Sunday, December 5, 2010

Pemerintah Menilai Harga Beras Di Pasar Kelewat Tinggi Saat Masa Panen Tiba

Pemerintah menilai harga beras di dalam negeri kelewat tinggi. Instruksi presiden tentang kebijakan perberasan tidak harus meningkatkan harga pembelian pemerintah untuk beras. Inpres tidak hanya memuat soal penetapan harga, tetapi juga lebih komprehensif.

Menurut Deputi Bidang Pertanian dan Kelautan Menteri Koordinator Perekonomian Diah Maulida, pekan lalu di Nusa Dua, Bali, inpres tentang kebijakan perberasan tidak harus berisi penetapan peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras.

”Mengingat harga beras di dalam negeri yang sudah lebih tinggi dari harga dunia,” katanya.

Ia menjelaskan, kebijakan pemerintah menaikkan HPP akan langsung mendorong kenaikan harga beras seperti selama ini. Kenaikan harga yang terus-menerus memberatkan konsumen.

”Yang pasti, inpres yang baru soal kebijakan perberasan dirancang komprehensif, tidak semata HPP, tetapi juga memuat persoalan dari hulu hingga hilir agar petani mendapat insentif. Inpres yang ada sekarang juga tidak hanya menyoal HPP,” ujarnya.

Catatan Kompas, pada 2005- 2009 pemerintah telah menetapkan lima inpres tentang kebijakan perberasan, yang di dalamnya berisi penetapan kenaikan HPP untuk gabah dan beras.

Dari data harga yang dihimpun pengamat perberasan Husein Sawit, pada Desember 2005 harga beras kualitas medium rata-rata Rp 3.831 per kg. Bulan yang sama 2009 harga mencapai Rp 6.213 per kg. Desember 2010, di pasar tradisional Jakarta harga menembus Rp 7.000 per kg.

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengakui, harga beras di Indonesia lebih tinggi daripada harga di pasar dunia.

Dijelaskan, beras yang diimpor Bulog dari Vietnam dengan kadar patahan 5 persen, harganya di bawah Rp 6.000 per kg sampai di Jakarta. Beras Indonesia dengan kualitas sama, harganya di atas Rp 7.000 per kg.

”Bahkan, harga beras impor dengan kualitas premium ketika masuk ke Indonesia harganya masih lebih rendah daripada harga beras kualitas medium saat ini,” kata Sutarto.

Karena itu, kata Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum, pemerintah harus berani membuat kebijakan perberasan nasional dengan setting yang lebih tegas dan mendasar.

”Kalau memang mau swasembada beras secara berkelanjutan, perlu tata harga dan tata niaga baru berbasis swasembada,” tutur Maksum.

Ia menegaskan, harga beras di pasar domestik yang normal, HPP ataupun harga eceran tertinggi beras harus ditetapkan berdasarkan kondisi internal dalam konteks swasembada.

Dengan demikian, konsekuensinya, penetapan harga beras dalam inpres bukan berdasarkan pada patokan harga dunia, tetapi berbasis pada harga domestik.

”Karena harga beras yang terlalu rendah juga disinsentif bagi petani,” ujar Maksum

No comments:

Post a Comment