Nantinya ada beberapa proses yang harus dilalui dan ternyata tidak sulit. Setelah semua proses tersebut selesai, patwal sudah siap mengawal perjalanan. “Kalau saya karena ada kenalan jadi bisa langsung hubungi oknum polisi itu. Tapi kalau tidak ada kenalan, misalnya sedang berada di luar kota ingin pakai jasa patwal, tinggal datang saja ke kantor polisi. Setelah semua urusannya selesai, kita siap dikawal,” kata sumber yang identitasnya dirahasiakan itu.
Tarif
Mengenai tarif, sumber itu mengatakan untuk pengawalan menggunakan mobil patroli, kisaran sampai Rp 2 jutaan. Sedangkan pengawalan menggunakan sepeda motor mulai dari Rp 750.000 hingga Rp 1 jutaan.
"Itu tergantung wilayahnya juga, tapi sebagaian besar tarif sewanya sebesar itu. Harga itu juga untuk sekali jalan, kalau pulang mau dikawal lagi berarti bayar dua kali,” ucapnya. Jika menggunakan jasa patwal ke luar kota, misalnya dari Jakarta ke Bandung, petugas tersebut tidak harus berkoordinasi secara khusus dengan petugas setempat. Sebab, selama dia menggunakan jasa patwal ke luar kota, petugas kepolisian setempat tidak mengganggu aktivitas rombongan yang dikawal atau pun sebaliknya.
“Jadi sepertinya mereka tahu sama tahu saja. Misalnya lintas dari Polda Metro ke Jawa Barat, semuanya biasa saja berjalan dengan lancar, mungkin ketika ketemu dengan polisi setempat, petugas yang mengawal kita hanya berkomunikasi secara internal dan tidak ada hambatan apa-apa,” katanya lagi. Sementara itu, Kabid Bin Gakkum Korlantas Polri Kombes Pol Indrajit membeberkan, masyarakat yang ingin menggunakan jasa patwal diminta untuk memberikan surat keterangan kegiatan yang ingin dikawal oleh polisi. Nantinya, pihak kepolisian akan mempertimbangkan hal tersebut.
“Jika dianggap penting maka polisi siap melakukan pengawalan. Tidak semua permintaan masyarakat yang ingin di patwal kita terima karena kita juga mempertimbangkan berbagai hal,” ucap Indrajit. Setelah masyarakat itu dikawal, lanjut Indrajit, tugas kepolisian adalah melindungi dan membawa orang tersebut dengan selamat sampai di tempat tujuan. “Kalau yang tidak penting dan tidak membuat kemacetan kita tidak akan terima permintaan pengawalan itu,” katanya.
Kemacetan adalah rutinitas yang sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat di kota besar seperti Jakarta. Kemacetan tidak bisa dihindari, terlebih pada jam sibuk, akibat terjadinya penumpukan kendaraan, dengan tujuan yang sama. Ironisnya, alih-alih menghadapi kemacetan, banyak masyarakat kelas atas yang mencari celah untuk menghadapi kemacetan, salah satunya dengan "menyewa" patwal (patroli dan pengawalan) dari kepolisian.
Anda yang setiap hari melewati ruas Tol Jagorawi atau tol dalam kota pasti bisa dengan mudah melihat mobil yang dikawal petugas. Tak hanya pejabat yang memiliki nomor polisi R1 sekian atau RFS, mobil mewah dengan nopol umum pun kerap mendapat pengawalan. Para pengguna jalan lain hanya bisa mengelus dada ketika bunyi sirene sudah mengintimidasi di belakang kendaraan. Terkadang para petugas patwal ini terlihat galak dan kerap melakukan manuver yang tidak perlu untuk meminta jalan.
"Goblok, kamu tidak dengar di belakang ada rombongan, kenapa tidak kasih jalan? Mau saya tangkap kamu!" maki oknum petugas kepolisian kepada seorang sopir mobil boks di ruas tol dalam kota yang tertangkap mata, beberapa waktu lalu.
Bila kita tilik kembali pasal yang mengatur patwal, dalam UU No 22 Tahun 2009 Pasal 134 tertulis sebagai berikut, "Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut: a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; b. ambulans yang mengangkut orang sakit; c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; f. iring-iringan pengantar jenazah; dan g. konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia."
Poin G kami beri penebalan karena tertulis sumir yang bisa menjadi celah untuk masyarakat atau oknum untuk menggunakan jasa patwal. Kata-kata "menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia" ini yang bisa disalahgunakan kepentingannya sehingga masyarakat yang mampu membayar polisi bisa mudah memperoleh jasa pengawalan.
