Tuesday, September 15, 2015

Pengusaha Penggemukan Sapi Tolak Disebut Kartel dan Mengaku Sudah Jual Rugi Sejak Januari 2015

Para pengusaha penggemukan sapi (feedloter) tak terima dengan tudingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menduga mereka melakukan praktik kartel sapi sehingga membuat harga sapi potong impor di pasar jadi mahal kendati suplainya lebih banyak. Para pengusaha mengatakan, harga sapi semakin mahal karena beban-beban produksi semakin tinggi.

Seperti dijelaskan oleh Riza Haerudin, Direktur CV MAS yang merupakan salah satu dari 32 perusahaan yang diduga KPPU melakukan kartel. Riza mengaku saat ini perusahaannya harus menanggung rugi kurs dan juga beban-beban lain dalam menjual daging sapi kepada pada pedagang di pasar. Bahkan, ia mengklaim harus menanggung rugi sebesar Rp 6 miliar dari Januari hingga Juli 2015 akibat harga jual seharusnya lebih besar dibanding harga karkas sapi sebesar Rp 38 ribu per kilogram (kg).

"Dengan beban-beban usaha yang ada, kami hitung harusnya harga jual sapi kami berada di kisaran Rp 44 ribu per kg. Tapi kan harga karkas sapi berada di angka Rp 38 ribu per kg, jadi ada selisih Rp 6 ribu per kg dan kami harus menanggung rugi dari situ," jelas Riza ketika ditemui di Kantor KPPU, Selasa (15/9).

Ia merinci, saat ini bobot sapi hidup impor dihargai sebesar US$ 2,7 hingga US$ 2,9 per kilogram. Sementara sejak Januari telah terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 15,3 persen. Selain itu, perusahaannya pun harus menanggung bea masuk sebesar 5 persen, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,3 hingga 2,5 persen, biaya logistik sebesar Rp 500 hingga Rp 1.000 per kilogram, dan adanya penyusutan barang akibat logistik sebesar 4 persen dari bobot daging sapi.

"Kalau keadaannya begini terus sampai akhir tahun, kemungkinan kami bisa rugi sampai Rp 10 miliar. Ini semua kan karena kurs yang melemah, maka konsekuensinya ya harga sapi yang naik," tambahnya. Dengan kondisi tersebut, dirinya pun menolak apabila disebut sebagai pelaku kartel sapi. Bahkan, ia mengatakan kalau seharusnya usahanya didukung pemerintah mengingat selama ini para pengusaha harus menanggung rugi akibat berjualan sapi.

"Kami ini bukan kriminal, malahan kami yang harus memberi subsidi selisih harga daging seharusnya dengan harga karkas sapi," jelasnya. Senada dengan Riza, Direktur PT BMT Juan Permata Adoe yang juga dilaporkan atas dugaan kartel sapi mengatakan bahwa kenaikan harga sapi kali ini murni karena mekanisme permintaan dan penawaran. Distribusi yang tidak merata, menurutnya, menjadi alasan mengapa harga sapi di beberapa daerah melonjak.

"Kali ini memang fenomenanya supply and demand. Karena ada kelompok-kelompok yang mendapat alokasi daging yang lebih besar dan ada yang dapat alokasinya kecil. Nah ini bahasanya bukan kartel. Jadi mekanisme pasar yang ada saat ini adalah supply-nya kurang, permintaannya naik," jelas Juan.

Kendati demikian, ia tak berani untuk mengatakan bahwa pihaknya tidak bersalah dalam gugatan KPPU kali ini. Ia bersama perusahaan-perusahaan lain masih akan mengkaji lagi dugaan tersebut namun tetap menolak tudingan menimbun sapi demi berburu laba. "Penimbunan di dalam istilah pengusahaan sapi itu tidak ada. Sapi itu adalah bahan baku untuk industri feedloter, sehingga tak ada istilah kami bisa melakukan hal itu. Namun kami masih belum berkomentar macam-macam karena masih akan mempelajari laporannya," tegasnya.

Sebagai informasi, KPPU pada hari ini melakukan sidang perdana atas dugaan kartel sapi di Jabotabek yang melibatkan 32 perusahaan feedloter. Seluruh perusahaan tersebut disinyalir melakukan pengendalian harga sapi dengan cara membatasi suplai kepada rumah potong hewan (RPH) sebagai antisipasi pembatasan kuota impor sapi yang dilakukan pemerintah pada kuartal III dan IV tahun ini.

Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan telah memberikan kuota impor sapi sebesar 50 ribu ton pada kuartal III 2015 dan 39 ribu ton pada kuartal berikutnya. Angka ini terbilang menurun signifikan dari angka kuota impor kuartal I yang sebesar 97,61 ribu ekor dari target 100.000 ekor dan kuartal II yang terealisasi 201,64 ribu ekor dari target impor 267,62 ribu ekor. Hari ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggelar sidang perdana atas dugaan kartel impor sapi yang dilakukan oleh 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Pada sidang perdana tersebut, tim investigator KPPU yang dipimpin oleh Muhammad Rofiq menemukan praktik menimbun sapi telah dilakukan feedloter sejak 2009 untuk menaikkan harga.

Praktik yang dilakukan ke-32 perusahaan terlapor tersebut menurut Rofiq melanggar pasal 11 dan 19 Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. "Kami menemukan bahwa pembentukan harga sapi potong di pasaran ini tak mencerminkan penawaran dan permintaan belaka. Kami duga pelaku usaha feedloter ini ingin menciptakan harga equilibrium baru," jelas Rofiq di Kantor KPPU, Jakarta, Selasa (15/9).

Anomali harga yang timnya temukan adalah kenaikan harga sapi dari Rp 21.500 per kilogram (kg) pada 2009 menjadi Rp 34.500 per kg pada 2014. Padahal menurut penyelidikan tim investigator, jumlah impor sapi di 2009 dengan jumlah 2014. Dari data yang dihimpun oleh tim investigator, ke-32 perusahaan itu bisa memasok daging sapi ke Jabotabek sebesar 793,41 ribu ekor pada 2014. Namun, angka volume tersebut lebih besar dibanding angka nasional yang sebesar 765,48 ribu ekor pada 2009.

Dengan suplai yang lebih besar dan harga lebih mahal, tim investigator KPPU makin curiga atas perilaku pengusaha penggemukan sapi. "Melihat harga yang tak sesuai dengan kondisi penawaran, maka kami duga feedloter menimbun sapi dan mengurangi pasokan sapi ke rumah potong hewan (RPH) dengan alasan bisa meningkatkan harga sapi," jelasnya.
Ia melanjutkan, perilaku perusahaan feedloter ini mencapai puncaknya ketika harga daging sapi impor per kg di Jabotabek mencapai Rp 38 ribu per kg pada 2013, sehingga menyebabkan Kementerian Perdagangan meminta feedloter untuk menurunkan harga menjadi Rp 33 ribu per kg.

"Sampai puncaknya ketika pedagang sapi di pasar mogok berjualan pada Agustus lalu karena harga pasokan darifeedloter-nya sangat mahal. Kegiatan ini pun juga pernah dilakukan 2013 lalu ketika kondisi serupa terjadi. Mungkin para terlapor melakukan hal itu seiring momentum pemerintah yang ingin membatasi impor sapi di kuartal berikutnya," tambahnya.

Sebelumnya Kementerian Perdagangan telah menerbitkan kuota impor sapi sebesar 50 ribu ton pada kuartal III 2015 dan 39 ribu ton pada kuartal berikutnya. Angka ini terbilang berkurang signifikan dari angka realisasi impor kuartal I yang sebesar 97,61 ribu ekor dari kuota 100 ribu ekor dan kuartal II yang terealisasi 201,64 ribu ekor dari kuota impor 267,62 ribu ekor. Sementara itu di kesempatan yang sama, Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan bahwa proses ini merupakan langkah pertama dari serangkaian penentuan keputusan akhir yang dijadwalkan rampung 150 hari ke depan. Ia berharap, proses ini bisa selesai tepat waktu.

“Kami ingin memperkarakan kasus ini karena menyangkut khalayak banyak. Diharapkan setelah 150 hari diproses, bisa terlihat apakah dugaan mafia kartel akan terjawab," jelas Syarkawi. Sidang kedua dugaan kartel ini akan dilanjutkan pada Selasa (22/9) pekan depan dengan agenda tanggapan pihak terlapor atas dugaan tim investigator KPPU. Pada agenda berikutnya, terlapor bisa membawa saksi, ahli, atau dokumen yang mendukung pernyataan bahwa dugaan KPPU tidak valid

No comments:

Post a Comment