Thursday, December 23, 2010

Laporan Akhir Tahun 2010: Cadangan Devisa Bagaikan Madu dan Racun

Istilah ”madu atau racun” bukan sebatas syair lagu pop. Di antara ekonom dan praktisi yang terlibat dalam Diskusi Panel Akhir Tahun Ahli Ekonomi Kompas, awal Desember 2010, istilah ”madu dan racun” juga muncul, terutama dalam topik banjir arus modal asing ke negeri ini.

Cadangan devisa Indonesia melonjak signifikan, mencapai 92 miliar dollar AS per akhir Oktober 2010. Naik 39 persen dalam 10 bulan dari 66 miliar dollar pada akhir 2009. ”Belum pernah terjadi kenaikan seperti ini,” ujar seorang panelis. Pertanyannya, cadangan devisa tersebut apakah lebih banyak ”madu” atau ”racun” bagi negeri ini.

Cadangan devisa ini bisa merupakan ”madu” ketika berasal dari remitansi tenaga kerja Indonesia. Jumlahnya dari Januari-September 2010 mencapai 5,031 miliar dollar atau sekitar Rp 45 triliun, naik 2,44 persen dari periode sama tahun 2009.

Begitu juga sumbangan dari turisme. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 7 juta orang pada tahun ini, naik dari 6,3 juta orang tahun lalu. Neraca perdagangan dan jasa juga masih surplus 5 miliar dollar per September 2010. Ini juga ”madu” karena hasil keringat sendiri.

Gugatan soal ”racun” muncul berkaitan dengan lalu lintas uang masuk dan keluar. Tahun 2008, lebih banyak uang keluar daripada yang masuk. Tahun 2009, uang masuk lebih banyak sehingga positif 3,5 miliar dollar AS. Pada sembilan bulan pertama tahun 2010 sudah 15 miliar dollar AS.

”Nah, ini racun jenis apa, jinak atau berbahaya,” ujar panelis lain. Investasi asing langsung (FDI) bersifat jangka panjang jelas ”madu”, sedangkan investasi portofolio bisa saja ”racun” yang belum jelas kadar bahayanya.

Meski begitu, hal yang cukup melegakan, jika tahun 2009 perbandingan antara ”madu” dan ”racun” satu berbanding lima, maka tahun 2010 hanya satu ”madu” berbanding dua ”racun”. Meski proporsi itu menggembirakan, tetapi masih kalah dari Vietnam yang investasi asing langsung 9 miliar dollar AS, sementara Indonesia hanya 6,5 miliar dollar (neto).

Arus modal asing yang bisa menjadi ”racun” adalah yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka pendek. Namun, dalam empat bulan ini ada peningkatan investor asing membeli Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Negara (SBN).

Seorang panelis menyebutkan, dalam 10 bulan pertama tahun 2010, obligasi pemerintah berupa SUN dan SBN mencapai 9,4 miliar dollar. Hanya 3,2 miliar dollar masuk ke SBI. Sekitar 70 persen dari dana asing juga masuk ke bursa saham, sampai Oktober lalu besarnya 12 miliar-15 miliar dollar AS.

Sekalipun hampir 70 persen dana asing masuk ke bursa saham, tetapi cukup banyak asing yang masuk sebagai investor strategis. Lebih banyak dana tersebut ditanam untuk jangka waktu 2-5 tahun daripada yang ditanam untuk jangka waktu di bawah dua tahun. Salah satunya adalah Philip Morris yang mengambil alih Sampoerna.

Diperkirakan, hanya sekitar 20 persen dari dana asing ke pasar saham yang bisa bergerak keluar-masuk dan menimbulkan tekanan. Karena itu, Bank Indonesia mengantisipasi gejala ini dengan menaikkan cadangan devisa untuk siap mengintervensi.

Situasi tersebut menunjukkan bentuk kepercayaan pada perekonomian Indonesia lima tahun ke depan, tanpa dipengaruhi faktor politik, siapa yang akan memimpin negeri ini. Situasi demokrasi yang dinamis memperkuat kepercayaan investor asing.

Deindustrialisasi

Dengan tingkat kepercayaan investor asing yang tinggi, apa yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi kita? Indeks Harga Saham Gabungan sempat mencapai rekor 3.757 poin, tetapi mengapa pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 6,5 persen. Bahkan, pada triwulan III- 2010 turun menjadi 5,8 persen. Bagaimana pertumbuhan ekonomi rendah itu akan menurunkan pengangguran dan mengentaskan orang miskin?

Para panelis sepakat, sebagian besar FDI hanya masuk ke sektor pertambangan yang diekspor sebagai barang mentah tanpa nilai tambah di dalam negeri. Yang diinvestasikan ke sektor manufaktur kurang dari 14 persen. Dana asing yang masuk ke portofolio juga lebih pada sektor pertambangan.

Kondisi ini diperparah dengan kredit perbankan ke sektor manufaktur yang hanya 16 persen, turun tajam daripada era Orde Baru yang mencapai 40 persen. Akibatnya, terjadi penurunan sektor industri atau deindustrialisasi. Padahal, sektor ini dikenal sangat banyak menyerap tenaga kerja.

Perbankan sejak krisis keuangan tahun 1997/1998 memang mendapat sorotan. Sikap kehati-hatian membuat bank selektif memilih sektor yang menjadi target kredit. Jika kredit diberikan, suku bunga juga mencekik. Saat ini suku bunga utama Bank Indonesia (BI Rate) terus dipertahankan pada 6,5 persen, tetapi suku bunga kredit perbankan bisa mencapai 12 persen atau bahkan lebih tinggi lagi.

Kredit ke sektor konsumsi kian deras karena semakin banyak orang berdaya beli (purchasing power parity) 3.000 dollar AS, bahkan hingga 3.600 dollar AS per tahun. Menyedihkan lagi, sebagian besar barang di pusat pembelanjaan dikuasai barang impor yang otomatis menyedot devisa.

Pada sisi lain, panelis menilai kebijakan Bank Indonesia belakangan ini yang mendorong kredit diharapkan akan membuat sektor manufaktur kembali bergairah. Kebijakan Gubernur BI Darmin Nasution mengaitkan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) membuat perbankan berpikir dua kali sebab GWM akan membesar persentasenya jika LDR mengecil.

Upaya mendorong kredit perbankan terutama ke sektor manufaktur ini tentu saja baik, sekalipun para panelis menyebutkan bahwa belakangan tekanan inflasi juga membuat harus segera menghitung langkah memperketat jumlah uang yang dipompa ke masyarakat. Kredit perbankan tentu saja menjadi pertimbangan yang harus diperketat. BI Rate dapat saja dinaikkan dari posisi 6,5 persen.

Apabila perbankan masih lebih tergiur memberi kredit ke sektor konsumsi yang memang menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, sektor manufaktur harus putar otak untuk memperoleh dana murah di masyarakat. Karenanya, adanya perusahaan yang menawarkan saham ke bursa saham (initial public offering/IPO) atau surat utang (bond) menjadi pilihan untuk ekspansi.

Kondisi perekonomian di Barat dan Jepang yang sedang lesu membuat dana banyak beralih ke negara yang sedang tumbuh, seperti Indonesia. Bahkan, dana dari China juga mulai masuk ke pasar saham dan surat utang. Sedikitnya sampai lima tahun ke depan, Indonesia masih akan terus kebanjiran dana asing.

Kebijakan menangkal uang panas dengan membuat SBI hanya untuk investasi jangka waktu lebih panjang, jelas harus dipertimbangkan BI. Bahkan mungkin ke depan SBI berjangka relatif pendek sebaiknya dihilangkan. Situasi ini harus diantisipasi Kementerian Keuangan (Kemkeu) melalui Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Sayangnya, Kemkeu belum mengantisipasi semua ini.

Ke depan, perekonomian Indonesia masih akan terus menarik modal asing. Kebijakan yang tepat bisa membuat dana asing itu masuk ke sektor manufaktur sehingga bermanfaat bagi penciptaan lapangan kerja.

Laporan Akhir Tahun 2010: Ekonomi IndonesiaTumbuh Ditengah Krisis Ekonomi Global

Seharusnya Indonesia bisa memasuki tahun 2011 dengan lebih percaya diri. Berbagai indikator ekonomi makro menunjukkan hal positif.

Dari sisi global, meskipun perbaikan ekonomi Amerika masih lamban, Purbaya Yudhi Sadewa dari Danareksa Research Institute menyebutkan, ekonomi Amerika memasuki fase ekspansi. Begitu juga Jepang, prospek perekonomiannya membaik meskipun Eropa diperkirakan akan melambat.

Di dalam negeri, indeks ekonomi utama terus meningkat, mengindikasikan meningkatnya aktivitas ekonomi. Akan tetapi, data BPS memperlihatkan pertumbuhannya melambat, dari 6,2 persen menjadi 5,8 persen pada kuartal kedua dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun 2009.

Para panelis optimistis akan terjadi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun 2011 meskipun ada beberapa hambatan pada kuartal ketiga 2010, seperti gangguan pada sektor komoditas yang terganggu cuaca ekstrem, produksi padi, jagung, kedelai dan hasil perkebunan yang lebih rendah, serta sektor migas yang juga menurun. Selain itu, sumbangan sektor manufaktur dan komoditas primer terhadap PDB juga menurun.

Ekonom kepala Danamon Economic and Market Research menyebut tahun 2011 sebagai tahun yang optimistis, tetapi dengan sejumlah catatan. Dari sisi ekonomi, terjadi pertumbuhan mencapai 6,4 persen daripada tahun ini yang 5,9-6 persen, status Indonesia bisa dinaikkan menjadi ”investasi” dalam dua tahun, tetapi di sisi lain harus diwaspadai inflasi yang lebih tinggi karena harga pangan dan dipaksa beralihnya pengguna BBM subsidi ke BBM nonsubsidi selain kenaikan harga BBM nonsubsidi. Hambatan lain adalah kebijakan fiskal dan moneter yang kurang efektif dan masih buruknya sistem logistik nasional.

Dari sisi sosial, tantangan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah jumlah orang miskin dan sektor informal yang masih tinggi, sementara lapangan kerja baru tertinggal dari jumlah penduduk yang masuk ke dalam angkatan kerja, rendahnya sumber daya manusia yang cocok dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia sehingga harus ada kebijakan kesehatan dan pendidikan untuk orang miskin.

Faktor lain yang juga harus diwaspadai adalah melemahnya daya saing Indonesia terhadap China, terutama setelah diberlakukan Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA) sejak 1 Januari 2010, disebabkan inflasi yang lebih tinggi di Indonesia.

Dari sisi daya saing global, peringkat Indonesia terus meningkat. Apabila dilihat dari kemudahan melakukan bisnis, menurut survei IFC dan Bank Dunia terhadap 183 negara, Indonesia termasuk yang tersulit dalam memulai usaha baru (peringkat 155). Kelemahan lain adalah dalam memenuhi kontrak (peringkat 154), menutup usaha (142), urusan perpajakan (130), dan mendapatkan kredit (116).

Survei World Economic Forum juga menunjukkan peringkat daya saing Indonesia meningkat, tetapi inefisiensi birokrasi pemerintahan dan korupsi masih dianggap sebagai hambatan berusaha di Indonesia. Karena itu, ekonom Faisal Basri menegaskan kembali pentingnya meningkatkan efisiensi birokrasi agar ekonomi Indonesia tumbuh bukan hanya 6,8 persen, tetapi hingga 8 persen.

Laporan Akhir Tahun 2010: Agroindustri Tumpuan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pada awal tahun pemerintah menargetkan kenaikan produksi beras 3,32 persen dibandingkan dengan tahun 2009, tetapi angka ramalan III Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa kenaikan produksi padi nasional ternyata 2,46 persen (1,58 juta ton) menjadi 65,98 juta ton gabah kering giling.

Kenaikan tersebut, menurut BPS, terjadi pada perkiraan produksi September-Desember 2010 sebesar 2,09 juta ton, sementara realisasi produksi Januari-Agustus turun 0,51 juta ton.

Turunnya produksi padi periode Januari-Agustus sedikit banyak menjelaskan tingginya harga beras yang berlanjut hingga November. Bulog tak mampu membeli beras sehingga tidak bisa memenuhi stok 1,5 juta ton. Padahal, beras masih menjadi pangan pokok sebagian besar masyarakat dan ikut menentukan inflasi. Hasilnya seperti diumumkan awal Desember, Bulog mengimpor total 850.000 ton untuk cadangan hingga panen raya Februari 2011.

Salah satu penyebab adalah cuaca. Tahun 2009, terjadi fenomena kekeringan El Nino sehingga jadwal tanam utama akhir tahun mundur, lalu disusul La Nina dengan curah hujan tinggi sejak Maret 2010. Dapaknya terlihat pada produksi dan kualitas beras.

Di luar faktor alam, ada sumbangan perubahan perilaku masyarakat. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan, bertambahnya jumlah penduduk berdaya beli memengaruhi pilihan mereka pada beras. Dari Kajian Kementerian Pertanian, ternyata hanya 7 kota di 33 provinsi yang konsumsi berasnya setara IR 64 kualitas 3 yang selama ini adalah tolok ukur Bulog menstabilkan harga.

Ilustrasi lain, kedelai, yang sebagian besar diimpor. Para pedagang grosir berpegang pada harga di bursa komoditas di Chicago—bisa jadi tidak berhubungan langsung dengan permintaan dan pasokan di dalam negeri—karena akan menentukan harga saat nanti membeli kedelai impor.

Pada gula tebu, produksi tahun lalu mendekati 3 juta ton, tetapi tahun 2010 tinggal 2,2 juta ton. Selain karena tingginya curah hujan sehingga kadar gula tebu turun, juga karena bibit tidak diganti. Program penggantian bibit tebu dengan bantuan pemerintah pada tahun anggaran 2003 dan 2004, memberi kenaikan signifikan produksi gula 2-3 tahun. Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah perlu terus-menerus inovatif dalam membuat kebijakan yang tepat untuk mengembangkan industri pangan dalam negeri.

