Friday, February 26, 2021

Kasus Pidana Menanti Penerima Uang Akibat Salah Transfer Bank

 Kasus pelaporan nasabah ke polisi oleh PT Bank Central Asia Tbk atau BCA akibat kesalahan transfer senilai Rp51 juta menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Nasabah disebut tidak langsung mengembalikan uang salah transfer itu.

Lantas bagaimana sebenarnya aturan terkait salah transfer dana? Bisakah bank menuntut nasabah dengan pidana jika kesalahan dilakukan pihak bank? Dari sisi regulasi, ketentuan transfer dana sendiri diatur dalam menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Menurut Pasal 1 angka 1 beleid tersebut, transfer dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima.

Dana yang dimaksud dapat berupa uang tunai yang diserahkan oleh pengirim kepada penyelenggara penerima; uang yang tersimpan dalam rekening pengirim pada penyelenggara penerima; atau uang yang tersimpan dalam rekening penyelenggara penerima pada penyelenggara penerima lain.

Kemudian dana juga bisa berbentuk uang yang tersimpan dalam rekening penerima pada penyelenggara penerima akhir; uang yang tersimpan dalam rekening penyelenggara penerima yang dialokasikan untuk kepentingan penerima yang tidak mempunyai rekening pada penyelenggara tersebut; dan/atau fasilitas cerukan (overdraft) atau fasilitas kredit yang diberikan penyelenggara kepada pengirim.

Selanjutnya, Pasal 8 UU tersebut menjelaskan bahwa perintah transfer dana harus memuat sekurang-kurangnya enam informasi yakni identitas pengirim asal; identitas penerima; identitas penyelenggara penerima akhir; jumlah dana dan jenis mata uang yang ditransfer; tanggal perintah transfer dana;. informasi lain yang menurut peraturan perundang undangan yang terkait dengan transfer dana wajib dicantumkan dalam perintah transfer dana.

Artinya, tiap transfer dana dapat ditelusuri asal-usulnya melalui mutasi rekening atau riwayat transaksi.

Nasabah yang menerima dana hasil transfer yang bukan haknya wajib mengembalikan. Setiap orang yang menguasai dana hasil transfer yang bukan haknya terancam penjara atau sanksi denda.

"Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar," demikian bunyi Pasal 85 UU Nomor 3/2011.

Sesuai Pasal 87 UU/3/2011, apabila pelaku penguasaan tersebut adalah korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

"Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan," tulis Pasal 87 (2) UU 3/2011.

Pidana dijatuhkan kepada korporasi jika tindak pidana dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi; dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;, dan, dilakukan dengan maksud memberikan manfaat di korporasi.

Apabila pelakunya adalah korporasi maka pidana denda maksimum ditambah dua pertiga.

Lebih lanjut, Pasal 88 UU 3/2011 menyatakan penguasaan dana hasil transfer yang bukan hak milik juga dapat dikenai kewajiban pengembalian dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan.

PT Bank Central Asia Tbk atau BCA melaporkan seorang nasabah atas nama Ardi Pratama ke kepolisian terkait kasus salah transfer yang dilakukan oleh karyawannya di BCA Citraland, Surabaya, Jawa Timur.

Perseroan merasa mengalami kerugian sebab Ardi memakai uang salah transfer sebesar Rp 51 juta tersebut dan tak bisa langsung mengembalikan secara tunai.


Terkait kasus itu, Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F Haryn mengatakan pihaknya telah menjalankan operasional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.



Lihat juga: Uang Digital Bank Sentral, Upaya BI Bendung Bitcoin

"Kami sampaikan bahwa kasus tersebut sedang dalam proses hukum dan BCA tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan," kata Hera saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Jumat (26/2).


Berdasarkan catatan BCA, Ardi sudah 2 kali menerima surat pemberitahuan terjadinya salah transfer dan BCA telah memintanya untuk segera mengembalikan dana tersebut sejak Maret 2020.


"Namun, nasabah yang bersangkutan baru menunjukkan upaya pengembalian dana secara utuh pada bulan Oktober 2020, dimana proses hukum atas kasus ini sudah dimulai sejak Agustus 2020," ujarnya.


Hera menegaskan bahwa dalam setiap kasus kesalahan transfer yang dilakukan oleh bank, tiap nasabah wajib mengembalikan uang tersebut.




Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana di mana penguasaan dana hasil transfer oleh seseorang yang diketahui atau patut diketahui bukan miliknya diancam pidana.


"Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar," seperti dikutip dari Pasal 85 UU3/2011.


