikan kredit ini, sambung dia, khususnya ditopang oleh kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi yang mencapai 11,74 persen. Jika ditotal, penyaluran kredit perumahan tumbuh 4,91 persen dari Rp231,34 triliun menjadi Rp242,69 triliun.

Di luar segmen perumahan, penyaluran kredit konsumer tercatat naik 21,28 persen menjadi Rp5,79 triliun. Lalu, kredit korporasi naik 89,77 persen menjadi Rp12,15 triliun. "Pertumbuhan kredit dan pembiayaan BTN berada di atas rata-rata penyaluran kredit yang disalurkan perbankan nasional yang hanya naik 2,21 persen per September 2021," jelasnya.

Sementara, Haru menyebut rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross BTN turun dari 4,56 persen menjadi 3,94 persen. Meskipun NPL turun, tetapi manajemen tetap menaikkan rasio pencadangan sebesar 1.410 bps menjadi 125,46 persen.

Selanjutnya, Haru memaparkan dana pihak ketiga (DPK) naik 6,56 persen dari Rp273,3 triliun menjadi Rp291,26 triliun. Seluruh kinerja ini membuat aset perusahaan naik 3,1 persen menjadi Rp368,05 triliun.

"Kinerja positif yang diraih BTN ini tidak terlepas dari dukungan semua stakeholder, terutama pemerintah melalui Kementerian BUMN, Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, OJK, dan BI," terang Haru.

Ia menambahkan bahwa perusahaan menyalurkan dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang ditempatkan sebesar Rp35 triliun. Hal ini disalurkan dalam bentuk KPR subsidi, non subsidi, hingga kredit BUMN.

"Dari dana PEN yang ditempatkan pemerintah sebesar Rp35 triliun, BTN sudah menyalurkan dalam bentuk kredit termasuk KPR subsidi, KPR non subsidi, kredit ke UMKM, kredit konstruksi, kredit BUMN, dan kredit lainnya senilai total 93,44 triliun," tandas Haru.

Sunday, October 17, 2021

Daftar Kelemahan Bank Syariah Dibanding Bank Konvensional

 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjabarkan sejumlah kelemahan perbankan syariah yang harus diperbaiki jika ingin bersaing dengan perbankan konvensional. Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Nyimas Rohmah mengungkapkan perbankan syariah di Indonesia hingga kini belum memiliki pembeda bisnis atau produk yang signifikan dengan perbankan konvensional.

Ia menilai perbankan syariah mesti punya keunikan model bisnis atau produk yang ditawarkan agar lebih terarah saat membidik calon pasar atau nasabahnya.

Kemudian, ia mengatakan indeks literasi dan inklusi keuangan atau perbankan syariah pun masih rendah. Data OJK menunjukkan literasi masyarakat soal keuangan perbankan syariah masih di bawah 9 persen, jauh ketinggalan dari perbankan konvensional yang mencapai 40 persen.

Lalu, angka inklusi keuangan syariah pun minim yakni 9,1 persen, jauh dari catatan inklusi bank konvensional yaitu 76,2 persen. Kelemahan lainnya, lanjut Nyimas, adalah tidak memadainya teknologi informasi (TI) perbankan syariah. Ia mengingatkan bagi pelaku perbankan syariah untuk memutakhirkan sistem TI mereka.

Apalagi, akibat pandemi covid-19 saat ini ekspektasi masyarakat soal perbankan digital pun tak lagi sama seperti dulu. Selain itu, kualitas dan kuantitas SDM perbankan syariah juga belum optimal. "Perbankan syariah masih punya beberapa kelemahan, antara lain model bisnis, kemudian indeks literasi dan inklusi yang masih rendah, kuantitas dan kualitas SDM serta TI yang belum memadai," jelasnya pada acara LIPI bertajuk Perbankan Syariah - Spin Off atau Leveraging, Kamis (14/10).

Di sisi lain, ia mencatat total aset keuangan syariah menembus Rp1.922,93 triliun per Juli 2021, hitungan ini tidak termasuk saham syariah. Angka tersebut baru 10,11 persen dari total aset perbankan nasional.