Dengan ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa masih belum pulih, investor yang ingin mendapat imbal jasa tinggi belakangan juga melirik pasar komoditas. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menyebutkan, selain iklim yang kurang bersahabat, naiknya harga komoditas pangan juga disebabkan oleh masuknya investor ke dalam pasar komoditas primer.

Rigiditas

Para panelis sepakat mengenai faktor penyebab ekonomi lamban bergerak dan menghambat kecepatan pertumbuhannya adalah rigiditas anggaran pemerintah. Padahal, belanja pemerintah masih menjadi faktor penting penggerak ekonomi, terutama di daerah.

Dari sisi waktu, butuh 9-12 bulan mulai saat penyusunan, pembahasan di DPR, hingga pelaksanaan anggaran di lapangan. Dari sisi institusi berupa lembaga dan aturan, pun sama ketatnya. Pengaturan beras untuk rakyat miskin, misalnya, ditetapkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mulai dari jumlah rumah tangga (RT) penerima, jumlah kilogram per RT, harga, biaya angkut, hingga ongkos pelaksana, dan proses itu berlanjut di tingkat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

Faktor lain, meskipun lahan mutlak tersedia, tetapi lahan pertanian butuh infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan saluran irigasi.

Dari sisi pendaan, lemah dukungan sektor keuangan/perbankan untuk kegiatan industrialisasi hasil pertanian (off farm) demi mendapat nilai tambah tertinggi. Dalam praktik, sektor keuangan/perbankan tidak terlalu bersahabat sebab pertanian butuh waktu paling tidak lima tahun dari saat membuka lahan hingga mulai menghasilkan. Hampir semua bank membiayai setelah terlihat hasilnya, tetapi tidak bersedia membiayai dari awal.

Butuh strategi

Berbagai persoalan bidang pertanian tersebut berawal dari tidak adanya strategi industrialisasi nasional sejak reformasi hingga kini, seperti ditegaskan Direktur Eksekutif Econit Hendri Saparini. Strategi industrialisasi nasional seharusnya memetakan dengan jelas sasaran, cara mencapai, dan dukungan tiap sektor untuk mencapai sasaran dengan tahapan waktu jelas dan indikator pencapaian terukur.

Diskusi ini sampai pada kesimpulan Indonesia memasuki tahap gejala dini de-industri yang terlihat dari statistik tiap bidang meski berbagai indeks daya saing global Indonesia membaik.

Ahli ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, dan ahli ekonomi Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, menunjukkan, pertumbuhan sektor non-tradable, antara lain jasa dan telekomunikasi, semakin dominan, sementara sektor tradable, seperti manufaktur dan pertanian, semakin menurun pangsanya dalam ekonomi nasional. Pengalaman konkret pengusaha tekstil Benny Soetrisno menunjukkan hal sama.

Padahal, pertanian budidaya masih mempekerjakan hampir 40 persen tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rata-rata rendah (sekolah dasar). Industrialisasi pertanian bila terwujud sangat berperan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Sayangnya, seperti dipaparkan Iman Sugema, ekspor Indonesia masih didominasi bahan mentah dan terlalu sedikit komoditas unggulan walaupun alam Indonesia kaya raya. Dari pertambangan, hanya batu bara, sementara dari sektor agroindustri cuma kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO).

Ironisnya, data memperlihatkan yang berkembang adalah industri otomotif yang tidak berbahan baku lokal sehingga justru menyedot devisa. Ketiadaan strategi industri nasional menyebabkan yang tumbuh industri yang tidak bertumpu pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada.

Menurut Iman Sugema, pertumbuhan tinggi sektor nontradable (barang/jasa yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri) terjadi justru setelah liberalisasi pasar, padahal liberalisasi seharusnya mendorong sektor tradable tumbuh pesat. Ada kekhawatiran Indonesia terjangkiti ”penyakit belanda” (Dutch disease), yaitu terbentuknya relasi antara meningkatnya eksploitasi sumber daya alam dan merosotnya sektor manufaktur. Di sini, kebijakan yang tidak tepat tampaknya menyebabkan yang bertumbuh justru sektor non-tradable sehingga membuat antara lain upah naik yang berbuntut memerosotkan industri lain, termasuk agroindusti-agrobisnis.

Di sisi lain, pertanian butuh kebijakan khas per komoditas karena sifatnya spesifik lokasi dan komoditas. Karena itu, kepemilikan (lahan) menjadi penting sebab menentukan akses untuk pemanfaatan dan penciptaan nilai tambah. Di sinilah dituntut keberpihakan pemerintah menentukan kepemilikan dan untuk itu dibutuhkan strategi industri nasional sebagai acuan.

Laporan Akhir Tahun 2010: Menunggu Cetak Biru Strategi Industri Nasional Yang Baik

Bagi sektor industri negeri ini, tahun 2010 tak memberi perubahan berarti. Bahkan, bagi beberapa subsektor industri terjadi pelemahan. Persoalan pengembangan industri masih tetap sama seperti tahun lalu dan hal yang sama akan menghadang tahun depan jika tidak ada pembenahan.

Kondisi tahun depan diperkirakan akan lebih baik daripada tahun ini, tetapi bukan berarti tanpa tantangan. Risiko global akan terus menghadang dan turbulensi ekonomi masih ada dan ditambah ancaman perubahan iklim.

Situasi itu akan memengaruhi sektor industri, terutama industri manufaktur yang berpotensi besar menyerap tenaga kerja.

Sepanjang 2010 pertumbuhan industri manufaktur relatif jalan di tempat. Kalaupun tumbuh, 67 persen pertumbuhannya disumbang industri otomotif. Tanpa sumbangan otomotif, praktis industri manufaktur hanya tumbuh 2 persen.

Industri manufaktur yang pertumbuhannya relatif tinggi adalah radio, TV, dan peralatan komunikasi, lalu kimia dan produk kimia, serta mesin dan peralatan.

Industri otomotif, elektronik, dan peralatan komunikasi memang menjanjikan, tetapi jika disimak lebih dalam industri ini tidak berbasis sumber daya alam (SDA) lokal. Satu-satunya industri manufaktur yang berkembang relatif baik dan berbasis SDA adalah industri tembakau. Artinya, industri yang berkembang bukanlah proses melanjutkan akumulasi kapital dari kegiatan memberi nilai tambah terhadap sumber daya alam Indonesia.

Contoh kegagalan memberi nilai tambah pada SDA dalam negeri antara lain kakao. Meski Indonesia penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, nyatanya industri pengolahan kakao masih mengimpor bahan baku biji kakao.

Alasannya, kualitas biji kakao perkebunan di dalam negeri rendah karena tidak difermentasi dengan baik. Industri pengolahan kakao di Tangerang, Banten, misalnya, setiap tahun harus mengimpor 30.000 ton kakao senilai sekitar 50 juta dollar AS. Belum lagi impor kakao bubuk. Padahal, kakao impor itu bahan mentahnya dari Indonesia.

Dengan kata lain, hambatan membangun industri yang berdaya saing adalah struktur biaya yang sudah tak mampu bersaing.

Inti industrialisasi adalah memberi nilai pada sebuah produk. Jika yang kemudian berkembang adalah industri manufaktur yang tidak berbasis sumber daya alam lokal, lalu ke mana sebenarnya arah industrialisasi yang ingin dibangun.

Dalam diskusi, ekonom Econit Hendri Saparini secara tegas mengatakan, Indonesia belum memiliki strategi industri nasional yang menggambarkan dengan jelas sektor yang akan diprioritaskan harus berbasis sumber daya Indonesia dan melihat kondisi sumber daya manusia yang ada. Lalu dipetakan dukungan yang wajib diberikan oleh sektor-sektor pendukung, seperti pembiayaan/perbankan, perindustrian, perdagangan, hingga kelembagaannya berupa peraturan dan peran pemerintah hingga ke tingkat kabupaten/kota.

Kepercayaan bank

Sebagian kalangan menilai, tidak berkembangnya industri di dalam negeri juga dampak dari ”ulah” perbankan. Untuk mendapat pembiayaan modal kerja, pelaku industri harus menyediakan jaminan tambahan berupa aset tak bergerak, selain usahanya yang menjadi jaminan utama. Syarat ini membuat pengusaha kesulitan.

Pengusaha tekstil Benny Soetrisno mencontohkan, sementara perbankan di Indonesia sangat konservatif, perbankan Singapura aktif menawarkan berbagai program pembiayaan industri di Indonesia. Mereka menawarkan collateral asset management, yaitu yang menjadi jaminan adalah bisnisnya.

Hubungan antara pengusaha dan perbankan nasional tersebut secara tidak langsung menunjukkan belum adanya saling percaya antara bank dan pelaku industri. Bank masih beranggapan pembiayaan untuk industri berisiko, sementara pengusaha melihat sikap bank sebagai hambatan.

Ketidakharmonisan tersebut tercermin pada menurunnya porsi kredit yang dikucurkan perbankan kepada industri manufaktur. Di era Orde Baru, kredit perbankan pada industri manufaktur mencapai 40 persen dari total kredit, saat ini hanya 16 persenan.

Pembiayaan investasi riil di industri sebenarnya bukan hal pelik dan bisa dipenuhi kemampuan dalam negeri. Selama ini, kontribusi investasi asing di Indonesia maksimum hanya lima persen dari total inves- tasi. Sisanya adalah investasi domestik.

Namun, persoalan juga menyangkut inefisiensi, termasuk dalam biaya logistik. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, biaya penanganan kontainer di Indonesia paling tinggi. Untuk kontainer 20 kaki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, tarifnya 95 dollar AS, sementara di Malaysia hanya 88 dollar AS, Thailand 63 dollar AS, dan Vietnam 70 dollar AS. Dan di negara-negara tersebut dibayarkan de- ngan mata uang setempat, sementara di Indonesia harus dalam dollar AS.

Ketenagakerjaan juga menjadi faktor pengganjal. Silang pendapat terkait Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan hingga kini belum mencapai titik temu. Upaya pemerintah merevisi UU tersebut ditolak DPR. Ketidakpastian landasan hukum ini mudah memicu ketegangan antara buruh dan pengusaha.

Belum lagi soal kesesuaian tenaga kerja dengan kebutuhan. Industri sepatu di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, sulit berekspansi karena terhalang ketersediaan tenaga kerja terampil. Padahal, satu pabrik sepatu baru setidaknya membutuhkan 2.000 tenaga kerja.

Peluang banyak

Jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa dan ditambah sumber daya alam yang dimiliki, banyak peluang bisa diraih, mulai dari bisnis kelapa sawit, gula, beras, hingga peternakan.

Bahkan, untuk mencapai skala ekonomi, industri di Indonesia relatif lebih mudah dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura. Ini karena pasar domestiknya besar, apalagi sebagian besar penduduk terkonsentrasi di Jawa sehingga pemasaran produk industri relatif lebih mudah.

Persoalannya adalah menentukan pilihan industri yang akan dikembangkan dan konsisten dalam mengembangkannya.

Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat dalam evaluasi akhir tahun 2010 menyatakan, pada periode 2010-2014 akan fokus pada pengembangan enam kelompok industri dari 35 industri prioritas, yaitu industri padat karya, industri kecil dan menengah, industri barang modal, industri berbasis sumber daya alam, industri dengan pertumbuhan tinggi, dan industri prioritas khusus.

Apabila pilihan fokus sudah ditetapkan, semua kebijakan dan faktor pendukung harus difokuskan ke sana, mulai dari infrastruktur, dukungan perbankan, kebijakan perdagangan dalam negeri maupun internasional, hingga kebijakan fiskal. Bagaimanapun, kebijakan industri tidak akan bisa berjalan tanpa kebijakan pendukung dari luar sektor industri.

Faktor penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki birokrasi dan meniadakan korupsi. Pengusaha dapat membuat industrinya efisien dan berbiaya murah, tetapi mereka tak berdaya mengurangi biaya tinggi yang diciptakan birokrasi. Tanpa korupsi, dan dengan birokrasi yang bersih dan baik, negeri ini bisa tumbuh lebih cepat.

Laporan Akhir Tahun 2010: Memastikan Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi dan Berkualitas

Berbagai indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan. Beberapa di antaranya adalah bertambahnya jumlah orang berpendapatan 2-10 dollar AS per hari yang mengindikasikan meningkatnya daya beli dalam negeri. Indonesia juga memiliki keuntungan yang terberi dan melekat, yaitu kekayaan alam melimpah dan jumlah penduduk yang besar sebagai pasar.

Peringkat daya saing global Indonesia juga membaik menurut lembaga dunia seperti World Economic Forum dan International Institute for Management Development. Begitu juga kemudahan melakukan bisnis, naik ke peringkat 115 dari 183 negara yang disurvei IFC dan Bank Dunia.

Meski demikian, perekonomian Indonesia harus sungguh-sungguh dibenahi untuk mencapai, yang dalam istilah Faisal Basri, pertumbuhan dengan gigi akselerasi lebih tinggi. Tujuannya, mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan.

Berbagai indikator menunjukkan, perbaikan kelembagaan sangat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bahkan hingga ke tingkat 8 persen per tahun. Inefisiensi birokrasi pemerintah dan korupsi masih menjadi kendala untuk melakukan usaha ekonomi di Indonesia.

Infrastruktur juga masih menjadi penghambat dalam melakukan bisnis di Indonesia. Infrastruktur yang sungguh-sungguh membutuhkan perbaikan adalah fasilitas pelabuhan, jalan, penyediaan listrik, efisiensi pasar tenaga kerja, teknologi, serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Apabila dilihat lebih dalam, rigiditas politik-ekonomi menyebabkan pengambilan kebijakan tidak bisa berjalan lincah. Pemberantasan korupsi yang tersendat serta tersanderanya ekonomi oleh oligarki politik menjadi penyebab lain. Sejumlah kebijakan pemerintah justru membuat ekonomi tumbuh lebih lambat. Pengetatan belanja pemerintah, misalnya, yang -4,6 persen (Januari-September 2010) menurut BPS, menyebabkan pertumbuhan PDB tertahan di 5,9 persen walaupun ekspor tumbuh 15 persen (Januari-September). Dibandingkan dengan sejumlah negara Asia, seperti Thailand, Filipina, Vietnam, Korea, China, dan Singapura, pertumbuhan PDB Indonesia adalah terendah.

