Tuesday, December 7, 2010

Bank Indonesia Harus Didorong Untuk Stabilkan Harga Beras

Kebijakan perberasan yang baru harus bisa mendorong Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan kredit dengan bunga rendah bagi pembelian peralatan/teknologi pascapanen demi efisiensi produksi beras.

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung sekaligus Professorial Fellow di InterCafe Bustanul Arifin, Selasa (7/12) di Jakarta, mengungkapkan, selain mendorong BI mengeluarkan kebijakan kredit murah, inpres juga harus mampu mendesak Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Perum Bulog meningkatkan alokasi dana bagi peningkatan teknologi pascapanen, mulai dari penanganan panen, pascapanen, hingga pengolahan.

Tanpa itu, ujar Bustanul, inpres tentang kebijakan perberasan yang baru tidak banyak bermanfaat bagi petani.

”Dengan cara ini, inpres terkait perberasan bisa efektif,” katanya.

Bustanul juga mengusulkan perlunya pemerintah membuat dua inpres, yaitu inpres tentang stabilisasi harga dan inpres tentang peningkatan efisiensi produksi beras.

Inpres yang pertama memuat soal mekanisme stabilisasi harga, baik harga gabah pada tingkat produsen maupun harga beras pada tingkat konsumen. Dalam kaitan ini, pemerintah perlu menerapkan harga referensi yang bisa dijadikan acuan Bulog.

”Semangatnya pada tingkat produsen saat panen harga gabah atau beras harus dijaga jangan sampai lebih rendah daripada harga referensi, begitu pula saat musim paceklik harga beras jangan sampai melampaui harga referensi,” katanya.

Dalam hal ini, Bulog memainkan peran strategis. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan harga referensi multikualitas, setidaknya untuk empat kualitas beras. Harga referensi juga harus dibedakan antarpulau.

Adapun inpres soal peningkatan efisiensi produksi beras memuat kebijakan soal peningkatan produksi, termasuk adaptasi iklim; penurunan potensi kehilangan hasil, mulai saat panen, pascapanen, hingga pengolahan; serta pembiayaan murah bagi peningkatan teknologi pascapanen.

Pengamat perberasan Husein Sawit menyatakan, dampak perubahan iklim sangat serius bagi petani padi. Dengan iklim yang berubah secara ekstrem, petani padi banyak yang menderita gagal panen, penurunan produksi padi, serta penurunan kualitas gabah dan beras karena kesulitan mengeringkan padi.

Akibat penurunan produksi, pasokan ke pasar berkurang. Ketidakpastian pasokan juga memicu spekulasi harga. ”Karena itu, yang dibutuhkan petani adalah teknologi pascapanen dalam bentuk alat pengering gabah untuk mencegah penurunan kualitas dan mesin penggilingan padi modern untuk meminimalisasi penurunan tingkat kehilangan hasil,” katanya.

Subsidi benih dan pupuk tidak banyak membantu dalam kondisi iklim seperti ini. Saat ini musim tanam sudah berjalan dan panen raya padi mulai bulan Februari 2011. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika meramalkan hujan akan terus terjadi hingga April 2011.

”Ini berarti panen raya padi akan berlangsung saat hujan terus terjadi, tanpa alat pengering dipastikan kualitas padi jatuh,” katanya.

Mengacu pada data Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras, saat ini baru sekitar 30 persen dari total areal panen padi yang sudah dilayani unit penggilingan modern dengan sarana pengering, selebihnya pengeringan tradisional menggunakan terpal dan lantai jemur. Terlambat dua hari saja gabah dikeringkan, kualitas turun dan harga jatuh.

Tanpa memberi dukungan dalam bentuk alat pengering, nasib petani tidak akan tertolong. Seharusnya alokasi anggaran tahun 2011 masih bisa diubah, direlokasi untuk pengadaan alat pengering.

Husein pesimistis inpres soal perberasan baru bisa menyelesaikan masalah adaptasi iklim bila inpres tidak mengamanatkan perubahan alokasi anggaran kementerian bagi peningkatan teknologi pascapanen.

”Apalagi saat kebijakan penganggaran sudah final dan tidak merefleksikan semangat peningkatan teknologi pascapanen,” katanya.

No comments:

Post a Comment