"Dampak PHK tahun 2014 itu nggak terlalu terasa karena mereka (yang kena PHK) mendapat pesangon 10-20 kali gaji. Sehingga mereka bisa hidup 1 tahun lebih," ujar dia di Menara Global, Jakarta, Selasa (29/9/2015). Kondisi ini, menurut Erry, dimanfaatkan sejumlah oknum pejabat untuk menjaga kredibilitas kerjanya dengan melaporkan bahwa tidak pernah ada PHK di periode jabatannya. "Jadi kalau ada pejabat yang mau laporannya asal bapak senang saja, mereka akan bilang tidak ada PHK.Toh karena kan mereka (pekerja yang di-PHK) tetap dapat gaji sampai 20 bulan setelah mereka di-PHK," sebutnya.
Di tahun 2015 ini, sambung dia, adalah tahun yang sulit bagi pemerintah. Karena, tenaga kerja yang tadinya mendapat pesangon besar mulai kehabisan uang. Ditambah besarnya tekanan dari pelemahan ekonomi dunia memberikan dampak dari PHK ini semakin terasa. "Tahun 2015 dampaknya mulai terasa besar karena uang mereka mulai habis. Ditambah ekonomi global sedang memburuk makanya dampak ini sangat terasa. Jadi PHK sekarang sebenarnya bukan apa-apa. Ini akumulasi PHK dari tahun lalu. Tahun ini ada PHK ditambah dengan orang yang kena PHK, uang pesangonnya sudah mulai habis," pungkas dia.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus menjadi seiring perlambatan ekonomi Indonesia. Kondisi ini juga terjadi di sektor pertambangan bauksit. Uniknya, gelombang PHK di sektor ini sudah dimulai lama sejak akhir 2013 lalu. Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) dalam diskusi dengan awak media mengungkapkan, sejak akhir 2013 ada sedikitnya 40.000 orang tenaga kerja sudah di-PHK hingga saat ini.
"Kita punya data seluruh tenaga kerja di sektor bauksit yang mengalami PHK seluruhnya mencapai 40.000 itu tenaga kerja langsung. Artinya yang bekerja di industri langsung dari mulai tenaga penambang, operator alat berat, engineer, dan tenaga skilled (terampil) lainnya," ungkap dia di Menara Global, Gatot Subroto,Jakarta, Selasa (29/9/2015). Ia menjelaskan, PHK besar-besaran di sektor ini terjadi dalam rentang Desember 2013 hingga Februari 2014. 40.000 tenaga kerja yang diberhentikan berasal dari 51 perusahaan di sektor pertambangan Bauksit dan Bijih Besi yang tergabung sebagai anggota APB3I.
Diantara yang sudah melakukan PHK hingga saat ini adalah PT Harita Prima Abadi Mineral yang melakukan PHK terhadap 4.500 orang tenaga kerja, PT Central Omega Resources yang telah melakukan PHK terhadap 3.000 orang tenaga kerja. Hal ini disebebkan oleh perubahan regulasi saat itu ketika pemerintah melakukan pelarangan ekspor bauksit dalam bentuk mentah. Hal ini memaksa pengusaha tambang di sektor ini harus memangkas sebagian besar tenaga kerjanya.
Larangan ekspor mineral mentah ini diberlakukan sejak 12 Januari 2014.
Kebanyakan tenaga kerja yang di-PHK adalah tenaga kerja lapangan yang bekerja langsung di sektor produksi dalam hal ini yang melakukan aktivitas pertambangan. Sisanya tinggal pegawai manajemen di kantor pusat dan beberapa orang di kantor perwakilan. "Bisa dikatakan sebagian besar (kena PHK). Ada perusahaan yang punya karyawan 2.000 sekarang tinggal 300 orang. Itu untuk kegiatan manajemen dan administrasi. Termasuk menjaga aset-aset yang mereka punya di kantor-kantor perwakilan maupun di lokasi tambang," pungkas dia. Pada 12 Januari 2014 lalu pemerintah memutuskan melarang ekspor mineral mentah termasuk bauksit. Kabijakan tersebut membuat banyak perusahaan tambang bauksit melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawannya, jumlahnya total mencapai 40.000 pekerja. Bila kebijakan ini dicabut maka pengusaha siap merekrut kembali pekerja yang di PHK.
"40.000 tenaga kerja langsung yang tadinya berhenti (bekerja dari sektor pertambangan bauksit) bisa kita tarik lagi, bila kita boleh ekspor lagi," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan, saat berbincang dengan awak media di Menara Global, Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Bukan hanya tenaga kerja langsung. Ia mengungkapkan, dengan diperbolehkannya lagi komoditi bauksit diekspor, maka perusahaan-perusahaan tambang bauksit dapat kembali beroperasi sehingga kegiatan ekonomi di sekitar tambang juga akan ikut bergerak. "Dampak terbesarnya lebih pada yang tidak langsung seperti warung makan, transportasi, perkapalan. Jangan salah, warung-warung makan di mulut tambang itu sayurannya dari Pulau Jawa. Jadi kalau itu bergerak, bukan hanya yang di mulut tambang ekonomi yang bergerak, tapi seluruh Indonesia," kata dia.
Ia pun menambahkan, langkah ini merupakan solusi di tengah ketidakpastian sektor pertambangan saat ini. Bauksit, kata dia, hanya bisa dimanfaatkan oleh pabrik pembuat alumina. Sayangnya, di tanah air tidak banyak perusahaan yang memproduksi alumina. Dengan kata lain, produksi bauksit nasional belum bisa diserap untuk kebutuhan dalam negeri sendiri sehingga harus dijual ke pasar ekspor. "PT Arbaya Energi dengan Rusia Alumina yang katanya mau bangun Smelter Alumina di Kalbar juga nggak ada kejelasan sampai sekarang. Jadi barang kita nggak ada yang serap di dalam negeri," katanya.
Meski demikian, pihaknya juga tak ingin Pemerintah mengambil keputusan yang ceroboh. Untuk itu, pihaknya pun menawarkan sejumlah solusi untuk mengantisipasi terjadinya volume ekspor Bauksit yang berlebihan berupa langkah pengendalian. "Pengendalian produksi Bauksit dapat dilakukan dengan cara pembatasan jumlah produksi dan pengendalian ekspor bauksit dapat dilakukan, dengan cara pembatasan volume ekspor melalui penetapan kuota produksi dan ekspor pertahun secara nasional," pungkas dia.
No comments:
Post a Comment