Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menerbitkan sejumlah aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja. Salah satunya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang menjadi sorotan publik.
Beleid tersebut mengatur rumus baru dalam perhitungan upah pekerja/buruh pada tahun berikutnya. Intinya, aturan itu kini tak sesederhana mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi untuk kenaikan upah, seperti yang selama ini berlaku di PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Tapi, ada sejumlah indikator baru yang diperhitungkan, seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Lalu, ada pula variabel batas atas dan bawah yang diperlukan untuk menentukan besaran upah pekerja/buruh ke depan.
Batas atas dan bawah itu akan ditentukan oleh rata-rata konsumsi per kapita dan rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) serta rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi mengaku agak bingung dengan variabel baru dalam rumus perhitungan upah pekerja/buruh ke depan. Sebab, menurutnya, variabel yang digunakan tidak jelas asal usulnya dibandingkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang selama ini berlaku.
"Daya beli hingga penyerapan tenaga kerja ini pakai dasar apa? Bagaimana cara hitungnya? Itu yang jadi pertanyaannya, jadi agak bingung kenapa dipakai dan seperti apa hasilnya nanti?" ujar Tadjudin.
Tadjudin memberi contoh kasus soal daya beli. Misalnya seperti saat ini, Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona atau covid-19 dan menimbulkan penurunan daya beli masyarakat.
RPP pengupahanPemerintah mengubah rumus perhitungan nilai upah minimum. (Tangkapan layar PP pengupahan).
"Pertanyaannya, apakah ketika daya beli turun seperti sekarang nanti perhitungan kenaikan upahnya jadi turun juga? Ini kan tidak logis, tapi kalau saat daya beli turun lalu pendapatan bisa naik, saya bingung juga bagaimana cara mendapatkannya? (perhitungan)" katanya.
Lebih lanjut, menurut Tadjudin, perhitungan daya beli ini tidak jelas karena tidak seperti inflasi. Baginya, inflasi jelas karena upah mempertimbangkan kebutuhan hidup layak yang didalamnya terjadi naik turun harga dari kebutuhan itu, maka digunakanlah inflasi.
"Jadi daya beli ini bikin bingung, kalau inflasi jelas," tekannya.
Begitu juga dengan tingkat penyerapan tenaga kerja, saat pandemi tentu tingkatnya rendah. Lantas, apa juga akan membuat perhitungan upah ke depan jadi lebih rendah?
"Ini yang perlu dilihat," imbuhnya.
Sementara pertumbuhan ekonomi sudah jelas karena sejalan dengan kondisi perekonomian itu sendiri.
Sebaliknya, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet justru mengatakan penambahan sejumlah variabel pada perhitungan upah pekerja/buruh sebenarnya memberikan sinyal baik. Mulai dari paritas daya beli hingga penyerapan tenaga kerja.
"Sisi plus yang didapatkan buruh adalah ini lebih komprehensif dibandingkan hanya sekadar inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi," ucap Yusuf.
Tapi, ia tidak menampik ada minusnya. Hal ini karena ada perhitungan batas atas dan bawah dalam rumus upah.
"Rumus pengupahan batas atas dan bawah berpotensi menimbulkan nominal upah yang lebih kecil," tuturnya.
Mengapa demikian? Hal ini karena batas atas dan bawah mempertimbangkan rata-rata banyaknya ART dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga.
"Apabila dalam suatu daerah ART lebih dari satu orang maka batas atas akan lebih rendah. Jika batas atas lebih rendah tentu akan berpengaruh terhadap batas bawah yang juga berpotensi lebih kecil," jelasnya.
Saat potensi upah lebih kecil, tentu hal ini akan menguntungkan perusahaan/pengusaha. Pasalnya, mereka bisa mengurangi 'kocek' dan mengantongi untung lebih.
Sementara investasi, upah yang lebih rendah ini berpotensi menjadi pendekatan alternatif untuk lebih menarik investor. Asalkan, kebijakan pusat dan daerah tetap sinkron.
Sedangkan bagi pemerintah, menurut Yusuf, rumus baru upah pekerja/buruh setidaknya memberikan jalan tengah pada kepastian investasi dan hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja/buruh.
"Aturan pengupahan yang baru ini mendorong kepastian masalah pengupahan karena adanya unsur kordinasi dengan pemerintah pusat terkait penetapan upah di daerah," jelasnya.
No comments:
Post a Comment