Dari sisi kualitas, pertumbuhan PDB didominasi sektor nontradable (barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri), seperti gas, air dan listrik, transportasi dan komunikasi, jasa, konstruksi, dan turisme, sebesar 8,1 persen pada kuartal ketiga 2010. Sementara sektor tradable, seperti pertanian, pertambangan, dan manufaktur, tumbuh hanya 2,1 persen. Dari industri manufaktur, pertumbuhan tertinggi pun berasal dari otomotif yang tidak berbahan baku lokal.

Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit Indonesia terhadap PDB masih lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia, antara lain dengan Filipina, Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, China, Hongkong, dan Taiwan.

Peluang dan tantangan

Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh, pertanyaannya adalah kualitas pertumbuhan tersebut. Tantangan bagi pemerintah adalah memilih apakah membesarkan kue dulu baru membaginya ataukah membagi kue pembangunan yang kecil. UUD 1945 mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyat melalui penyediaan lapangan kerja yang layak, penyediaan pendidikan dan kesehatan, serta menjamin bumi, tanah, dan air Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanat tersebut mewajibkan pemerintah tidak meninggalkan satu rakyat pun dalam pembangunan.

Kualitas kemakmuran selalu menjadi perdebatan. Kabinet Indonesia Bersatu II memiliki slogan pertumbuhan, lapangan kerja, dan mengentaskan warga dari kemiskinan. Pemerintah menyebutkan, jumlah keluarga miskin yang berhak mendapat bantuan beras (raskin) turun dari 19,1 juta keluarga atau sekitar 76,4 juta orang (2008) menjadi 17,5 juta keluarga (2010). Yang berhak menerima layanan kesehatan orang miskin (jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta orang. Namun, apabila menggunakan angka Bank Dunia, jumlah orang yang mendekati miskin ada 42 persen atau mendekati 100 juta orang.

Data tersebut, demikian ekonom Econit, Hendri Saparini, mengingatkan bahwa anggaran kemiskinan yang tahun 2010 meningkat tajam menjadi Rp 94 triliun (tahun 2009 besarnya Rp 66 triliun) tidak efektif menurunkan angka kemiskinan. Tidak efektifnya anggaran tersebut disebabkan penggunaannya banyak untuk belanja barang di daerah sehingga banyak biaya dikeluarkan untuk perjalanan, honor, dan membicarakan kemiskinan.

Menurut Hendri, kajian Econit lebih dalam memperlihatkan penyerap tenaga kerja tahun 2006-2010 yang terbesar (41 persen) adalah sektor jasa kemasyarakatan, seperti jasa pembersih sampah dan reparasi kecil-kecilan. Adapun data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, 68,6 persen tenaga kerja berada di sektor informal, seperti berusaha sendiri, pekerja bebas di pertanian dan nonpertanian, pekerja keluarga, dan berusaha dibantu buruh tak tetap. Dari sisi lokasi, sebagian besar (64-70 persen) keluarga miskin berada di desa sehingga program mengentaskan warga dari kemiskinan berarti membangun pedesaan.

Kenyataan itu berhadapan dengan stagnannya pertumbuhan sektor tradable yang sebetulnya menciptakan nilai tambah dan menyerap lapangan kerja. Di dalam sektor tradable itu pun terlalu sedikit sektor yang unggul, yaitu hanya batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).

Batu bara merupakan industri ekstraksi alam yang merusak lingkungan dan hasilnya sebagian besar diekspor. Di sisi lain, negeri ini kesulitan energi untuk mendukung industri manufaktur. Sementara dari sektor pertanian, produk yang diekspor berbentuk mentah, seperti CPO, yang nilai tambahnya rendah dan kurang menyerap tenaga kerja.

Dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir, tidak ada jalan lain kecuali memastikan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkelanjutan, berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia, serta menciptakan kesejahteraan yang adil dan merata.

Iklim demokrasi yang lebih baik telah mendorong inisiatif masyarakat untuk menciptakan iklim berusaha yang lebih baik dan sehat. Beberapa pemda juga membuat inisiatif yang membangkitkan kegiatan ekonomi langsung atau tak langsung. Penyelenggaraan jaminan kesehatan warga di Kabupaten Buleleng dan Kota Palembang, misalnya, serta pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dapat disinkronkan ke dalam kebijakan nasional sehingga menghasilkan efek bola salju pertumbuhan ekonomi

Laporan Akhir Tahun 2010: Pertanian Indonesia di Tengah Ancaman Bencana

Tahun 2010 adalah tahun yang sulit buat petani. Bencana alam datang bertubi-tubi, mulai dari letusan gunung berapi, banjir, gempa, hingga tsunami. Perubahan iklim yang ekstrem, yang membuat hujan turun hampir sepanjang tahun. Serangan hama dan penyakit tanaman pun bermunculan.

Dampaknya, produktivitas hampir semua tanaman pangan menurun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, produksi padi tahun ini tumbuh 2,46 persen dibandingkan 2009. Ini berarti 0,74 persen di bawah target 66,68 juta ton gabah kering giling.

Adapun jagung, dari target 19,8 juta ton, realisasi produksi hanya 17,8 juta ton. Produksi kedelai turun 7,13 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara produksi gula turun 400.000 ton dibandingkan tahun 2009.

Perubahan iklim, kata Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini, membuat sebagian tanaman sayuran busuk. Sementara petani bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, banyak yang gagal panen.

Kemerosotan produksi juga menimpa peternak sapi perah.

Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia Dedi Setiadi, produksi susu peternak tahun ini turun 100 ton per hari. ”Ini terjadi karena kualitas rumput kurang bagus akibat terlalu banyak kadar air,” ujarnya.

Kondisi serupa juga dialami pekebun kelapa sawit, kakao, dan karet.

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Sleman, Boyolali, Klaten, dan Magelang, sekitar 3.000 sapi perah dan potong mati terkena dampak erupsi Gunung Merapi.

Bangsa ini tak berharap terjadi bencana, tetapi bencana alam tak bisa dielakkan. Kini, terpulang pada upaya untuk meminimalisasi kerugian.

Desain besar

Sayangnya, kata Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria, pemerintah belum memiliki desain besar pembangunan pertanian di tengah bencana. Terkait bencana vulkanik, misalnya, hingga saat ini belum ada riset yang menunjukkan manfaat limbah Merapi bagi pertanian.

Sistem pengelolaan bencana pun belum ada.

Jepang telah membangun sistem pembuangan lahar dingin melalui jalur khusus langsung dibuang ke laut sehingga tidak merugikan masyarakat.

Sementara di negeri ini, sistem deteksi dini pun belum optimal. Andai ada mekanisme deteksi dini dan petunjuk pelaksanaan yang jelas dalam evakuasi ternak, seperti sapi dan kambing di Merapi, kematian 3.000 sapi bisa dihindarkan.

Sebenarnya pada beberapa sisi, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah dilakukan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, misalnya, telah menghasilkan benih padi varietas unggul yang tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas.

Namun, itu tidak cukup. Harus dipastikan, varietas yang dikembangkan itu benar-benar dimanfaatkan petani sebagai respons atas iklim yang berubah.

Kepala Balitbang Pertanian Kementerian Pertanian Haryono meyakini pengembangan pertanian ke depan bertumpu pada riset. ”Anggaran memadai. Alokasi dana riset di kementerian 10-12 persen,” katanya.

Namun, secara nasional anggaran riset relatif kecil, hanya 0,02 persen, dari total anggaran. Apalagi, ke depan tantangan tak hanya peningkatan produktivitas tanaman, tetapi juga bagaimana produktivitas tinggi bisa dicapai di tengah bencana dan gangguan iklim yang kian nyata.

Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan, untuk mendorong peningkatan produksi, pemerintah fokus pada pemanfaatan lahan pertanian marjinal, selain memberikan benih unggul spesifik lokasi, dan bantuan pupuk.

Penanganan dampak bencana tak bisa diseragamkan, tetapi spesifik berdasarkan jenis bencana dan komoditas yang akan dikembangkan.

Untuk tanaman musiman, misalnya, petani membutuhkan ketepatan ramalan iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Informasi tentang iklim ini harus sampai kepada petani sehingga mereka bisa mengantisipasi sedari dini.

Adapun untuk padi, petani membutuhkan varietas yang tepat untuk kondisi setempat. Benih dari varietas itu harus tersedia kapan pun dibutuhkan.

Selain itu, menurut Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Nur Gaybita, dalam kondisi iklim basah seperti saat ini, petani padi butuh sarana pengeringan.

Padahal, menurut pengamat perberasan Husein Sawit, saat ini hanya 30 persen penggilingan di Indonesia yang punya sarana pengeringan modern.

Untuk jagung, tantangan terbesar adalah mendorong industri perbenihan jagung nasional menghasilkan benih yang tahan kondisi basah dan kering.

Sementara kedelai, butuh benih yang mampu mencapai produktivitas di atas 3 ton per hektar serta tahan hama dan penyakit.

Oleh karena itu, sudah saatnya desain besar pembangunan pertanian di tengah bencana dirancang. Kalau lima tahun lalu fokus program dan riset hanya meningkatkan produksi, kini sekaligus diarahkan pada peningkatan produktivitas dan adaptasi pada perubahan iklim.

Tantangan kian berat. Tetapi, bila semua pihak bekerja cerdas dan sungguh-sungguh, negeri ini pasti bisa membangun pertanian yang unggul, sekalipun didera bencana.

Jumlah Pekerja Permanen Hanya Tinggal 35 Persen ... Yang Lainnya Outsourcing

Jumlah tenaga kerja formal dengan status permanen kian menurun. Kini tinggal 35 persen dari seluruh tenaga kerja formal. Hal ini terjadi seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang mengizinkan tenaga kerja kontrak dari perusahaan lain atau outsourcing.

Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Rekson Silaban, Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia di Jakarta, Kamis (23/12), dari 33 juta tenaga kerja sektor formal, hanya 35 persen yang berstatus pekerja atau buruh permanen.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi kaget dengan data itu. ”Itu berarti jumlah buruh permanen semakin berkurang. Sebelum UU No 13/2003 diberlakukan, jumlah buruh permanen pada sektor formal 67 persen,” kata Sofjan.

Ia menjelaskan, kondisi itu terjadi karena peraturan perundang-undangannya memungkinkan. ”Saya pernah tanya kepada pengusaha, kok banyak outsourcing? Mereka jawab, boleh kok di undang-undang. Ini merupakan refleksi akhir tahun yang muram,” tutur Sofjan Wanandi.

Cara menghentikan aturan buruh outsourcing, kata Sofjan, adalah dengan merevisi UU No 13/ 2003. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sedang menyusun rancangan perubahannya. Ini atas permintaan pihak tripartit, yaitu pengusaha, pemerintah, dan pekerja. ”Jadi, kalau ada draf yang sekarang sudah beredar, itu palsu,” kata Sofjan.

Kemarin, Paguyuban Karyawan Outsourcing PT Telkom Indonesia, melalui surat pernyataan sikap, meminta PT Telkom Indonesia menghentikan sementara kerja sama dengan PT Intracotama Daya Perdana cq PT Mitra Nusantara Fonindo selaku penyedia jasa outsourcing pada PT Telkom Indonesia.

Hal ini terkait pemutusan hubungan kerja terhadap 141 karyawan pada 22 Maret 2010 tanpa kewajiban membayar hak normatif karyawan sesuai UU No 13/2003

Rekson juga mengungkapkan, 75-80 persen kasus terkait pesangon buruh di Pengadilan Hubungan Industrial berakhir dengan negosiasi. ”Artinya, buruh kalah karena menerima pesangon lebih rendah daripada aturan UU No 13/2003,” katanya.

RUU Otoritas Jasa Keuangan Dibahas Lagi Tahun Depan

Setelah terhenti karena tak ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR, Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan akan dibahas lagi setelah masa reses DPR pada Januari 2011. DPR yakin pembahasan tak akan lama karena hanya Pasal 9 yang belum disepakati, yakni tentang struktur dan penentuan anggota Dewan Komisioner OJK.

Meski demikian, Ketua Panitia Khusus RUU OJK Nusron Wahid mengaku hingga kini belum ada kompromi mengenai struktur dan penentuan anggota Dewan Komisioner itu. ”Tidak akan lama, setelah pasal itu selesai, tinggal mengesahkan,” kata Nusron di Jakarta, Kamis (23/12).

Ada tiga opsi untuk Dewan Komisioner OJK. Pertama, pemerintah meminta anggota Dewan Komisioner OJK tujuh orang, dua di antaranya ex officio Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Kedua, apabila dua anggota ex officio itu memiliki hak suara, DPR meminta tambahan dua anggota yang dipilih DPR.

Ketiga, kalau dua anggota ex officio memiliki hak suara, hanya tiga anggota Dewan Komisioner yang dipilih pemerintah, empat lainnya diseleksi DPR.

Pasal 34 UU No 3/2004 tentang Perubahan atas UU No 23/ 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan, pembentukan lembaga pengawasan dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2010.

Menanggapi ketentuan itu, Nusron merujuk pada Pasal 35 UU No 23/1999 yang tak diubah dalam UU No 3/2004. Pasal itu menyatakan, ”Sepanjang lembaga pengawasan belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh BI.”

Pengamat pasar modal Yanuar Rizky berpendapat, sejak awal, arah pembahasan OJK hanya terkesan sebagai ajang berebut kekuasaan. Akibatnya, daftar inventarisasi masalah dalam pembahasan RUU OJK tidak menyentuh substansi pengawasan, seperti dasar pembentukannya.