Dikutip dari Kompas.com, BCA melaporkan Ardi ke polisi pada Agustus 2020. Awalnya pada Oktober 2020 Ardi dipanggil dengan status saksi. Namun pada 10 November 2020 statusnya berubah jadi tersangka dengan tuduhan Pasal 885 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2011 dan TPPU UU Nomor 4 Tahun 2010. Kini, kasus yang menimpa Ardi ini sudah sampai tahap persidangan.


Monday, February 22, 2021

Perhitungan Upah Minimum Makin Rumit Dengan Variable Yang Sulit Dihitung Objektif

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menerbitkan sejumlah aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja. Salah satunya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang menjadi sorotan publik.

Beleid tersebut mengatur rumus baru dalam perhitungan upah pekerja/buruh pada tahun berikutnya. Intinya, aturan itu kini tak sesederhana mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi untuk kenaikan upah, seperti yang selama ini berlaku di PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Tapi, ada sejumlah indikator baru yang diperhitungkan, seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Lalu, ada pula variabel batas atas dan bawah yang diperlukan untuk menentukan besaran upah pekerja/buruh ke depan.

Batas atas dan bawah itu akan ditentukan oleh rata-rata konsumsi per kapita dan rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) serta rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi mengaku agak bingung dengan variabel baru dalam rumus perhitungan upah pekerja/buruh ke depan. Sebab, menurutnya, variabel yang digunakan tidak jelas asal usulnya dibandingkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang selama ini berlaku.

"Daya beli hingga penyerapan tenaga kerja ini pakai dasar apa? Bagaimana cara hitungnya? Itu yang jadi pertanyaannya, jadi agak bingung kenapa dipakai dan seperti apa hasilnya nanti?" ujar Tadjudin.

Tadjudin memberi contoh kasus soal daya beli. Misalnya seperti saat ini, Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona atau covid-19 dan menimbulkan penurunan daya beli masyarakat.

RPP pengupahanPemerintah mengubah rumus perhitungan nilai upah minimum. (Tangkapan layar PP pengupahan).

"Pertanyaannya, apakah ketika daya beli turun seperti sekarang nanti perhitungan kenaikan upahnya jadi turun juga? Ini kan tidak logis, tapi kalau saat daya beli turun lalu pendapatan bisa naik, saya bingung juga bagaimana cara mendapatkannya? (perhitungan)" katanya.

Lebih lanjut, menurut Tadjudin, perhitungan daya beli ini tidak jelas karena tidak seperti inflasi. Baginya, inflasi jelas karena upah mempertimbangkan kebutuhan hidup layak yang didalamnya terjadi naik turun harga dari kebutuhan itu, maka digunakanlah inflasi.

"Jadi daya beli ini bikin bingung, kalau inflasi jelas," tekannya.

Begitu juga dengan tingkat penyerapan tenaga kerja, saat pandemi tentu tingkatnya rendah. Lantas, apa juga akan membuat perhitungan upah ke depan jadi lebih rendah?

"Ini yang perlu dilihat," imbuhnya.

Sementara pertumbuhan ekonomi sudah jelas karena sejalan dengan kondisi perekonomian itu sendiri.

Sebaliknya, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet justru mengatakan penambahan sejumlah variabel pada perhitungan upah pekerja/buruh sebenarnya memberikan sinyal baik. Mulai dari paritas daya beli hingga penyerapan tenaga kerja.

"Sisi plus yang didapatkan buruh adalah ini lebih komprehensif dibandingkan hanya sekadar inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi," ucap Yusuf.

Tapi, ia tidak menampik ada minusnya. Hal ini karena ada perhitungan batas atas dan bawah dalam rumus upah.

"Rumus pengupahan batas atas dan bawah berpotensi menimbulkan nominal upah yang lebih kecil," tuturnya.

Mengapa demikian? Hal ini karena batas atas dan bawah mempertimbangkan rata-rata banyaknya ART dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga.

"Apabila dalam suatu daerah ART lebih dari satu orang maka batas atas akan lebih rendah. Jika batas atas lebih rendah tentu akan berpengaruh terhadap batas bawah yang juga berpotensi lebih kecil," jelasnya.

Saat potensi upah lebih kecil, tentu hal ini akan menguntungkan perusahaan/pengusaha. Pasalnya, mereka bisa mengurangi 'kocek' dan mengantongi untung lebih.

Sementara investasi, upah yang lebih rendah ini berpotensi menjadi pendekatan alternatif untuk lebih menarik investor. Asalkan, kebijakan pusat dan daerah tetap sinkron.