Sunday, October 10, 2021

Pedagang Kecil Dengan Omzet Kotor 41 Jutaan Per Bulan Bebas Pajak

 Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan wajib pajak (WP) berstatus pedagang cilik atau UMKM yang memiliki batas peredaran bruto di bawah Rp500 juta per tahun tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Sehingga, ia memastikan pedagang kecil seperti tukang bakso, pedagang kopi keliling, hingga pemilik warung sederhana tidak akan dipajaki pemerintah. Peredaran bruto adalah pendapatan kotor pelaku usaha sebelum dikurangi beban usaha lain-lain.

Dia menyampaikan ketentuan tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang resmi disahkan pada Kamis (7/10). "UU HPP ini memberikan keberpihakan kepada UMKM dengan sekarang memberikan batasan sama seperti Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (BPKP) Pribadi," ujarnya pada konferensi pers daring, Kamis (7/10).

Ia menyebut aturan direvisi dari UU PPh. Bila sebelumnya UMKM berpenghasilan kecil tidak mendapat perlakuan khusus, ia mengatakan di era UU HPP sekarang mereka mendapat pengecualian.

Sebelumnya, seluruh UMKM dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta mendapat perlakuan sama yaitu dikenakan PPh final 0,5 persen dari pendapatan kotor.

Sri Mulyani mengatakan pengecualian ini memberikan keadilan bagi pelaku usaha kecil. Ia menambahkan, untuk pelaku usaha kecil yang memiliki pendapatan di atas Rp500 juta, hanya pendapatan di atas Rp500 juta yang akan dikenakan pajak.

Misal, pedagang A memiliki pendapatan Rp700 juta, maka pendapatan yang dipajaki adalah Rp200 juta atau jumlah hasil dikurangi base line Rp500 juta. Dengan tarif 0,5 persen, maka A membayar pajak sebesar Rp1 juta pada tahun pajak tersebut.

"Apapun yang di atas Rp500 juta baru kena 0,5 persen," imbuhnya.

Monday, October 4, 2021

Saham Merck Naik Tajam Setelah Temukan Obat COVID 19

 Nilai saham perusahaan farmasi Merck melonjak setelah hasil uji klinis memperlihatkan pil anti Covid-19, Molnupiravir, memberikan hasil positif. Bahkan kenaikan harga saham Merck membuat saham sejumlah perusahaan farmasi papan atas yang membuat vaksin Covid-19 yang disebut mempunyai tingkat efikasi tinggi, antara lain Moderna, Pfizer serta BioNTech, mulai goyah.

Seperti dilansir Reuters, nilai saham Merck melonjak hingga 12.3 persen.

Sementara itu, nilai saham Moderna jatuh hingga 13 persen. Kemudian nilai saham Pfizer dan BioNTech di Amerika Serikat masing-masing jatuh 1.3 persen dan 11 persen. Merck Klaim Pil Covid Kurangi Risiko Kematian 50 Persen. Nilai saham perusahaan farmasi lain seperti AstraZeneca dan Novavax juga masing-masing turun 2 persen dan 16 persen setelah Merck mengumumkan obat Molnupiravir itu.

Menurut analis bursa saham, Michael Yee, lonjakan nilai saham Merck terjadi karena dipicu persepsi masyarakat yang merasa ada jalan keluar buat mereka menghindari Covid-19 dengan obat, ketimbang harus menjalani vaksinasi.

Merck memang tengah melakukan uji klinis tahap akhir obat itu. Hasil kajian memperlihatkan obat itu bisa menekan jumlah pasien infeksi Covid-19 yang harus dirawat di rumah sakit serta tingkat kematian. Pfizer yang juga pesaing Merck serta perusahaan farmasi asal Swiss, Roche Holding AG, yang menggandeng Atea Pharmaceuticals juga dilaporkan tengah mengembangkan obat anti-Covid-19. Merck Umumkan Pil Molnupiravir Bisa Obati Covid-19

Merck juga sempat membuat vaksin Covid-19 tetapi memutuskan menghentikan proses produksi. Akibatnya nilai saham mereka jatuh sebanyak 4 persen pada 2020 lalu. Akan tetapi, pengumuman pil Molnupiravir kembali mengerek nilai saham Merck.

"Merck dalam beberapa kesempatan seakan mati di mata para pemodal. Pengumuman obat itu memperlihatkan divisi penelitian dan pengembangan mereka tidak mati dan mereka bisa jadi yang pertama dalam merebut kesempatan yang bernilai miliaran dollar," kata Manajer Portofolio Bahl & Gaynor, Kevin Gade.