”Menurut saya, pengawasan masing-masing sektor tetap saja ditangani lembaga yang ada. Bank diawasi BI, pasar modal dan lembaga keuangan diawasi Bapepam. Tetapi, saat ada kebutuhan lintas sektoral, OJK yang menangani,” kata Yanuar.

Ia menambahkan, selama ini sebenarnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sudah cukup baik mengawasi transaksi keuangan, tetapi masih pasif. ”Naikkan saja kastanya jadi OJK,” kata Yanuar.

Inflasi Mengancam Suku Bunga Akan Dinaikan

Tahun 2011, tekanan inflasi diperkirakan akan semakin kuat. Bank Indonesia sebaiknya tidak menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate karena dampaknya akan negatif ke sektor kredit perbankan dan akan berpotensi meningkatkan serbuan arus dana jangka pendek.

”Jangan terlalu mengacu pada teori di mana suku bunga acuan harus selalu di atas laju inflasi. Di Amerika, saat ini suku bunga di bawah angka inflasi,” ujar pengamat pasar uang, Farial Anwar, dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2011 yang diselenggarakan lembaga kajian ekonomi dan keuangan Indef di Jakarta, Kamis (23/12).

Seminar antara lain menampilkan Direktur Ekonomi Riset dan Kebijakan BI Perry Warjiyo serta pengamat ekonomi Aviliani.

Perry Warjiyo memperkirakan, tahun 2011 dan 2012, inflasi inti akan meningkat yang disebabkan menyempitnya kesenjangan output dan kenaikan harga komoditas internasional yang tidak dapat sepenuhnya dikompensasi dengan penguatan nilai tukar rupiah.

Ia menyatakan, kebijakan BI Rate akan diarahkan pada pencapaian sasaran inflasi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.

Sejumlah risiko dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam perekonomian Indonesia, yang diakibatkan ketidakseimbangan dan ketidakpastian ekonomi global.

Perry menyebutkan, derasnya arus dana jangka pendek, perang mata uang, serta kuatnya permintaan domestik yang menyebabkan tekanan pada inflasi juga bisa mengganggu perekonomian domestik.

Banjir dana jangka pendek

Dalam kaitan itu, ujar Perry, BI akan tetap mengedepankan pengelolaan kebijakan moneter dan perbankan yang pruden, yang dijalankan secara konsisten untuk menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.

BI memperkirakan ekonomi Indonesia tahun 2011 akan tumbuh lebih tinggi, yaitu 6-6,5 persen. Namun, tekanan inflasi juga akan berlanjut meskipun dalam kisaran 5 plus minus satu persen.

Farial Anwar mengungkapkan, tahun 2010, Indonesia kebanjiran arus dana jangka pendek yang diinvestasikan ke saham, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan obligasi berupa Surat Utang Negara atau korporasi.

Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia melonjak tajam ke level tertinggi 3.786 pada Desember 2010.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa mengatakan, salah satu kunci pertumbuhan ekonomi adalah penyerapan anggaran pemerintah secara optimal.

Selain itu, pemerintah juga mesti mengenakan program untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, seperti pelabuhan dan jaringan listrik.

”Sudah lebih dari 10 tahun kita tidak ada pembangunan infrastruktur besar-besaran. Pembatasan BBM subsidi jika dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, peluangnya besar,” ujar Erwin Aksa

Peningkatan Produksi Harus Melalui Restrukturisasi Kapal Nelayan

Guna meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan, dalam kurun pertengahan 2010-2014, sebanyak 1.000 kapal ikan akan direstrukturisasi. Hingga Desember 2010, program yang dijalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan ini telah merestrukturisasi 60 kapal, menjadi kapal berbobot mati 30 ton.

Tahun 2011, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, 230 kapal, yang tersebar di sekitar Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, akan direstrukturisasi.

”Kami menggunakan dana APBN dan soft loan (pinjaman lunak) dari Jerman. Tahun 2010 baru terlaksana 60 kapal dengan dana APBN-Perubahan,” ujar Fadel di Jakarta, Kamis (23/12), saat menghadiri pengukuhan profesor riset Ali Suman, Wudianto, dan Haryanti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Fadel menyatakan sulit untuk meningkatkan produksi ikan tangkap. Berbagai kendala harus dihadapi, antara lain, perubahan iklim, investasi yang besar, dan terbatasnya dana. Kenaikan produksi perikanan tangkap pada tahun 2010 hanya 0,4 persen.

Oleh karena itu, kata Fadel, perikanan budidaya yang akan digenjot agar produksinya naik 353 persen pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2009. Pada tahun 2009, produksi perikanan budidaya 4,78 juta ton.

”Harus sungguh-sungguh mendorong produksi budidaya. Ketika saya sampaikan, ada komentar, apakah mungkin? Ternyata anggaran budidaya tahun 2011 mencapai Rp 1 triliun, maka kita optimistis produksi akan naik,” ujar Fadel.

Dalam orasi pengukuhannya sebagai profesor riset, Ali Suman mengemukakan, udang memegang peranan penting dalam ekspor perikanan Indonesia.

Nilai ekspor udang tahun 1981 sekitar 190 juta dollar AS. Volume ataupun nilai ekspor udang terus meningkat, tahun 1997 ekspor udang 97.280 ton dengan nilai 1,08 miliar dollar AS. Tahun 2008 sebesar 171.658 ton senilai 1,168 miliar dollar AS.

”Pemanfaatan sumber daya udang di Indonesia masih terpusat di perairan dangkal dengan tingkat pemanfaatan secara umum sudah jenuh,” katanya.

Menurut Fadel, profesor riset dapat memasok data untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan guna kebutuhan budidaya perikanan. ”Ada dua hal penting dalam budidaya, yakni teknologi dan pemasaran,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan

Impor Beras Dipertahankan Agar Beras Tetap Murah Meskipun Petani Harus Jadi Korban

Meskipun mendapat kritikan, pemerintah tetap akan mempertahankan kebijakan impor beras. Hal itu dilakukan untuk menekan harga dan mempertahankan stabilitas di pasar domestik. Langkah ini baru distop saat pasokan beras kembali normal dan harga stabil.

Demikian dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di sela kunjungan ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) di Jakarta, Kamis (23/12).

Dia mendampingi Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Pertanian Suswono, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar.

Hatta Rajasa mengatakan, pihaknya akan terus mengimpor sampai harga beras stabil di bawah Rp 7.000 per kilogram. Bahkan, impor beras yang rencananya berlangsung sampai Januari 2011, akan terus berlanjut sampai pasokan domestik lancar.

”Kami akan membuktikan operasi pasar efektif menekan harga beras di bawah Rp 7.000 per kilogram,” kata Hatta.

Pemerintah mengimpor 250.000 ton beras dari Vietnam untuk memenuhi kebutuhan nasional. Saat ini impor beras menjadi salah satu langkah pemerintah dalam mengendalikan harga beras di dalam negeri.

Beberapa pedagang mengaku merasa terbantu dengan adanya operasi pasar beras karena harga turun sekitar Rp 400 per kilogram dari Rp 7.000 per kilogram.

Namun, para pedagang juga mengakui bahwa kualitas beras impor Vietnam masih di bawah beras lokal. Kualitas beras lokal tidak mengeras setelah dimasak. Sedangkan beras impor ini mengeras meskipun sudah matang menjadi nasi.

Karena itu, para pedagang merasa takut adanya praktik pengoplosan beras. Beras Vietnam dan beras lokal hampir mirip, terutama yang kualitas broken 15 persen, butirannya tidak terlalu panjang-panjang.

”Kami minta tolong agar Bapak bisa memantau pengoplosan ini. Ya, sampai hari ini, kami belum mendapati beras oplosan itu,” kata Ayong, pedagang beras di Pasar Cipinang, kepada Menko Perekonomian.

Persoalan produksi

Ayong juga mengatakan, pihaknya masih menjual beras kualitas bagus dengan harga lebih dari Rp 7.500 per kg. Hanya saja beras ini hanya dikonsumsi kalangan tertentu, tetapi tidak memengaruhi harga beras lainnya. Ia pun tidak memiliki stok lebih dari 40 ton.

Dalam kesempatan tersebut, Suswono menjelaskan, gangguan pasokan beras terjadi akibat persoalan produksi yang dipicu perubahan iklim. Dia optimistis harga beras akan kembali stabil setelah panen pada tahun 2011.

Kenaikan harga beras yang tinggi di Pulau Jawa juga dipicu ongkos distribusi yang mahal. Adapun untuk di luar Pulau Jawa, cuaca juga cukup mengganggu pengiriman beras antarpulau sehingga memicu biaya distribusi menjadi tinggi.

Walaupun demikian, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso menjamin stok beras di seluruh Indonesia mencukupi kebutuhan. Bulog juga terus memantau pasokan beras.

Dari PIBC, rombongan meninjau Pasar Jatinegara di Jakarta Timur. Sejumlah pembeli dan pedagang sempat mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan pokok sebulan terakhir kepada para menteri.

Misalnya, harga cabai merah masih Rp 50.000 per kilogram, sementara harga cabai lainnya di bawah Rp 40.000 per kilogram. Masyarakat meminta pemerintah berbuat sesuatu untuk menekan kenaikan harga tersebut. Harga minyak goreng curah juga tinggi, Rp 12.000 per liter.

Pajak Yang Harusnya Menjadi Insentif Perekonomian Kini Malah Menjadi Beban

Menyadari beban ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan perpajakan, pemerintah akhirnya memutuskan mengkaji ulang semua aturan perpajakan, dari mulai undang-undang hingga surat edaran direktur jenderal pajak.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar setiap perubahan aturan pajak harus dilaporkan kepada dirinya agar menghindari kemungkinan beban baru bagi iklim investasi.

”Hasil rapat kabinet, Presiden meminta saya dan menteri-menteri ekonomi, terutama Menteri Keuangan, segera membahas perpajakan kita. Di dalamnya terkait insentif dan disinsentif, kemudian menghilangkan yang berkaitan dengan multitafsir, menghilangkan perbedaan antara apa yang terjadi di lapangan dan apa yang ada pada undang- undang. Begitu juga kontradiksi, misalkan, antara satu peraturan dan peraturan yang lain,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis (23/12).

Menurut Hatta, salah satu hal yang mendorong Presiden meminta kajian ulang atas kebijakan perpajakan adalah pernyataan salah seorang sutradara film ternama Tanah Air, Hanung Bramantyo.

Hanung menyatakan bahwa industri perfilman dalam negeri dibunuh oleh pemerintahnya sendiri antara lain melalui kebijakan perpajakan yang memberatkan.

”Pernyataan itu betul-betul membuat kami merasa tidak enak sehingga Presiden meminta langsung melakukan pengecekan. Sebab, harus diakui, industri perfilman kita sudah terlalu banyak dibebani pajak, mulai dari peralatan, artisnya kena Pajak Penghasilan (PPh). Krunya, mulai dari pergantian dari video ke negatif film semuanya terkena pajak, sehingga film impor lebih murah dibandingkan film nasional. Ini akan kami perbaiki,” ujar Hatta Rajasa.

Namun, katanya, bukan hanya industri perfilman yang akan mendapatkan pengkajian ulang pada sektor perpajakan, melainkan seluruh industri. Salah satu yang sudah masuk dalam fokus perhatian pemerintah antara lain industri perkapalan dalam negeri.

Industri ini dinilai tertekan karena konsumen lebih memilih pembelian kapal di luar negeri ketimbang memesan di perusahaan galangan kapal domestik.

”Industri ini juga terpuruk karena untuk membeli peralatannya saja terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sedangkan jika mengimpor kapal malah bebas PPN. Ini akan kami perbaiki. Membuat kapal di galangan kapal Korea malah tidak ada pajaknya,” ungkapnya.

Hatta menyebutkan, setidaknya ada 13 hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pengkajian ulang perpajakan ini. Itu antara lain mulai dari perpajakan pada perusahaan maklun, jasa perdagangan, jasa ekspor, kemudian masalah restitusi.

Pembahasan masalah ini akan dimulai pada 28 Desember 2010. ”Ini harus diselesaikan secepatnya. Tetapi, kalau ada yang berkaitan dengan UU, tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Karena ini memang berkaitan dengan pengkajian ulang atas semua peraturan, baik peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan, maupun peraturan direktur jenderal,” ungkapnya.

Dorong investasi

Ekonom Fadhil Hasan menegaskan, pajak sebaiknya jangan hanya dijadikan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga harus jadi pendorong investasi.

Oleh karena itu, sistem perpajakan di Indonesia harus dibuat sederhana, kompetitif, dan efisien. Ini terutama untuk PPh badan atau perusahaan sehingga ada kepastian bagi para investor.

Sebagai contoh, ada tumpang tindih antara pajak pusat dan daerah, pemajakan berganda pada PPN untuk industri, serta jumlah dan jenis pajak yang harus dikurangi.

Salah satunya adalah bea keluar atau pajak ekspor untuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan komoditas ekspor lainnya.