Sedangkan bagi pemerintah, menurut Yusuf, rumus baru upah pekerja/buruh setidaknya memberikan jalan tengah pada kepastian investasi dan hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja/buruh.

"Aturan pengupahan yang baru ini mendorong kepastian masalah pengupahan karena adanya unsur kordinasi dengan pemerintah pusat terkait penetapan upah di daerah," jelasnya.

Gen X dan Baby Boomer Serta Ibu Ibu Kalahkan Generasi Milenial Dalam Investasi ORI

 Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyatakan kelompok millennial dan ibu-ibu rumah tangga masuk daftar pembeli utama surat utang ritel negara dengan seri ORI019 yang belum lama dilelang pada bulan ini.

Berdasarkan kelompok usia, jumlah investor yang merupakan generasi millennial dan gen Z alias mereka yang berusia 20-40 tahun mencapai 18.274 orang. Jumlahnya setara 37,5 persen dari total investor ORI019 mencapai 48.731 orang. Generasi Milenial merupakan mereka yang berusia 25-40 tahun dan Generation Z berusia 25 tahun kebawah.

"Generasi millennial dan gen Z mendominasi investor ORI019 dengan porsi sebesar 37,5 persen," tulis DJPPR dalam keterangan resmi, Senin (22/2).

Sedangkan gabungan generasi X dan baby boomer hanya menempati porsi 59,3 persen. Sisanya, generasi X atau kelompok investor berusia 41-55 tahun berjumlah 34 persen, baby boomers atau usia 54-74 tahun 25,3 persen,

Generasi tradisionalis dengan usia di atas 75 tahun 2,2 persen. 

Sementara dari sisi profesi, jumlah investor tertinggi sebenarnya didominasi oleh pegawai swasta mencapai 33,8 persen dari total investor. Lalu, wiraswasta atau pengusaha 31,2 persen.

Tapi menariknya, di posisi ketiga adalah para ibu-ibu rumah tangga sebanyak 10,1 persen dari total atau jumlah tepatnya 4.921 orang. Bahkan, dari segi jenis kelamin, pembeli perempuan mencapai 58 persen dari total investor.

"Ibu rumah tangga menduduki peringkat tiga besar investor ORI019. Posisi ibu rumah tangga ini konsisten di tiga penerbitan ORI terakhir," ungkap DJPPR.

Di sisi lain, penerbitan ORI019 juga mencetak beberapa rekor, misalnya jumlah hasil penjualan surat utang yang mencapai Rp26 triliun atau dua kali lipat dari target awal. Lalu, jumlah investor baru mencapai 22.268 orang atau 45,7 persen dari total investor.

"Angka yang menggembirakan sebagai hasil dari upaya yang dilakukan terus menerus oleh pemerintah dan otoritas keuangan dalam memberikan edukasi investasi kepada masyarakat," pungkas DJPPR.

Thursday, February 18, 2021

Okupansi Mall Jakarta Hanya Sebesar 82,9 Persen Meski Sewa Turun

 Konsultan properti Knight Frank Indonesia mencatat tingkat hunian atau okupansi rata-rata pusat perbelanjaan di Jakarta sepanjang semester II 2020 sebesar 82,9 persen. Angka ini turun 4,5 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Kendati okupansi menurun, Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menuturkan okupansi pusat perbelanjaan grade A dan premium grade A tetap tinggi masing-masing 86 persen dan 91,4 persen.

"Dari analisis kami, tingkat okupansi seluruh unit yang ada di pusat perbelanjaan di Jakarta dengan kelas premium grade A dan grade A memiliki tingkat okupansi cukup tinggi, di atas rata-rata," katanya dalam paparan Jakarta Property Highlights 2020, dikutip dari Antara, Kamis (18/2).

Okupansi yang melemah diikuti oleh harga sewa yang cenderung turun, tidak hanya di premium grade A dan grade A tapi juga kelas di bawahnya.

Syarifah memprediksi tren penurunan okupansi dan harga sewa akan berlanjut pada 2021.

"Penurunan okupansi dan harga sewa kami prediksi akan berlanjut hingga 2021. Kemungkinan akan mulai meningkat seiring dengan kesuksesan vaksinasi dan program pemulihan ekonomi yang berjalan," katanya.

Di tengah koreksi yang terjadi, diperkirakan pada 2021 hingga 2022 akan masuk 16 proyek pusat perbelanjaan baru. Meski sebelumnya, tujuh proyek sempat menunda kehadirannya di 2020.

