Pasalnya, kata Hidayat dalam kebijakan tersebut ditetapkan bahwa rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan mengambil porsi 60,31 persen, atau 603,15 ribu dari total satu juta unit rumah yang akan dibangun pada tahun ini. Apalagi ketika pertumbuhan rumah non-MBR juga terbilang menurun akibat turunya daya beli masyarakat.
"Akibat kebijakan pemerintah yang tadinya biasa beli apartemen atau rumah mewah untuk investasi, kini mulai melirik rumah murah karena kini permintaannya sedang tinggi. Pasalnya, kaum berpenghasilan rendah juga berburu-buru mendapatkan rumah karena takutnya tahun depan mereka tak bisa dapat rumah-rumah itu lagi, jadi mereka (para pemborong rumah) melihat itu sebagai ladang usaha," ujar Hidayat di Jakarta, Kamis (17/9).
Asal tahu saja, Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) menunjukkan secara kuartalan pertumbuhan penjualan properti terus mengalami penyusutan, khususnya untuk pasar rumah menengah dan mewah. Buktinya, angka pertumbuhan penjualan properti pada kuartal II hanya mencapai 10,8 persen, atau turun 15,4 persen dari kuartal I 2015 yang berada di level 26,2 persen.
Berangkat dari angka ini, Hidayat mengklaim telah terjadi pergesaran sekitar 20 hingga 30 persen pemborong rumah mewah yang saat ini malah memilih untuk membeli rumah murah. "Rumah murah ini bisa dibilang sebagai unit yang sering dicari. Pemborong rumah mengincar rumah itu untuk dibisniskan kembali sedangkan masyarakat berpenghasilan rendah mencari rumah itu benar-benar untuk ditinggali. Barang ini diperebutkan oleh dua kelompok," kata Hidayat.
Oleh karenya, Hidayat meramal penjualan properti menengah ke atas bisa turun 50 persen pada semester II mendatang jika keadaan tak berubah. "Bahkan, penjualan properti menengah ke atas pada semester I kemarin turun sudah turun sebesar 40 persen sedangkan pembelian rumah murah malah naik dua kali lipat," kata Hidayat.
Senada dengan Hidayat, Ketua REI Eddy Hussy juga mengakui jika saat ini banyak pembeli rumah lebih memilih membeli rumah murah ketimbang hunian mewah. Namun, menurutnya hal ini murni disebabkan oleh kualitas daya beli yang menurun, bukan karena motif bisnis seperti apa yang dibeberkan Hidayat.
"Saat ini kan sedang terjadi pelemahan ekonomi, makanya tak heran banyak yang beralih membeli rumah murah. Apalagi di tengah kondisi seperti ini, harga rumah murah dengan nilai Rp 110 juta hingga Rp 174 juta terlihat menggiurkan," jelas Eddy di kesempatan yang berbeda, Kamis (17/9).
Dengan adanya hal itu, Eddy pesimistis target pembangunan rumah non-MBR bisa tercapai tahun ini. Sampai tanggal 15 September kemarin saja, realisasi pembangunan rumah non-MBR sudah mencapai 135,64 ribu unit. Angka ini baru 34,21 persen dari target pembangunan rumah non-MBR hingga akhir tahun yang sebesar 396,48 ribu unit.
"Kami yakin kalau hingga akhir tahun penjualan rumah non-MBR tak akan tercapai jika kondisinya seperti ini," tegas Eddy.
No comments:
Post a Comment