”Itu perlu dipikirkan karena tujuan bea keluar itu sudah bergeser dari stabilisasi harga minyak goreng menjadi instrumen penerimaan negara,” tutur Fadhil

Tuesday, December 14, 2010

Rangkuman Berita Ekonomi Minggu Kedua Desember 2010

Suku Bunga Penjaminan Tetap

Kondisi perekonomian dinilai tidak ada perubahan berarti dilihat dari indikator tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan cadangan devisa. Oleh karena itu, Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan tingkat suku bunga wajar, atau suku bunga penjaminan periode 15 Desember 2010-14 Januari 2011, tetap 7 persen untuk simpanan rupiah dan 2,75 persen untuk valuta asing di bank umum. Adapun suku bunga wajar untuk Bank Perkreditan Rakyat, menurut Sekretaris LPS Ahmad Fajarprana, Selasa (14/12) di Jakarta, 10,25 persen. (idr)

Target Penyaluran Dana Bergulir Tak Tercapai

Menjelang pengujung tahun 2010, target penyaluran dana bergulir Rp 542,75 miliar tak tercapai. Lembaga Pengelola Dana Bergulir hanya mampu merealisasikan penyaluran Rp 351,21 miliar. Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Bergulir-Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) Kemas Danial di Jakarta, Selasa (14/12), mengatakan, realisasi penyaluran dana bergulir butuh upaya lebih keras. (OSA)

Pinjaman ADB untuk Tumbuh Lebih Tinggi

Bank Pembangunan Asia (ADB) menyediakan pinjaman 200 juta dollar AS bagi Indonesia untuk melanjutkan reformasi guna memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mengurangi tingkat kemiskinan. ”Reformasi membantu mendukung pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dalam jangka menengah,” kata Edimon Ginting, Ekonom Senior ADB di Kantor Perwakilan ADB di Indonesia, Selasa (14/12) di Jakarta. Reformasi itu antara lain memperbaiki iklim investasi serta memperkuat manajemen keuangan publik dan tata kelola pemerintahan.

Properti Ramai Ramai Serbu Jakarta Karena Bisa Untung Besar Dengan Modal Yang Sama

Direktur Eksekutif PT Ciputra Property Tbk (CTRP) Artadinata Djangkar mengemukakan hal itu di Jakarta, Selasa (14/12).

Ia menjelaskan, dengan biaya produksi relatif hampir sama, harga jual properti di Jakarta bisa dua kali lipat dibandingkan di daerah lain.

Harga jual properti di Jakarta mencapai Rp 20 juta per meter persegi, sedangkan di Semarang, misalnya, hanya Rp 10 juta-Rp 12 juta per meter persegi. Oleh karena itu, hal itu mendorong CTRP terus mencari lahan baru di Jakarta, seperti di kawasan TB Simatupang.

CTRP menyiapkan belanja modal Rp 1 triliun untuk menggarap proyek di Jakarta pada tahun 2011. Dana itu, lanjut Artadinata antara lain untuk pembangunan bertahap proyek superblok Ciputra World Jakarta di kawasan seluas 5,5 hektar, selain proyek baru apartemen di lahan seluas 3 hektar di kawasan Mega Kuningan.

Proyek-proyek itu meliputi pusat perbelanjaan, perkantoran, apartemen, dan hotel. Sumber pendanaan internal perusahaan.

”Green property”

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI) Setyo Maharso meminta pengembang mengarahkan proyek properti ramah lingkungan (green property). Untuk itu, REI berencana melakukan sertifikasi green building terhadap proyek-proyek REI.

Upaya sertifikasi dilakukan dengan melibatkan organisasi nirlaba anggota Green Building Council Indonesia.

”Sertifikasi proyek properti ramah lingkungan sudah saatnya dilakukan sebagai wujud kepedulian pengembang terhadap pembangunan berkelanjutan,” ujarnya di sela-sela penganugerahan Green Property Awards terhadap pengembang yang diadakan majalah Housing Estate.

Papua Ditawarkan Ke China Untuk Menjadi Daerah Ekonomi Khusus

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung dalam pertemuan dengan Wang Huisheng, Chairman, State Development and Investment Corporation (SDIC), di Beijing China, Selasa (14/12).

Pertemuan tersebut dihadiri Duta Besar RI untuk China Imron Cotan serta tujuh pemimpin unit-unit usaha di lingkungan SDIC.

Suasana pertemuan berlangsung hangat. Pada acara jamuan makan siang pun, Chairul Tanjung dan Wang Huisheng sangat akrab.

Menurut Chairul, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin melakukan percepatan pembangunan ekonomi dengan membangun kawasan ekonomi khusus (KEK).

”Saya sudah mendapat petunjuk dari Presiden agar China bisa menjadi mitra utama dan pertama dalam pembangunan di KEK,” ujar Chairul Tanjung.

Dalam kaitan itu, lanjut Chairul, KEN berharap SDIC bisa menjadi pionir dalam pembangunan dan kerja sama dengan Indonesia.

Dengan kerja sama dengan SDIC diharapkan pertumbuhan perekonomian ekonomi Indonesia bisa lebih cepat.

”Diharapkan langkah Indonesia bisa disinergikan dengan SDIC,” tutur Chairul.

Kota internasional

Chairul menegaskan, Indonesia telah dan akan terus mengembangkan KEK di luar Pulau Jawa, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Investor yang menanamkan modal di Indonesia, lanjut Chairul, tidak hanya mendapat kemudahan, tetapi juga mendapat insentif pajak. Insentif itu bisa berupa pembebasan bea masuk.

Tidak hanya itu, ujar Chairul, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menghendaki ibu kota Jakarta sebagai kota internasional. ”Sekaligus juga sebagai pusat bisnis,” tuturnya.

Oleh karena itu, ujar Chairul, ke depan sektor usaha tertentu di Jakarta juga akan dikembangkan dengan pemberian beberapa kemudahan dari pemerintah.

Tiga kunci

Terkait dengan transformasi ekonomi tersebut, Chairul Tanjung menanyakan kepada Wang Huisheng apa yang terjadi di China.

Menurut Wang Huisheng, ada tiga kunci keberhasilan pembangunan ekonomi di China. Pertama,

visi dan perencanaan pembangunan jangka panjang yang solid melalui program rencana pembangunan lima tahun yang berkesinambungan.

Kedua, papar Wang Huisheng, menerapkan strategi pengembangan pengetahuan dasar. Ketiga, adanya birokrasi yang kuat dan efektif yang dimotori oleh Partai Komunis China (PKC) sebagai partai yang berkuasa.

Selain itu, menurut Wang Huisheng, pembangunan perekonomian China didukung oleh produktivitas sumber daya manusia yang berakar pada nilai-nilai dasar bangsa China.

Nilai-nilai tersebut antara lain rajin dan tekun, hemat, inovatif, dan disiplin tinggi. Sumbangan peran warga negara asing keturunan China pun tak kalah berartinya.

”Tiga kunci pembangunan tersebut dapat dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara tanpa membedakan sistem politik dan pemerintahannya,” ujar Wang Huisheng.

Korban Bencana Harus Berikan Keringanan dan Bukan Beban

Bencana memberikan dampak yang luar biasa bagi sisi kemanusiaan dan perekonomian. Pascabencana, roda kehidupan mesti berputar lagi. Padahal, kredit usaha masih ditanggung. Sapi yang siap diperah susunya mati, pohon salak tertimbun abu, bahkan rumah hancur lebur.

Bencana banjir di Wasior, tsunami di Kepulauan Mentawai, dan letusan Gunung Merapi terjadi berurutan. Selain korban jiwa, banyak juga korban harta benda, ataupun sumber penghidupan semacam ternak dan pertanian.

Data Bank Indonesia pada 14 November menunjukkan, kerugian materiil akibat letusan Gunung Merapi di antaranya terjadi pada sektor pertanian. Perkebunan salak pondoh mencatat kerugian Rp 200 miliar.

Sekitar 900 usaha mikro, kecil, dan menengah—dari 2.500 UMKM di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta—berhenti sementara waktu. Mayoritas pada usaha peternakan, hortikultura, dan kerajinan.

Sektor perikanan juga mengalami kerugian besar akibat matinya 1.272 ton ikan. Peternakan terpukul karena 2.578 sapi mati. Belum terhitung kambing dan domba.

Dalam kondisi demikian, penetapan daerah bencana memang diperlukan. Selanjutnya, perlakuan khusus terhadap kredit di daerah bencana.

Bank Indonesia sudah memiliki Peraturan BI (PBI) Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Pada 8 Desember 2010, Gubernur BI menerbitkan surat keputusan penetapan daerah bencana yang mengacu pada PBI tersebut. Dengan SK itu, perbankan dapat menerapkan perlakuan khusus bagi debitor di daerah bencana.

Perbankan setidaknya dapat melakukan tiga hal terhadap kredit bank yang terkena dampak bencana. Pertama, merestrukturisasi kredit yang terkena dampak bencana tetapi memiliki prospek baik dan kredit yang direstrukturisasi itu ditetapkan berkolektibilitas lancar.

Kedua, menaikkan batas penilaian kualitas aktiva produktif menggunakan pilar ketepatan pembayaran, yang normalnya Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar khusus kredit di daerah bencana. Ketiga, memberikan tambahan fasilitas kredit baru apabila diperlukan bagi debitor yang kena dampak bencana.

Kalangan perbankan menyambut baik hal itu. Mereka bahkan sudah bersiap-siap mengimplementasikannya.

Direktur Utama PT Bank BTN Iqbal Latanro mengatakan, BTN siap menerapkan aturan tersebut bagi debitor di wilayah Jawa Tengah dan DIY. BTN tak memiliki nasabah di wilayah bencana Mentawai dan Wasior.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Bank Perkreditan Rakyat DIY Tedy Alamsyah mengaku, BPR pernah belajar dari bencana gempa di DIY tahun 2006. ”Belajar dari bencana gempa tahun 2006, kami tahu debitor yang mungkin mengalami kesulitan pembayaran kredit bukan hanya di daerah yang langsung kena dampak bencana, tapi juga yang tak langsung kena,” kata Tedy.

Kredit bagi debitor yang kena dampak, baik langsung maupun tak langsung, letusan Gunung Merapi di DIY mencapai Rp 90 miliar.

Pada praktiknya, bank kemudian menggolongkan debitor yang kena dampak bencana. PT Bank BRI, misalnya, memiliki syarat khusus untuk penghapusbukuan kredit (write-off) di daerah bencana, yakni debitor— yang menerima kredit sebelum bencana terjadi—kena dampak langsung bencana itu.

Kriteria alternatif BRI, yakni debitor meninggal atau tak diketahui keberadaannya; debitor tak memiliki kemampuan fisik atau mental; serta agunan musnah, rusak, atau hilang. ”Kami perlu waktu menggolongkan debitor ini, akan kami lakukan secepatnya,” ujar Muhamad Ali, Corporate Secretary BRI.

Kredit yang dikucurkan BRI ke daerah yang kena dampak letusan Merapi di antaranya untuk usaha sektor peternakan, pertanian, dan perdagangan. Maksimum potensi kerugian Rp 400 miliar. Akan tetapi, Ali mengaku masih harus didata ulang berapa persisnya kredit yang diberikan yang bisa dikenai aturan BI tersebut.

Penerapannya

Ali mengilustrasikan, debitor yang menggunakan kredit dari BRI untuk membeli 100 sapi perah. Akan dilihat lebih dulu, apakah sapinya masih ada, berkurang, atau ada tetapi tidak bisa menghasilkan susu karena ketiadaan pakan.

Misalnya, dengan 100 sapi perah, debitor mampu membayar kredit selama lima tahun. Kini, dengan sapi 25 ekor, tentu kemampuan membayar kredit tidak seperti sebelumnya.

”Setelah tahu kemampuan mengangsurnya, akan diberi keringanan dengan memperpanjang tenggat waktu,” kata Ali.

Keringanan masa pembayaran kredit itu juga akan dilakukan BPR di DIY. Tedy mengaku, sebagai bank yang tumbuh dan besar di DIY, BPR DIY memiliki kedekatan personal dan emosional dengan warga DIY. Langkah yang mengacu aturan BI juga dilakukan dengan pertimbangan emosional.

”Misalnya, ada usaha di Sleman yang kena dampak bencana meski debitor tak kena karena tinggal di kota lain. Untuk hal ini, kami rasa perlu kebijakan tersendiri,” kata Tedy.

Data BI menunjukkan, perekonomian DIY—yang didominasi pariwisata, hotel, dan restoran—jasa, dan pertanian menerima dampak tak langsung bencana letusan Gunung Merapi. Kunjungan wisatawan yang berkurang serta penundaan atau pengalihan lokasi acara wisata tak hanya membuat tingkat hunian hotel anjlok dari rata-rata 70 persen menjadi 30 persen. Namun, rantai industri kerajinan, kuliner, dan transportasi ikut menerima imbasnya.

Kini, saatnya daerah—yang pernah mengalami bencana—itu bangkit. Salah satu caranya, meringankan beban debitor yang sudah kehilangan banyak hal akibat bencana supaya mereka dapat menggerakkan roda usaha lagi. Jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga pula akibat kesulitan membayar kredit.

Bapepam Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Diminta Ungkap Semua Kecurangan Dalam Krakatau Steel

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan diminta mengungkap semua pelanggaran dalam penawaran saham perdana PT Krakatau Steel. Bukan pelanggaran kecil saja. Sebagian kalangan menduga ada pelanggaran besar menyangkut penetapan harga saham dan penjatahan yang tidak transparan.

Dradjad Wibowo dari Sustainable Development Indonesia berpendapat, pelanggaran yang terungkap dari hasil audit kantor akuntan publik adalah bagian kecil dari indikasi pelanggaran yang terjadi.

”Ada dugaan pelanggaran besar yang masih harus diungkap dan diselesaikan. Bapepam-LK seharusnya memanfaatkan kasus KS (Krakatau Steel) ini untuk membuka praktik-praktik tidak benar yang selama ini menjadi rumor di pasar modal,” katanya di Jakarta, Selasa (14/12).

Ketua Bapepam-LK Ahmad Fuad Rahmany dalam jumpa pers Senin petang mengungkapkan hasil audit kantor akuntan publik. Dari audit ditemukan pelanggaran dalam proses penawaran saham perdana (IPO) KS.

Lima perusahaan efek yang terafiliasi dengan penjamin emisi atau agen penjual ditengarai membeli 980.000 lembar saham KS. Terdapat pemesanan ganda oleh 68 pihak, perseorangan dan institusi, dengan jumlah keseluruhan 31,7 juta lembar saham.

Dalam IPO KS tercatat 16.593 pemesan saham dengan jumlah pesanan 4,874 miliar lembar. Jumlah itu melebihi saham yang ditawarkan. Pada saat penjatahan, jumlah pemegang saham menjadi 16.549 dengan total saham 3,155 miliar lembar.