Berdasarkan dinamika pasar yang dicatat oleh Knight Frank Indonesia, inovasi dari pusat perbelanjaan dari pengembang terkemuka masih mampu menggerakkan minat masyarakat untuk menghibur diri sejenak dengan pergi ke mal, meski dengan durasi yang tidak seperti sebelum pandemi.

Country Head Knight Frank Indonesia Willson Kalip mengatakan pusat perbelanjaan dengan konsep dan inovasi yang memberikan penyegaran masih menjadi pilihan masyarakat untuk berinteraksi di perkotaan, terutama ritel yang memiliki akses lokasi yang relatif dekat dengan permukiman.

Selain itu inovasi kanal penjualan dan pemasaran dalam bentuk pemanfaatan omni channel (online dan off-line) menjadi salah satu solusi bertahan untuk menarik minat konsumen berbelanja di tengah pandemi.

Wednesday, February 17, 2021

Elon Musk dan Tesla Tidak Berminat Investasi Pabrik Tesla di Indonesia

Tesla sempat ramai dikabarkan akan melakukan investasi mobil listriknya di Indonesia. Namun belakangan yang santer terdengar adalah mereka malah memilih India sebagai lokasi terbaru pabriknya. Bagaimana ini?

Sampai akhir tahun lalu kabar Tesla akan memilih Indonesia sebagai salah satu lokasi investasinya masih terdengar kencang. Beberapa strategi juga dilancarkan pemerintah untuk menarik minat perusahaan mobil listrik paling laris di dunia itu untuk masuk tanah air.

Tapi dalam setidaknya sepekan terakhir, Tesla malah disebut-sebut akan membangun pabrik terbarunya di India. Informasi Tesla akan masuk dan bikin pabrik di India pertama dikeluarkan oleh M B.S. Yediyurappa, kepala menteri negara bagian barat daya Karnataka.

Lokasi pabriknya disinyalir berada di Bengaluru, Karnakatta. Sebelum bikin pabrik, Tesla akan lebih dulu membuka pusat penelitian dan pengembangan (R&D) di Bengaluru.

Pemilihan lokasi tersebut sangat beralasan lantara Bengaluru merupakan tempat di mana banyak pabrikan lain dari seluruh dunia memiliki R&D. Di antaranya adalah Mercedes-Benz, Great Wall Motors, General Motors, Continental, Mahindra & Mahindra, Bosch, Delphi, sampai Volvo.

Bengaluru juga dikenal sebagaoi 'Silicon Valley Asia' atau pusat teknologi informasi India. Bengaluru merupakan kota tempat tinggal banyak orang-orang paling tajir di India.

Belum ada penjelasan resmi dari Tesla soal kabar ini. Namun India memang menjadi salah satu negara yang dalam beberapa waktu terakhir disebut-sebut oleh Elon Musk. Pada Desember lalu, misalnya, Musk nge-Tweet soal rencananya membawa Tesla ke India. Per tahun 2021 ini Tesla juga resmi membuka pasar di India.

Seperti banyak negara lain, pemerintah India sudah mencanangkan upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakart fosil. Namun upaya untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik terganjal dengan minimnya investasi, baik dalam pembangunan pabrik maupun infrastruktur SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum).

pemerintah sejatinya telah melakukan langkah intensif untuk mendekati Tesla supaya menanamkan investasinya di tanah air. Pembicaraan dengan perwakilan Tesla kabarnya sudah sempat berjalan.

Namun diyakini rencana Tesla berinvestasi di Indonesia bukanlah untuk membangun pabrik mobil listrik. Melainkan investasi di bidang sistem penyimpanan energi (Energy Storage System atau ESS).

Ini terungkap dari pernyataan Septian Hario Seto, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi. Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik, Agus Tjahajana Wirakusumah, juga mengungkapkan hal senada belum lama ini.

"Dengan Tesla, kita juga sedang dalam tahap negosiasi. Tesla baru belakangan masuk (menyatakan minat). Kita lagi pelajari dia mau masuknya ke mana. Dari pembicaraan kemarin, mereka sepertinya mau masuk ke ESS," ungkap Agus Tjahajana saat diskusi dengan media dalam webinar "EV Battery: Masa Depan Ekonomi Indonesia", dikutip dari CNBC.

Untuk mendorong investasi, India berencana menawarkan insentif sebesar US$ 4.600.000.000 (setara dengan Rp 64,5 triliun) pada perusahaan yang membangun fasilitas pembuatan baterai mobil listrik. Demikian diberitakan Reuters.

