Thursday, September 10, 2015

Pemerintah Ingin Batasi Liberalisasi Kepemilikan Asing Di Properti ... REI Menentang Keras

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution melontarkan wacana pemerintah hanya akan memberikan izin hak pakai bangunan kepada warga negara asing (WNA) yang ingin membeli properti jenis apartemen mewah. Kebijakan ini berbeda dengan yang disampaikan Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro yang mengizinkan WNA meguasai properti di Indonesia sebagai hak miliknya.

Selain itu Darmin menyebut kategori apartemen mewah yang boleh dibeli WNA pada angka Rp 10 miliar, tidak senilai Rp 5 miliar seperti yang diucapkan Menteri Keuangan. "Karena dasarnya dulu ketika saya masih Direktur Jenderal Pajak juga Rp 10 miliar, ya masa diturunkan. Harga rumah naik terus kok," ujar Darmin saat ditemui di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Kamis (10/9).

Harmonisasi aturan akan dilakukan dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996. Beleid ini mengatur pemilikan oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Dalam proses revisi beleid tersebut pemerintah tengah mempertimbangkan agar WNA yang berkedudukan di luar Indonesia bisa memperoleh hak pakai atas hunian selama jangka waktu yang panjang. Namun Darmin belum dapat menyebutkan berapa lama hak pakai yang bisa dinikmati oleh WNA.

"Itu memang hak pakai dan kecenderungannya bukan seumur hidup tapi ada batas waktunya, jadi masih bisa diperbaharui," katanya. Darmin menuturkan pmerintah akan menerbitkan aturan agar WNA bisa mengajukan perpanjangan waktu hak pakai bangunan layaknya izin Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU).

"Ide seumur hidup jangan dibayangkan 50-60 tahun, kalau orangnya meninggal cepat gimana?" katanya. Real Estate Indonesia (REI) menilai ambang batas (threshold) di atas Rp 10 miliar untuk harga jual apartemen yang boleh dimiliki orang asing terlalu tinggi. “Agak tinggi ya kalau threshold-nya Rp 10 miiar. Kalau kita bandingkan contohnya Malaysia, Malaysia itu hanya sekitar Rp 3 miliar,“ ujar Ketua REI Eddy Hussy, usai menghadiri acara Indonesia Banking Expo 2015 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (10/9).

Pada paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Rabu (9/9) malam, pemerintah menyatakan akan melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong kinerja sektor properti. Salah satu kebijakan yang akan dilakukan adalah membuka kepemilikan orang asing terhadap properti, dalam hal ini rumuh susun mewah yang nilainya di atas Rp 10 miliar.

Eddy mengaku belum tidak mengetahui dasar pertimbangan diambilnya ambang batas di atas Rp 10 miliar tersebut. Namun dia pun enggan membeberkanthreshold harga jual apartemen yang menurutnya wajar. Menurutnya, perlu dibuat kajian lanjutan terkait besaranthreshold dan regulasi terkait kepemilikan properti oleh orang asing.

Tapi Eddy mengusulkan status kepemilikan properti bagi orang asing cukup hanya hak pakai, tidak perlu ditingkatkan sampai hak milik. Hak pakai tersebut diperlakukan sama dengan Hak Guna Bangunan (HGB), yang lazim dimiliki oleh pemilik apartemen berkewarganegaraan Indonesia. Tak kalah penting, properti tersebut juga harus bisa dijadikan jaminan dalam memperoleh pembiayaan perbankan (bankable) di dalam negeri sehingga makin menarik di mata orang asing.

"Masyarakat kita kan kalau apartemen semua juga HGB, jadi kalau hak pakai itu disamakan oleh hak pakai itu sudah cukup," kata Eddy. Kendati demikian Eddy mengapresiasi langkah pemerintah yang membuka pintu bagi orang asing untuk bisa memiliki properti di Tanah Air. “Kita masih belum tahu apakah itu sudah fix Rp 10 miliar, tapi apapun kita menyambut baik dan kita berterimakasih kepada pemerintah yang sudah membuat suatu terobosan di mana sudah diumumkan paket-paket kebijakan ekonomi yang di dalamnya ada kepemilikan orang asing,” tutur Eddy.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution sepertinya sepakat dengan pendapat ini. Dalam sebuah acara di kantor Direktorat Jenderal Pajak hari ini, Darmin mengatakan kepemilikan apartemen mewah bagi orang asing hanya sampai berstatus hak pakai, bukan hak milik. Meski begitu, dia berkukuh pada treshold di angka Rp 10 miliar.  “Karena dasarnya dulu ketika saya masih Direktur Jenderal Pajak juga Rp 10 miliar, masa diturunkan?” katanya.

No comments:

Post a Comment