"Sudah tak ada lagi industrik yang produksi meteran biasa. PLN juga tidak beli lagi meteran biasa, jadi industrinya ada yang tutup ada pula yang beralih memproduksi meteran prabayar," kata Supardji. Ia mengatakan, di Indonesia saat ini ada sekitar 12 pabrik yang memproduksi listrik prabayar. Tapi, ia sedikit menyayangkan karena tingkat kandungan barang lokal/dalam negeri pada meteran listrik prabayar hanya sekitar 40%.
"Kandungan barang lokalnya masih sekitar 40%, padahal waktu yang meteran biasa itu kandungan barang lokal hampir 70%. Kalau yang sekarang sebagian besar impor, paling banyak impor dari China, yang produksi lokal mungkin bagian bungkus atau luas-luasnya saja," ungkapnya.
Seingat dia, produsen meteran listrik sudah tidak lagi produksi meteran biasa sejak 4-5 tahun yang lalu. Namun ia menolak berkomentar hemat mana dari penggunaan konsumsi listrik bilang menggunakan meteran biasa atau manual. "Aduh ini sensitif, saya nggak berani berkomentar. Biar diselesaikan di level pemerintah," tutup Supardji. Saat ini tengah ramai masalah soal biaya administrasi bank dan pajak penerangan jalan yang dikenakan, saat membeli pulsa listrik. Apa jalan keluarnya?
Konsumen tersebut membeli pulsa senilai Rp100 ribu melalui ATM. Nilai uang tersebut setara dengan 158 kWh setelah dipotong PPN dan administrasi bank senilai Rp5.000. Jadi biaya yang dikeluarkan Rp120.00 untuk 191 kWh( 33 kWh + 158 kWh).
Padahal menurutnya, jika dibandingkan dengan simulasi untuk tarif listrik pascabayar di website PLN untuk pemakaian 191 kWh dengan golongan tarif rumah tangga dan batas daya 900 VA hanya membutuhkan biaya Rp105.145, itu pun sudah termasuk biaya beban.
Pengguna lain yang menambah daya listrik dengan listrik prabayar jaga harus mengeluarkan biaya ekstra. Misalnya mengganti sekering menjadi MCB membutuhkan dana Rp 200 ribu. Kemudian Rp100 ribu digunakan ongkos pasang MCB plus mendapat pulsa awal Rp 20 ribu.
No comments:
Post a Comment