Menurut Edo Rusyanto, Ketua Badan Pengawas RSA, dalam kondisi seperti ini, pihak kepolisian harus mengetahui makna pengawalan yang penting dan genting. Kita ambil contoh touring atau konvoi, atau juga pengawalan mobil mewah non-pejabat. Ini bukan sesuatu yang sifatnya genting. Beda dengan di jalan yang sama ada ambulans membawa orang sakit atau pemadam kebakaran yang sedang bertugas.
“Mana yang akan dilakukan oleh polisi? Jelas harus mendahulukan pemadam kebakaran dan ambulans. Itu artinya berada dalam kondisi genting. Kalau hanya konvoi, pejabat atau orang kaya lewat itu sifatnya tidak genting,” ucap Edo saat berbincang beberapa waktu lalu. Pada intinya adalah bagaimana caranya untuk selalu berbagi ruas jalan dengan sesama masyarakat. Para pejabat kepolisian, menurut Edo, juga harus bisa menanamkan pola penting dan genting, jangan sampai petugas di lapangan mengabaikan sifat genting dan penting.
“Menurut Anda, touring mobil atau motor itu genting? Dibilang penting juga tidak, karena apa pentingnya? Tapi kok bisa sampai seperti itu, kasihan orang lain yang benar-benar sedang membutuhkan jalan itu,” katanya.
Mari kita ambil contoh kejadian yang ekstrem, karena ada konvoi mobil atau sepeda motor, petugas sampai harus menutup jalan selama dua menit, padahal di jalan tersebut ada seseorang yang harus cepat tiba di apotek membeli obat untuk orangtuanya yang sakit. Tetapi, karena ada rombongan mobil dan motor tadi, dia telat membeli obat dan orangtuanya tidak tertolong.
“Kita harus ingat, di atas hukum ada yang namanya etika. Rombongan konvoi yang dikawal itu tidak melanggar hukum, tapi mereka merusak rasa keadilan publik dan mengganggu etika. Patwal menempatkan diri dengan tidak melanggar hukum, tapi melanggar etika,” ujar Edo.
Poin G kami beri penebalan karena tertulis sumir yang bisa menjadi celah untuk masyarakat atau oknum untuk menggunakan jasa patwal. Kata-kata "menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia" ini yang bisa disalahgunakan kepentingannya sehingga masyarakat yang mampu membayar polisi bisa mudah memperoleh jasa pengawalan.
Menurut Edo Rusyanto, Ketua Badan Pengawas RSA, dalam kondisi seperti ini, pihak kepolisian harus mengetahui makna pengawalan yang penting dan genting. Kita ambil contoh touring atau konvoi, atau juga pengawalan mobil mewah non-pejabat. Ini bukan sesuatu yang sifatnya genting. Beda dengan di jalan yang sama ada ambulans membawa orang sakit atau pemadam kebakaran yang sedang bertugas.
“Mana yang akan dilakukan oleh polisi? Jelas harus mendahulukan pemadam kebakaran dan ambulans. Itu artinya berada dalam kondisi genting. Kalau hanya konvoi, pejabat atau orang kaya lewat itu sifatnya tidak genting,” ucap Edo saat berbincang beberapa waktu lalu. Pada intinya adalah bagaimana caranya untuk selalu berbagi ruas jalan dengan sesama masyarakat. Para pejabat kepolisian, menurut Edo, juga harus bisa menanamkan pola penting dan genting, jangan sampai petugas di lapangan mengabaikan sifat genting dan penting.
“Menurut Anda, touring mobil atau motor itu genting? Dibilang penting juga tidak, karena apa pentingnya? Tapi kok bisa sampai seperti itu, kasihan orang lain yang benar-benar sedang membutuhkan jalan itu,” katanya.
Mari kita ambil contoh kejadian yang ekstrem, karena ada konvoi mobil atau sepeda motor, petugas sampai harus menutup jalan selama dua menit, padahal di jalan tersebut ada seseorang yang harus cepat tiba di apotek membeli obat untuk orangtuanya yang sakit. Tetapi, karena ada rombongan mobil dan motor tadi, dia telat membeli obat dan orangtuanya tidak tertolong.
“Kita harus ingat, di atas hukum ada yang namanya etika. Rombongan konvoi yang dikawal itu tidak melanggar hukum, tapi mereka merusak rasa keadilan publik dan mengganggu etika. Patwal menempatkan diri dengan tidak melanggar hukum, tapi melanggar etika,” ujar Edo.
No comments:
Post a Comment