Jumlah pengurangan terbanyak pemesan golongan perseorangan Indonesia. Semula terdapat 8.923 pemesan dengan 2,336 miliar lembar saham. Pada saat penjatahan, hanya 730,166 juta lembar untuk 8.880 pemegang saham.

”Apakah penjamin emisi dan international selling agent sudah melaksanakan pekerjaan sesuai aturan good governance di pasar modal? Dalam penjatahan, banyak yang tidak dapat saham. Metode apa yang dipakai dalam alokasinya? Justru ini yang harus dibuka,” kata Dradjad.

Pengamat pasar modal Adler Manurung menilai pelanggaran yang terungkap menunjukkan adanya persekongkolan dalam IPO KS. ”Pelanggaran itu hanya istilah halusnya,” ujar Adler.

Bapepam-LK, tambahnya, harus bereaksi cepat memeriksa para pihak yang melanggar, kemudian menjatuhkan sanksi yang tepat. ”Karena sudah terjadi pelanggaran, penawaran saham mestinya dibatalkan,” ujarnya.

Saham KS dijual kepada publik Rp 850 per lembar yang dicatatkan ke Bursa Efek Indonesia pada 10 November 2010. Bertindak sebagai penjamin emisi, Bahana Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Danareksa Sekuritas. Credit Suisse dan Deutsche Bank bertindak selaku agen penjualan internasional.

Eropa Didesak Cabut Larangan Penerbangan

Pemerintah Indonesia mendesak Uni Eropa mencabut larangan terbang bagi semua maskapai nasional ke Eropa. Dua tahun ini, pencabutan larangan terbang oleh Uni Eropa dilakukan bertahap meski semua operator penerbangan dinilai sudah siap.

”Pemerintah sudah berbicara dengan Duta Besar Uni Eropa di Brussel, Belgia. Kita sampaikan, mengapa tidak dibuat sistem tertentu sehingga pencabutan larangan terbang tak perlu sebagian-sebagian,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bhakti, Selasa (14/12), seusai Jumpa Pers Akhir Tahun 2010 di Kementerian Perhubungan.

Menurut Herry, dari 121 temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) tentang keselamatan penerbangan di Indonesia, semuanya telah dibenahi pemerintah.

Pada Juli 2010, Uni Eropa pun mencabut larangan terbang terhadap Batavia Air dan Indonesia AirAsia. Tahun 2009 larangan terbang ke Eropa untuk Garuda Indonesia, Mandala Air, Airfast, dan PremiAir dicabut. Padahal, di Indonesia per Oktober 2010, ada 19 operator penerbangan berjadwal dan 41 operator penerbangan carter.

Meski tak semua maskapai nasional terbang ke Eropa, pencabutan larangan terbang untuk semua maskapai penting. Ini terkait dengan kepercayaan publik terhadap maskapai nasional.

Adapun secara finansial, pencabutan larangan terbang dapat menurunkan premi asuransi penerbangan.

Dana yang Dikelola Mandiri Investasi Rp 19 Triliun

PT Mandiri Investasi memiliki dana kelola Rp 19 triliun per akhir November 2010, atau melampaui target yang telah ditetapkan Rp 18 triliun. Dana kelolaan itu sudah memperhitungkan pelunasan reksa dana yang jatuh tempo pada tahun 2010.

”Tahun 2010 banyak reksa dana yang jatuh tempo, terutama terproteksi. Dengan demikian, pertumbuhannya Rp 5 triliun bersih. Sebab, pada akhir 2009, dana kelolaan kami sudah sekitar Rp 14 triliun, sekarang Rp 19 triliun,” ujar Direktur Mandiri Investasi Andreas Muljadi Gunawidjaja di Singapura, Selasa (14/12).

Menurut Andreas, Singapura merupakan negara tujuan sosialisasi pertama di luar negeri karena merupakan tempat berkumpulnya para investor global. Langkah ini diharapkan dapat menarik investasi lebih besar lagi ke perusahaan tersebut.

”Pada tahun 2009 (dana kelolaan) kami tumbuh Rp 7 triliun (dibandingkan tahun 2008). Saat itu, pertumbuhannya tinggi karena jumlah reksa dana yang jatuh tempo tidak sebanyak tahun ini,” ujarnya.

Per Juli 2010, total dana kelolaan Mandiri Investasi masih Rp 16,9 triliun. Sebagian besar merupakan reksa dana terproteksi. Posisi itu membuat Mandiri Investasi sebagai manajemen investasi nomor tiga di Indonesia.

Saat itu manajemen Mandiri Investasi menargetkan total dana kelolaan per akhir tahun 2010 tumbuh 31,45 persen menjadi Rp 18 triliun dibandingkan Rp 13,69 triliun dana kelolaan Desember 2009. Untuk mendorong jumlah dana kelolaan, Mandiri Investasi menerbitkan 16 produk reksa dana pada semester I-2010, dan akan menambah delapan produk lainnya hingga akhir tahun ini.

Mandiri Investasi merupakan anak usaha dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, yang terbentuk Desember 2004. Modal awal yang disetor Rp 40 miliar. Dengan aset yang semakin besar, akhir 2004, Mandiri Investasi memisahkan diri dari PT Mandiri Sekuritas dan kemudian menjadi PT Mandiri Manajemen Investasi atau Mandiri Investasi.

Pemerintah Hentikan Subsidi Bagi Kendaraan Roda Empat

”Pemerintah akan bantu transportasi, seperti PT Kereta Api Indonesia dan Pelni, dengan dana subsidi. Mekanismenya sudah ada jadi langsung dilanjutkan saja,” kata Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Selasa (14/12), dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2010 Kementerian Perhubungan.

Dengan subsidi bagi moda transportasi ini, tarif angkutan umum pun diharapkan dapat ditekan serendah mungkin. Dengan demikian, beban rakyat yang menggunakan angkutan umum juga tidak berat.

Tahun depan, seiring dengan mulai dicabutnya konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi bagi kendaraan pribadi roda empat, pemerintah berencana memberi subsidi PT KAI sebesar Rp 773,61 miliar. Naik dari subsidi bagi PT KAI pada tahun 2009 sebesar Rp 535 miliar.

Sementara itu, PT Pelni akan mendapat subsidi Rp 900,84 miliar naik dari sebelumnya Rp 600 miliar. Subsidi tersebut akan digunakan untuk membiayai operasional kapal-kapal PT Pelni sehingga tarifnya tidak terlalu mahal.

Namun, ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Djoko Setijowarno mengatakan, subsidi yang diberikan pemerintah untuk transportasi tak akan pernah mencukupi karena pemerintah tidak memperbaiki terlebih dahulu transportasi itu. Padahal, sudah berpuluh-puluh tahun, transportasi di Indonesia ditelantarkan.

Dalam Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007, misalnya, sudah diamanatkan sebenarnya bahwa pemerintah harus membantu dulu perkeretaapian.

”Istilahnya, neracanya dinetralkan dulu, tetapi itu tak dilakukan. Akibatnya, kondisi kereta api tetap buruk, hampir setengahnya berusia amat tua. Tarif boleh murah, tetapi pelayanan juga tidak optimal,” ujar Djoko.

Angkutan barang?

Djoko menambahkan, pemberian subsidi transportasi itu juga lebih condong kepada angkutan penumpang. Padahal, yang juga harus disubsidi mestinya adalah angkutan barang sebab tarif angkutan itu yang berpengaruh pada melonjak atau tidaknya harga barang.

Ketika ditanya wartawan soal perubahan pelat kendaraan barang dari hitam ke kuning, misalnya, Menteri Perhubungan belum mampu memberi jawaban tegas. Ia mengatakan, pemerintah baru akan mengkajinya.

Menanggapi hal tersebut, Djoko menegaskan, pemerintah semestinya lebih siap sebelum mengambil opsi pencabutan subsidi BBM.

Pemerintah dan DPR hari Selasa dini hari sepakat pengaturan tidak mengonsumsi BBM subsidi untuk kendaraan pribadi roda empat dijadwalkan pada akhir Maret 2011 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang (Jabodetabek). Sebelumnya pengaturan tidak mengonsumsi dijadwalkan mulai 1 Januari 2011.

Djoko mengatakan, untuk pencabutan subsidi BBM ini seharusnya dikaji dengan matang. Sebab pengguna BBM bersubsidi 53 persennya adalah kendaraan pribadi, hanya 3 persen angkutan umum. Sisanya, 4 persen, dikonsumsi angkutan barang dan 40 persen oleh sepeda motor.

”Persentasenya jauh sekali. Ada perhitungan bahwa tiap kenaikan 10 persen, harga BBM ikut andil meningkatkan inflasi sebesar 0,75 persen,” katanya

Sunday, December 12, 2010

Bank Wajib Memberikan Perlakuan Khusus Untuk Nasabah Di Daerah Bencana

Bank dapat memberikan perlakuan khusus dalam penetapan kualitas terhadap kredit bank dengan jumlah tertentu. Bank juga dapat merestrukturisasi kredit pada daerah yang terkena dampak bencana alam baru-baru ini.

Langkah untuk memulihkan kinerja perbankan dan kondisi perekonomian di wilayah yang terkena dampak bencana letusan Gunung Merapi, banjir di Wasior, dan tsunami di Mentawai itu dituangkan dalam Keputusan Gubernur Bank Indonesia yang ditandatangani pada 8 Desember 2010. Keputusan itu untuk melaksanakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.

Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah, Minggu (12/12), menyebutkan, aturan berlaku bagi bank umum dan bank perkreditan rakyat, baik konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Syaratnya, kredit itu disalurkan kepada debitor dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam.

Syarat lain, kredit telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di daerah-daerah tertentu, serta direstrukturisasi setelah bencana alam terjadi.

Ada tiga hal yang dapat dilakukan perbankan. Pertama, melakukan restrukturisasi kredit yang terkendala dampak bencana tetapi masih memiliki prospek baik, dan kredit hasil restrukturisasi ditetapkan dengan kolektibilitas lancar. Kedua, menaikkan batas penilaian kualitas aktiva produktif menggunakan pilar ketepatan pembayaran, yang secara normal untuk kredit Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar. Ketiga, memberikan tambahan fasilitas kredit baru apabila diperlukan kepada debitor yang terkena dampak bencana.

Perbankan siap

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Tedy Alamsyah mengatakan, BPR di DIY akan menerapkan aturan BI yang berlaku surut per 26 Oktober 2010 itu untuk nasabah yang punya potensi dan pembayaran kreditnya sebelum bencana lancar. Namun, katanya, hal itu tidak berlaku bagi nasabah yang sebelum bencana pembayarannya tidak lancar.

Menurut catatan Tedy, kredit yang dikucurkan kepada nasabah di wilayah yang terkena dampak letusan Gunung Merapi, baik langsung maupun tidak langsung, sekitar Rp 90 miliar.

”Kami harus memilah, yang kena dampak langsung dan tidak langsung. Sayangnya, aturan ini hanya untuk yang kena dampak langsung, padahal yang kena dampak tidak langsung cukup besar,” katanya.

Data BI, total kredit perbankan kepada debitor yang terkena dampak banjir di Wasior sebesar Rp 23,3 miliar dan tsunami di Mentawai Rp 1,127 miliar. Untuk bencana Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, nilainya Rp 106,44 miliar, serta di Kabupaten Magelang, Klaten, Boyolali, dan Kota Magelang sebesar Rp 184,95 miliar. Seluruhnya kredit di bawah Rp 5 miliar

Kredit Usaha Rakyat Telah Kucurkan 85 Persen

Sebanyak 13 bank pembangunan daerah telah merealisasikan perjanjian kredit usaha rakyat sebesar Rp 1, 703 triliun per 30 November 2010. Itu berarti, 85,16 persen dari target KUR yang dikucurkan pemerintah melalui BPD, yakni Rp 2 triliun.

Data Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) menyebutkan, meski perjanjian kredit usaha rakyat (KUR) sudah menyepakati Rp 1, 703 triliun, tetapi belum semua kredit itu mengucur ke nasabah KUR. Outstanding KUR per 30 November mencapai Rp 1, 573 triliun.

Direktur Utama PT Bank Papua Eddy R Sinulingga menyebutkan, KUR dikucurkan secara bertahap kepada nasabah usaha rakyat. ”Jadi, outstanding kreditnya bertahap akan menyamai jumlah kredit yang sudah ditandatangani perjanjiannya,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pemerintah melalui PT Bank Papua akan mengucurkan KUR Rp 35 miliar. Hingga 30 November, PT Bank Papua sudah menyepakati KUR sebesar Rp 31,746 miliar. Sebesar Rp 27, 958 miliar di antaranya sudah dikucurkan kepada 482 debitor. Rata-rata, tiap debitor menerima kredit Rp 65,863 juta.

Sepanjang 11 bulan pada 2010, 13 BPD total telah menyalurkan KUR kepada 20.578 debitor. Kredit yang diterima tiap debitor rata-rata Rp 82,768 juta.

Ketua Umum Asbanda Winny Erwindia menyebutkan, Asbanda berupaya agar jumlah bank pembangunan daerah (BPD) yang dipercaya mengucurkan KUR tahun 2011 bertambah banyak. ”Sekarang 13 dari 26 BPD anggota Asbanda. Tahun depan ditambah setengahnya lagi,” kata Winny.

Winny mengakui, ada BPD yang belum optimal memanfaatkan potensi nasabah KUR di wilayahnya. BPD DKI, misalnya, belum menggarap pedagang di wilayah kerja PD Pasar Jaya.

Saat pemerintah menyepakati pengucuran KUR melalui BPD, kata Winny, telah ditandatangani perjanjian dengan PD Pasar Jaya. ”Tetapi, belum dimanfaatkan maksimal sehingga KUR belum terserap banyak,” kata Winny.

