Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP mengungkapkan, banyak penanam modal asing (PMA) yang untung besar di Indonesia tetapi terbebas dari kewajiban membayar PPh. Paling banyak adalah perusahaan pertambangan, yang menggunakan modus menimbun utang agar diperhitungkan sebagai faktor pengurang pajak.
"Secara bisnis, dari hasil menjual minyak dan hasil tambang sebenarnya untung kalau dikurangi dengan biaya produksi dan biaya operasional. Namun mereka memasukan utang dan bunga utang agar terhindar dari pajak," jelasnya. Berdasarkan hitungan DJP, jelas Mekar, lebih dari 2 ribu perusahaan asing di Indonesia yang melakukan akal-akalan serupa. Kisaran angka tersebut belum memperhitungkan jumlah perusahaan nasional yang juga melakukan modus yang sama.
"Bahkan ada satu perusahaan yang utangnya 800 kali lipat dari nilai asetnya atau debt to equity ratio (DER) 800:1. Misal asetnya Rp 1 miliar, mana ada yang mau kasih utang Rp 800 miliar. Itu tidak masuk akal, mungkin karena hubungan istimewa," ujarnya. Mekar menilai, wajar jika kemudian pemerintah melalui Kementerian Keuangan membatasi jumlah utang yang boleh jadi pengurang PPH mulai tahun depan, dengan menerapkan DER 4:1.
"Aturan ini untuk mengejar banyak PMA yang selalu mengatakan rugi dan kerugiannya bukan dari kegiatan bisnis dan produksi, melainkan dari utang," tuturnya. Menurut Mekar, ketentuan DER di bidang perpajakan telah diterapkan pada 1984, sebelum kemudian ditunda pelaksanaannya pada 1985 hingga saat ini. Praktis selama 31 tahun, katanya, ribuan perusahaan di Indonesia sengaja menggelembungkan utang untuk menghindar dari kewajiban membayar PPh.
Dengan diberlakukannya kembali DER mulai tahun depan, Mekar optimistis penerimaan negara dari setoran PPh badan akan meningkat signifikan. Namun, dia belum bisa memastikan berapa potensi PPh yang akan didapat dari penertiban modus penggelembungan utang perusahaan itu. Pemerintah menetapkan nilai utang perusahaan yang bisa jadikan faktor pengurang pajak penghasilan (PPh) maksimal empat kali lipat dari jumlah modal yang dimiliki. Ketentuan ini berlaku efektif mulai tahun depan (2016) setelah selama 31 tahun dibekukan pemerintah.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, yang terbit pada 9 September 2015. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menegaskan besarnya perbandingan antara utang dan modal atau debt to equity ratio (DER) perusahaan yang bisa dijadikan dasar perhitungan PPh sebesar empat banding satu (4:1). Utang yang dimaksud Bambang adalah saldo rata-rata utang perusahaan dalam satu tahun pajak.
Dalam salinan PMK Nomor 169/PMK.010/2015 yang diterima CNN Indonesia, Kamis (17/9) disebutkan, pengecualian DER diberikan bagi wajib pajak (WP) badan atau perusahaan di beberapa sektor berikut:
- Perbankan
- Lembaga pembiayaan
- Asuransi
- Pertambangan minyak dan gas (migas), pertambangan umum, dan pertambangan lain pemegang kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan.
- Infrastruktur
"Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak," tulis Menkeu dalam beleidnya. Sejarahnya, ketentuan DER sebagai basis perhitungan PPh pernah diterapkan di era Menteri Keuangan Radius Prawiro, tepatnya pada pada 8 Oktober 1984 dengan perbandingan utang terhadap modal kala itu ditetapkan 3:1. Dasar hukum penetapan DER sebagai basis perhitungan PPh adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan.
Berselang enam bulan, tepatnya pada 8 Maret 1985, Radius Prawiro membekukan ketentuan DER karena dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan dunia usaha. Sebagai payung hukumnya, terbit KMK Nomor 254/KMK.04/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan.
Penundaan berlangsung sekitar 31 tahun atau sampai sekarang, sebelum dihidupkan kembali oleh Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro. Pemerintah memberlakukan ketentuan rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) sebagai dasar pengenaan pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 4:1 mulai tahun depan. Pengecualian diberikan ke sejumlah sektor usaha, antara lain perusahaan-perusahaan pertambangan minyak dan gas (migas) serta pertambangan umum pemegang kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, yang terbit pada 9 September 2015. "Ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal dimaksud berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian tersebut," ujar Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro seperti dikutip dari salinan PMK Nomor 169/PMK.010/2015.
Selain sektor pertambangan, Menkeu mengatakan pengecualian juga diberikan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perbankan, jasa pembiayaan dan asuransi, serta infrastruktur. Selain itu, ketentuan DER 4:1 ini juga tidak berlaku bagi WP badan yang seluruh penghasilannya sudah dikenakan PPh Final. Apabila besar utang perusahaan melampaui ketentuan DER 4:1, Menkeu menegaskan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPh hanya empat kali dari jumlah modal.
Biaya utang yang dimaksud Menkeu adalah bunga pinjaman, diskonto dan premium utang, biaya tambahan pinjaman, beban keuangan dalam sewa pembiayaan, biaya imbalan sebagai jaminan pengembalian utang, dan selisih kurs pinjaman asing. "Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak," tulis Menkeu dalam beleidnya.
No comments:
Post a Comment