Tesla perusahaan mobil listrik milik Elon Musk, disebut tak hanya ingin jualan mobil listrik di India mulai 2021. Tesla dikabarkan bakal menyiapkan fasilitas perakitan mobil listrik di Karnataka, negara bagian barat daya India.

Perusahaan pembuat mobil listrik itu masuk ke India dengan mulai melakukan penjualan. Tesla juga tidak menutup kemungkinan untuk mendirikan pabrik perakitan. Informasi itu disampaikain M B.S. Yediyurappa, kepala menteri negara bagian barat daya Karnataka.

"Perusahaan Amerika Tesla akan membuka unit manufaktur mobil listriknya di Karnataka," kata Yediyurappa dalam sebuah pernyataan di Kannada, dikutip Livemint.

India sendiri sudah menyatakan ingin mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak dan mengurangi polusi. Namun upaya India untuk mempromosikan kendaraan listrik sejauh ini terhalang oleh kurangnya investasi di bidang manufaktur dan infrastruktur seperti stasiun pengisian daya listrik.

Mobil listrik pertama yang akan diluncurkan di India adalah Model 3, yang merupakan varian termurah di antara kendaraan Tesla, dengan harga mulai dari US$ 74.739 (5,5 juta rupee India).

Sementara lokasi pabriknya disinyalir berada di Bengaluru, Karnakatta. Hal ini diungpak Sekretaris Utama Industri dan Perdagangan Gaurav Gupta, yang mengatakan Tesla akan membuka pusat penelitian dan pengembangan (R&D) di Bengaluru.

"Kami telah berinteraksi dengan Tesla selama beberapa bulan terakhir dan merupakan kabar gembira bahwa mereka telah memutuskan untuk memasukkan perusahaan mereka ke sini."

"Kami membuat mereka terkesan bahwa Bengaluru bukan hanya ibu kota teknologi, tetapi juga ibu kota kedirgantaraan dan luar angkasa. Untuk segala jenis kolaborasi teknologi, ia memiliki kumpulan bakat yang tepat, "tutur Gaurav Gupta.

Bengaluru merupakan tempat di mana banyak pabrikan memiliki R&D di antaranya Mercedes-Benz, Great Wall Motors, General Motors, Continental, Mahindra & Mahindra, Bosch, Delphi, sampai Volvo.

Tuesday, February 2, 2021

Berbisnis Di Indonesia Makin Mudah Karena Tidak Ada Persaingan

  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan Indeks Persaingan Usaha (IPU) pada 2020 turun dari level 4,72 pada 2019 menjadi 4,65. Penurunan ini berarti persaingan usaha di dalam negeri kian terkonsentrasi atau tidak sehat.

Direktur Ekonomi KPPU M Zulfirmansyah menyebut pengukuran dilakukan dengan mempertimbangkan perhitungan tujuh dimensi, yaitu struktur, perilaku, kinerja, regulasi, permintaan, pasokan, dan kelembagaan.

Dia mengatakan salah satu faktor yang membuat indeks tahun ini melandai adalah penurunan faktor permintaan dan penawaran akibat pandemi covid-19.

Sementara tahun lalu, skor permintaan berada di level 4,35. Sedangkan tahun ini turun menjadi 4,06.

"Untuk 2020 skor dimensi keseluruhan kita di angka 4,65. Kalau dikategorikan masuk di persaingan sedikit tinggi. Ini dibanding 2019 pada skor 4,72," katanya pada konferensi pers daring, Selasa (2/2).

Sementara, dimensi dengan skor tertinggi adalah dimensi regulasi dengan skor indeks sebesar 6,12. Dia menyebut hal ini menunjukkan kalau regulasi yang ada di daerah telah mengarah atau mendukung pada kondisi persaingan usaha yang sehat.

Sedangkan, dimensi perilaku (conduct) memiliki skor indeks terendah karena pada tahun ini hanya 3,58 atau turun dari 2019  yang 3,9. Ini menunjukkan bahwa dari sisi perilaku pelaku usaha, persaingan usaha belum mengarah pada persaingan usaha yang tinggi.

Zulfirmansyah menilai masih ada penguasaan pasar oleh segelintir pelaku usaha, serta terdapat potensi kecurangan penetapan harga, atau faktor lain yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat.

Untuk diketahui, IPU merupakan ukuran persaingan usaha di suatu daerah untuk memberikan indikasi jika suatu sektor atau daerah tertentu memiliki tingkat persaingan usaha yang tinggi atau rendah.