Target KUR untuk Bank DKI Rp 240 miliar. Namun, sampai 30 November 2010, kredit yang disepakati dengan debitor baru Rp 33, 591 miliar, atau 14 persen dari target. Kredit itu disalurkan untuk 360 debitor.

Kredit meningkat

Data Bank Indonesia menyebutkan, menjelang akhir tahun, penyaluran kredit perbankan meningkat. Pekan pertama bulan Desember 2010, kredit naik Rp 14,29 triliun, terdiri dari kredit rupiah sebesar Rp 10,26 triliun dan kredit valuta asing sebesar Rp 4,03 triliun.

Dengan demikian, sejak awal 2010 kredit meningkat Rp 263,67 triliun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, kredit tumbuh Rp 307 triliun.

BI menyebutkan, kenaikan kredit rupiah terjadi pada kelompok bank swasta Rp 8,98 triliun dan persero Rp 2,66 triliun. Untuk kredit valas, kenaikan tertinggi tercatat pada kelompok bank persero, Rp 1,93 triliun.

Kelompok bank swasta merupakan penyalur kredit terbesar dengan pangsa 43,49 persen dari total kredit. Porsi berikutnya oleh kelompok bank persero sekitar 36,02 persen dan bank campuran sekitar 5,42 persen.

Masyarakat Lebih Suka Di Subsidi Uang Muka Rumah

Program subsidi perumahan berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan perlu dibenahi. Alasannya, konsumen cenderung memilih subsidi dengan pola lama, berupa subsidi uang muka.

Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Iqbal Latanro, akhir pekan lalu di Jakarta, menyatakan, ia akan mengirim surat kepada Kementerian Perumahan Rakyat terkait hambatan penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).

”Kami mengusulkan agar FLPP dilanjutkan, dengan beberapa pembenahan,” ujar Iqbal.

FLPP, yang berupa subsidi bunga, digulirkan sejak Oktober 2010, dengan anggaran Rp 2,6 triliun, disalurkan lewat perbankan. Baru dua bank yang berkomitmen menjalankan FLPP, yakni BTN dan Bank Negara Indonesia (BNI). Namun, BNI belum memulai penyaluran FLPP.

Penyaluran FLPP melalui BTN tahun ini ditargetkan Rp 1,6 triliun. Periode Oktober-November 2010, BTN menyalurkan Rp 534 miliar. Iqbal memperkirakan, penyaluran FLPP hingga akhir tahun sekitar Rp 1 triliun.

Menurut Iqbal, kendala penyaluran FLPP antara lain karena pengembang masih menjual rumah bersubsidi dengan skim subsidi pola lama. ”Konsumen juga enggan mengurus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan, syarat FLPP,” kata dia.

FLPP mensyaratkan maksimal gaji pokok konsumen

Rp 4,5 juta per bulan. Subsidi berupa suku bunga kredit tetap, 8,15-9,95 persen, dalam tenor pinjaman 15 tahun. Syarat batas penghasilan, kata Iqbal, membuat skim FLPP lebih dinikmati oleh pegawai negeri. Padahal, penghasilan rutin bulanan mereka relatif tinggi.

”Pekerja atau buruh industri cenderung pilih pola lama subsidi. Persyaratannya dinilai lebih ringan, dan subsidi berupa uang muka rumah,” ujar dia.

Oleh karena itu, saran Iqbal,

kriteria batas penghasilan dikembalikan seperti pola lama, yakni berdasarkan penghasilan rutin bulanan. Syarat NPWP dan SPT hendaknya juga dievaluasi.

Menurut Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, skim FLPP meringankan beban konsumen karena suku bunga kredit tetap selama 15 tahun. ”Persyaratan NPWP dan SPT diperlukan untuk menjaga penyaluran FLPP tepat sasaran,” kata dia

Thursday, December 9, 2010

Izin Jual Gula Rafinasi Rugikan Petani

encana Kementerian Perdagangan memperbolehkan gula rafinasi dijual ke pasar secara terbatas mengundang reaksi keras dari petani tebu. Jika direalisasikan, kebijakan itu akan menghancurkan industri gula nasional berbasis tebu dan akan merugikan petani tebu.

Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Wilayah Jawa Barat Anwar Asmali, Kamis (9/12), tidak ada satu pun institusi yang bisa mengontrol peredaran gula rafinasi di pasar. ”Siapa yang bisa menjamin gula rafinasi tidak bocor ke pasar saat musim giling tebu?” katanya.

Perilaku pedagang, lanjut Asmali, selalu mencari keuntungan sebesar-besarnya. Kalau rafinasi diizinkan masuk pasar, dipastikan akan terjadi ”banjir gula”. ”Dilarang saja bocor, apalagi dibolehkan,” katanya.

Ketua Umum APTRI Arum Sabil menyatakan, rencana penjualan gula rafinasi secara bebas di pasaran pertanda kebangkrutan petani tebu dan industri gula dalam negeri sudah di depan mata. ”Kami menyerukan kepada petani tebu dan karyawan pabrik gula untuk melawan,” katanya.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat APTRI Abdul Wachid menyatakan, petani tebu sangat resah dan menolak rencana pemerintah itu. Di lapangan, akan terjadi persaingan yang tidak sehat.

”Rencana ini hanya wujud sikap pemerintah yang frustrasi karena pemerintah tak mampu mencapai swasembada gula tahun 2014 nanti,” katanya.

Kalau rencana itu dijalankan, dalam jangka panjang Indonesia bakal mengalami ketergantungan yang semakin dalam terhadap gula impor.

Dalam rapat kerja dengan Komisi VI, Rabu lalu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan akan merevisi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula.

Salah satu poin revisi, Kemperdag akan mengizinkan gula rafinasi dijual ke pasar secara terbatas. Hal itu dilakukan dalam rangka menjaga stok gula di dalam negeri (Kompas, 8/12).

Monopoli baru

Dalam rapat kerja itu, Kelompok Kerja Swasembada Gula Komisi VI DPR merekomendasikan kepada pemerintah agar mengembalikan fungsi Perum Bulog sebagai penjaga stabilisasi harga gula. Pelaksanaan impor gula, baik gula mentah, gula kristal putih, maupun gula rafinasi, melalui satu lembaga, yakni Perum Bulog.

Menanggapi hal itu, Forum Industri Pengguna Gula (FIPG) secara tegas menolak. Ketua FIPG Franky Sibarani mengatakan, industri makanan dan minuman serta konsumen akan menjadi korban atas kebijakan ini.

Alasannya, keterlibatan Bulog akan menimbulkan monopoli baru. Monopoli pengadaan akan mengakibatkan harga gula semakin tidak transparan.

Franky Sibarani mengatakan, ekonomi biaya tinggi akan terjadi jika Bulog menjadi importir tunggal gula. Ini akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Kalau masalahnya data stok dan neraca gula tak sama, serta masalah pengawasan dalam peredaran gula rafinasi di pasar, seharusnya cukup dengan penegakan hukum yang tegas.

Bisnis Retail Tumbuh 13-15 Persen Tahun 2011

Kinerja bisnis ritel di Indonesia bakal semakin cerah pada tahun 2011. Pertumbuhan ritel diperkirakan 13-15 persen, jauh lebih baik dibandingkan pertumbuhan tahun 2010 yang diperkirakan hanya 12 persen. Pasar Indonesia sangat potensial sejalan adanya pertumbuhan ekonomi, tetapi cara pemasarannya haruslah diubah dalam menggarap pasar.

Hal itu dikemukakan oleh Direktur Retailer Services Nielsen Indonesia Yongky Susilo dalam jumpa pers seusai Nielsen Marketing dan Media Presentation 2010 yang bertajuk ”Creating Demand Driven Strategies” di Jakarta, Kamis (9/12).

Yongky mengatakan, setelah tahun 2009, pertumbuhan ritel mengalami kontraksi akibat dampak krisis ekonomi global, pertumbuhan ritel sampai Oktober 2010 saja sudah 12 persen. Mudah-mudahan hingga akhir tahun 2010 pertumbuhan bisa dua digit, yakni 12 persen.

Hasil survei Nielsen menunjukkan, nilai transaksi pedagang ritel tahun 2009 mencapai Rp 108,069 triliun. Sementara per Oktober 2010, transaksi ritel sudah mencapai Rp 120,192 triliun.

Menurut Yongky, pertumbuhan ritel tahun 2011 bisa lebih tinggi karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada di atas 6 persen. Alasan lainnya, ada pemain ritel Indonesia yang tetap berekspansi. Merekalah salah satu pilar kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ditambah lagi, pendapatan per kapita Indonesia mencapai 3.000 dollar AS. Ini gelombang baru karena permintaan konsumsi akan semakin meningkat. Teknik penggarapan pasar menjadi faktor penentu karena cara permintaan konsumen sudah berubah dari sekadar memperoleh informasi dari media cetak, kini telah bercampur dengan informasi yang diperoleh melalui media online atau internet.

Survei Nielsen menunjukkan, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap berbelanja adalah hiburan. Karena itu, memahami teknologi akan turut mendorong revolusi konsumen dengan senantiasa membangun visi di sekitar kebutuhan konsumen yang berubah-ubah.

Teguh Yunanto, Direktur Eksekutif Retail Measurement Services Nielsen Indonesia, mengatakan, produsen kini harus berani tampil beda. Seiring dengan tantangan ekonomi, konsumen pun bereaksi atas inisiatif dari pengecer dan manufaktur yang berdampak pada pertumbuhan belanja konsumen.

Tunda RUU Permukiman Karena Salah Sasaran

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perumahan dan Permukiman menjadi undang-undang sebaiknya ditunda. Alasannya, substansi RUU belum menyentuh upaya mengatasi pemenuhan kebutuhan rumah rakyat, selain tidak melibatkan semua pemangku kepentingan perumahan.

Saran menunda pengesahan RUU itu terungkap dalam diskusi Kajian RUU Perumahan dan Permukiman di Jakarta, Kamis (9/12), yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan.

RUU Perumahan dan Permukiman kini sedang dibahas di DPR. RUU ini merupakan revisi dari UU Perumahan dan Permukiman Nomor 4 Tahun 1992.

Menurut Jehansyah Siregar, peneliti Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB, Indonesia menghadapi ancaman kekurangan rumah yang semakin besar.

Setiap tahun kebutuhan rumah baru 700.000 unit, sedangkan pasokan rumah dari pengembang dan Perumnas maksimum 250.000 unit sehingga setiap tahun kekurangan rumah bertambah 450.000 unit.

Namun, RUU Perumahan dan Permukiman belum tegas mengatur moda penyediaan perumahan swadaya, perumahan sosial, dan perumahan umum, yang menopang penyediaan rumah rakyat. Pengembang tak akan sanggup memenuhi semua kebutuhan perumahan.

”RUU Perumahan dan Permukiman sebaiknya ditunda. Substansinya belum menyentuh upaya mengatasi persoalan perumahan,” ujar Jehansyah.

RUU Perumahan dan Permukiman, menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria, tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.

Substansi RUU Perumahan dan Permukiman, kata pengamat dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Andrinof Chaniago, belum memiliki kejelasan peta rencana untuk mengatasi kekurangan rumah.

Ia menjelaskan, hanya 20 persen kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang terlayani dengan program rumah bersubsidi. Sekitar 80 persen program itu dinikmati masyarakat menengah ke atas.

Kini, dengan pola subsidi berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), masyarakat menengah bawah kian sulit memiliki rumah. Hal ini disebabkan harga rumah bisa naik hingga mencapai Rp 90 juta per unit.

”RUU Perumahan dan Permukiman harus dievaluasi dengan memperkuat peran lembaga penyedia perumahan rakyat,” ujar Andrinof.

Tabungan perumahan

Dalam usulan yang disampaikan kepada Wakil Presiden Boediono, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) meminta pemerintah mempertimbangkan tabungan wajib perumahan diberlakukan lebih luas. Selama ini tabungan perumahan hanya diwajibkan bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri.

”Keinginan kita untuk mengejar kekurangan backlog itu dengan meregulasi tabungan perumahan bagi masyarakat Indonesia,” kata Ketua DPP REI Setyo Maharso.

Ia menjelaskan, jika tabungan wajib perumahan digulirkan bagi seluruh warga negara Indonesia yang berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, hal itu akan mempercepat pengumpulan dana sehingga FLPP dapat lebih murah.

Dari perhitungan DPP REI, bila diberlakukan tabungan wajib perumahan, akan terhimpun dana Rp 17 triliun per tahun.

DPP REI juga mengharapkan kepemilikan properti bagi orang asing jangka waktunya minimal 70 tahun dan harga terendah yang dapat dibeli satu miliar rupiah.

Bumi Resources Incar Modal Rp 2,95 Triliun Dari Pasar Modal

Salah satu perusahaan kelompok usaha Bakrie, PT Bumi Resources Minerals Tbk, mengincar Rp 2,95 triliun dalam pencatatan saham perdana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (9/12). Dana tersebut untuk membiayai sejumlah proyek eksplorasi yang memasuki tahap konstruksi.

Demikian disampaikan Direktur Keuangan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) Yuanita Rohali kepada pers. Turut hadir Kepala Hubungan Investor BRMS Herwin W Hidayat dan eksekutif BRMS.

Proyek itu antara lain PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yang mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi seng dan timah hitam dari Kementerian Kehutanan, Oktober 2010.

Perseroan juga semakin optimistis produksi akan terus meningkat karena Kementerian Kehutanan telah memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan eksplorasi tembaga dan emas oleh PT Gorontalo Minerals di Kabupaten Bone Belango, Gorontalo, Desember ini.

”Sebanyak 211 juta dollar AS dipakai untuk proyek Dairi untuk tiga tahun ke depan dengan belanja modal internal sudah 128 juta dollar AS, sisanya didanai pihak ketiga. Untuk (proyek) lain feasibility study (studi kelayakan) dibiayai sendiri dengan kebutuhan dana tiga tahun ke depan 105 juta dollar AS untuk Gorontalo dan 80 juta dollar AS untuk Palu,” ujar Yuanita.

Gorontalo menjadi aset inti BRMS dengan cadangan tambang 130 juta ton mineral. Izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan akan memungkinkan GM mulai mengeksplorasi emas dan tembaga di lokasi Cabang Kiri dan Sungai Mak, Gorontalo.

Studi kelayakan di Dairi diharapkan bisa selesai dalam 24 bulan dan di Gorontalo dalam 48 bulan. Selanjutnya, perseroan optimistis produksi dapat segera dimulai dan berkontribusi pada pendapatan BRMS.

Selama ini, penerimaan perseroan berasal dari Bumi Japan di Jepang dan saham di Newmont Nusa Tenggara.

Saat perdagangan saham dimulai, harga saham BRMS menyentuh level terendah Rp 750 dan tertinggi Rp 820 per lembar. Saham BRMS naik 19,6 persen dari harga saham perdana Rp 645 per lembar.

Indeks positif

Menurut Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) Edi Sugito, BRMS menjadi emiten ke-21 BEI tahun 2010, dan masuk saat pasar sedang berkembang positif. BRMS masuk melengkapi tujuh perusahaan kelompok Bakrie yang sudah lebih dulu tercatat di BEI.

BRMS memiliki kapitalisasi pasar Rp 10 triliun dan diharapkan pencatatannya akan meramaikan bursa saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini mencapai 3.769 poin atau naik 48,8 persen year to date.

”Ini tertinggi di kawasan dan saya kira di dunia. Tidak hanya didukung dengan derasnya arus modal asing, tetapi juga peranan emiten lokal,” ujar Edi.

Nestle Membangun Pabrik 100 Juta Dollar AS

PT Nestle Indonesia memutuskan membangun pabrik baru di Jawa Barat. Total investasinya mencapai 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 900 miliar.

Keputusan berinvestasi ini hanya berselang sepuluh bulan dari perluasan pabrik Nestle di Kejayan, Pasuruan, Jawa Timur.

Menurut Presiden Direktur Nestle Indonesia Arshad Chaudry, Kamis (9/12) di Jakarta, pembangunan pabrik baru itu mulai dilakukan semester I-2011 dan dijadwalkan selesai seluruhnya pada tahun 2015

Investasi ini juga merupakan bagian dari strategi jangka panjang Nestle untuk meningkatkan penggunaan bahan baku lokal sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di Tanah Air.

Pada tahap pertama, pabrik akan dibangun pada lahan seluas 10-15 hektar. Di pabrik baru itu, akan diproduksi minuman cokelat malt Milo dan bubur bayi.

Sedangkan tahap kedua merupakan perluasan fasilitas produksi untuk kategori produk- produk lainnya. Belum ada kepastian jenis produk, tetapi dijadwalkan selesai tahun 2013- 2015.

Menurut dia, pabrik itu akan menjadi pabrik berteknologi canggih dan ramah lingkungan sekaligus memenuhi standar persyaratan halal.

Nestle tetap akan menggarap pasar produk makanan dan minuman murah melalui model bisnis popularity positioned product yang fokus memenuhi kebutuhan khusus konsumen di negara berkembang seperti Indonesia.

Arshad berjanji akan mengutamakan penyerapan bahan baku dalam negeri, seperti bubuk cokelat, gula, dan beras merah. ”Pabrik baru ini dibangun untuk memenuhi pasar dalam negeri dan menggunakan bahan baku secara maksimal dari dalam negeri juga,” katanya.

Sementara itu, Nestle’s Executive Vice President Frits van Dijk mengatakan, pihaknya optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Populasi dan daya beli penduduk Indonesia terus meningkat sehingga permintaan terhadap produk makanan dan minuman juga naik

Pajak BBM untuk Kembangkan Energi Terbarukan

Pajak atas penggunaan bahan bakar fosil adalah salah satu cara terbaik untuk menghimpun dana bagi pengembangan energi terbarukan. Pertamax dan pertamax plus paling memungkinkan untuk dikenai pajak tambahan.

”Dengan memajaki bahan bakar fosil, akan ada tambahan dana untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Ini perlu disikapi serius karena kecenderungan harga bahan bakar fosil akan terus meningkat,” kata Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, di Jakarta, Kamis (9/12), dalam Peluncuran Studi Energi oleh Bank Dunia dengan judul, ”Winds of Change, East Asia’s Sustainble Energy Future”.

Pemerintah, lanjut Herman, tengah memperhitungkan untuk menekan konsumsi bahan bakar fosil. Pertama, mengalihkan anggaran subsidi dari bahan bakar minyak (BBM) ke subsidi energi terbarukan. Kedua, menerapkan pajak bahan bakar fosil.

Dalam laporan studi yang disusun Spesialis Energi Senior Bank Dunia, Xiaodong Wang, disebutkan, China telah menerapkan pajak atas penggunaan batu bara sejak tahun 2007. Besaran pajaknya 5-20 renminbi per ton. Tahun 2008, penerimaan pajak mencapai 14,5 miliar renminbi atau sekitar 2 miliar dollar AS.

Eropa juga telah menerapkan pajak bahan bakar bagi kendaraan truk, atau mobil kelas SUV, yang mengonsumsi bahan bakar lebih banyak. Ini adalah salah satu cara untuk menekan permintaan energi dari sektor transportasi.

Selain mengenakan pajak, menurut Wang, cara lain adalah memberikan insentif kepada perusahaan yang sukarela menekan emisi karbon dioksida. Insentif itu bisa berupa insentif pajak, yang terkait dengan kebijakan ramah lingkungan.

Menurut Wang, insentif dibutuhkan karena ongkos produksi suatu produk yang dihasilkan oleh alat produksi berbasis energi fosil jauh lebih murah dibandingkan produksi yang berbasiskan energi terbarukan.

Dengan insentif itu, diharapkan target pemerintah mendorong komposisi penggunaan energi terbarukan sebesar 17 persen dari total energi pada tahun 2025 akan tercapai.

”Pada saat yang sama, pengalihan subsidi bahan bakar minyak perlu didorong lebih cepat ke green subsidies (anggaran subsidi yang berbasiskan program energi terbarukan),” kata Wang.

Tahun 2010, Indonesia mengalokasikan anggaran subsidi BBM Rp 88,9 triliun. Apabila ditambah dengan subsidi listrik, total anggaran untuk subsidi energi mencapai Rp 140 triliun.

Setiap liter BBM di Indonesia kini sudah dibebani Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen. Pajak ini sudah termasuk dalam harga jual.

Presiden Direktur PT EMI Gannet Pontjowinoto mengatakan, pengurangan subsidi BBM tidak mudah dilakukan di Indonesia. Hal ini karena subsidi BBM tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut politik dan sosial.

”Padahal, program efisiensi energi sangat mudah dilakukan dan cepat serta sangat dekat dengan masing-masing individu. Sebagai contoh, ruang berpendingan udara padahal masih pagi, atau ruang yang menggunakan kabel tebal, padahal ini mengeluarkan panas. Kalau hal-hal kecil itu saja bisa dihapuskan, efisiensi bisa sangat terjadi,” katanya

Komitmen Ekspor Pasca-erupsi Merapi Dari Pengrajin Tembaga

Erupsi Gunung Merapi sempat membuat Sumanto pusing tujuh keliling. Pesanan wadah air mancur tembaga dari tiga pembeli Australia hampir molor. Penyebabnya, selain bengkel produksinya terpapar abu vulkanik lumayan tebal, mayoritas perajin di perusahaannya juga mengungsi.

Selama hampir dua pekan sejak erupsi dahsyat Merapi pada 3 November 2010, bengkel kerajinan tembaga PT Bintang Pamungkas milik Sumanto (40) yang berada di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, lumpuh.

Daerah itu hanya 8-9 kilometer dari puncak Gunung Merapi, atau berada dalam jarak berbahaya. Pasalnya, pada awal November, pemerintah sempat mengumumkan jarak bahaya erupsi Merapi mencapai radius 20 kilometer.

”Saya benar-benar bingung karena pembeli luar negeri pastinya tidak mau memahami erupsi Gunung Merapi,” tutur Sumanto yang ditemui di bengkel tembaga Bintang Pamungkas, awal Desember.

Kendati demikian, Sumanto juga sadar, memaksakan kehendak untuk meneruskan pekerjaan pun bukan pilihan bijak. Selain bisa mengancam jiwa, abu vulkanik juga membuat penyelesaian akhir kerajinan tembaga tidak maksimal. Tembaga bakal terkesan kusam sehingga bisa ditolak pembeli asing yang ketat soal kualitas produk. Ia akhirnya hanya bisa menanti dengan cemas.

Barulah pada akhir November, bengkel miliknya kembali riuh seiring penurunan aktivitas vulkanik Merapi. Pemerintah menurunkan daerah rawan menjadi lima kilometer untuk kawasan Boyolali.

Sumanto langsung memanggil perajin-perajin itu untuk mengejar keterlambatan pengerjaan. Pesanan menumpuk, 60 wadah air mancur serta 25 hiasan dinding dari tembaga.

Kendati nilai pesanan itu bagi Sumanto tidak terlalu besar, sekitar Rp 150 juta, ia tak berani tidak tepat waktu. Pasalnya, tiga pembeli Australia itu merupakan jaringannya menembus pasar ekspor.

Selama ini mereka memercayai Sumanto selain karena inovasi desain juga masalah ketepatan waktu. Maka itu, ia akhirnya memadatkan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan tiga pekan menjadi hanya sepekan. Ia menambah tenaga kerja empat orang sehingga total ada 44 perajin.

Selain itu, dia juga memacu perajin itu untuk lembur hingga tengah malam. Ia mengeluarkan uang lebih Rp 7.000 per jam untuk kelebihan waktu bekerja.

Sumanto memberi upah perajin di bangkelnya Rp 30.000 untuk pekerjaan dari pukul 08.00-16.00. Ia terpaksa memperkecil margin keuntungan karena ada pengeluaran ekstra, sedangkan harga sesuai kontrak lama.

”Yang terpenting, saya bisa selesai dan mengirimkannya tepat waktu,” tuturnya.

Bagi Sumanto, kepercayaan, modal inovasi produk, dan keuletan menjadi kunci sukses berusaha di bidang kerajinan tembaga di Tumang kendati persaingan terbilang ketat.

Maklum, di kawasan itu terdapat 303 unit kerajinan tembaga dengan 75 unit di antaranya skala menengah besar. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Boyolali, mereka menghasilkan kerajinan dengan nilai Rp 22,27 miliar per tahun.

Sumanto merasa perlu memenuhi komitmen ekspor karena usahanya ini dimulai dari nol. Anak seorang petani dengan lahan terbatas. Sejak masih kelas I SMA akhir tahun 1980, ia kerap mencari tambahan uang saku dengan bekerja menawarkan produk tembaga Tumang. Lulus SMA, Sumanto selama dua tahun menggarap lahan ayahnya yang luasnya tak sampai satu hektar. Tanpa hasil yang cukup, ia bekerja di KUD Cepogo dan bertugas mengurusi kredit usaha kerajinan.

Dari situ, dia perlahan mempelajari seluk-beluk kerajinan tembaga Tumang, mulai dari harga bahan baku, upah buruh, potensi, hingga harga jual. Setelah cukup informasi, dua tahun kemudian dia memberanikan diri memulai usaha tembaga kecil-kecilan. Dia merekrut temannya yang memiliki keahlian mengolah tembaga. Modal awal Rp 300.000 didapatnya dari meminjam saudara. Uang itu dibelikan peralatan mengelas.

Omzet usahanya ketika itu Rp 150.000-Rp 300.000 per bulan. Perlahan-lahan, usahanya membaik seiring dengan bertambahnya pesanan kerajinan tembaga, seperti hiasan dinding atau lampu hias.

Namun, saat usahanya mulai baik setahun kemudian, pada tahun 1996 ia merugi hingga Rp 7 juta lantaran dua pembeli bangkrut dan tak bisa membayar barang pesanan. Di saat itu, dia terpaksa berutang ke koperasi Rp 2,5 juta untuk tetap memutar roda produksi usahanya.

”Beberapa bulan kemudian ada kenalan yang menawarkan interior hotel di Solo. Hasilnya membaik, tetapi lebih dari itu ada pengusaha Belanda yang melihat jadi tertarik dan memesan untuk interior salah satu bank asing di Solo,” tuturnya.

Nilai kontrak saat itu Rp 45 juta dengan keuntungan dua per tiga dari nilai tersebut. Dari kontrak kerja itu, dia bisa melunasi utang dan meningkatkan volume usaha.

Usahanya terus menanjak setelah mendapat pesanan untuk ekspor pertama kali ke Amerika Serikat tahun 2001. Pengiriman tiga kontainer produk berjalan lancar dan dia mendapat keuntungan Rp 200 juta. Namun, dua kontainer belakangan tertahan di pelabuhan lantaran ditolak pembeli.

”Pembeli kecewa karena saya terlambat dua minggu dari jadwal. Akhirnya pembelian produk senilai Rp 400 juta dibatalkan. Saya perlu waktu dua tahun untuk menjual kerajinan itu secara eceran,” tutur Sumanto.

Namun, dari pengalaman buruk itu, dia mendapat pelajaran berharga, yakni sebaik-baiknya produk, tak berguna jika tak tepat waktu. Hal ini menjadi landasannya menjalin hubungan langgeng dengan pembeli Australia selama lima tahun terakhir dengan pesanan satu kontainer bernilai Rp 200 juta sebulan sekali. Ia sebisa mungkin menghindari keterlambatan pengiriman barang.

Bagi Sumanto, pasang surut usaha sesuatu yang sangat wajar sehingga harus disikapi dengan tenang dan jangan putus asa. Dia sudah membuktikan dengan jatuh bangun usaha selama belasan tahun itu.

”Jadi, kalau ada halangan seperti erupsi Merapi saya pusing, tetapi karena sudah sering pusing, jadi hilang pusingnya,” tuturnya bercanda.