- Pertama, biaya administrasi bank, besarannya bervariasi tergantung kebijakan masing-masing bank, misalnya biayanya bervariasi antara Rp 2.000-Rp 3.500.
- Kedua, biaya Pajak Penerangan Jalan Umum (PJU), besarannya ditentukan masing-masing Pemda. Rata-rata 3-6%, tapi dalam undang-undang maksimal PJU hanya 10%. Semakin banyak pulsa listrik yang dibeli, maka semakin besar PJU yang dibayar.
- Ketiga, bea materai, ketika transaksi pembelian pulsa listrik Rp 250.000-Rp 1.000.000 kena bea materai Rp 3.000 per transaksi. Tapi bila pembelian pulsa listrik di atas Rp 1.000.000, maka dikenakan bea materai Rp 6.000 per transaksi.
- Keempat, kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% khusus golongan di atas 2.200 volt ampere (VA).
Tapi secara umum, bagi masyarakat yang meteran listriknya memiliki daya R1 450, 900, 1.300 VA dan membeli pulsa listrik Rp 100.000, hanya dikenakan, biaya administrasi dan PPJ.
Keberadaan biaya administrasi perbankan dan potongan lain seperti Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJ) ditenggarai sebagai dasar pernyataan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang menyebut ada mafia listrik di sistem pulsa listrik (token) atau listrik prabayar.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir pun mengaku tengah memutar otak agar biaya-biaya ini bisa dipangkas bahkan dihilangkan. "Yang kita pikir pertama adalah bagaimana menghilangkan biaya administrasi perbankan yang Rp 1.600 per transaksi itu. Kita akan rumuskan bersama pihak Bank," ujar Sofyan ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (8/9/2015) malam.
Sebagai gantinya, ia akan menawarkan agar PLN mengendapkan dananya lebih lama di bank yang bersangkutan, sehingga pihak bank bisa tetap memperoleh pendapatan dari dana tersebut. "Jadi mereka (bank) tidak dapat biaya administrasi, tapi kami (PLN) mengendapkan dana kita lebih lama di Bank. Jadi Bank tetap dapat pemasukan tapi masyarakat nggak dibebani," jelas dia.
Langkah ini sambungnya, dimaksudkan untuk meringankan beban masyarakat pelanggan listrik agar tidak lagi dibebankan biaya administrasi dan berbagai potongan lainnya. Pasalnya, saat ini biaya administrasi dan potongan lainnya dikenakan setiap kali ada transaksi dan hal tersebut sangat merugikan masyarakat.
"Bagi masyarakat yang miskin ini jadi beban. Karena mereka butuh listrik Rp 120.000 misalnya. Mereka nggak bisa beli langsung Rp 120.000, mereka mencicil seadanya mereka punya uang. Kalau mereka punya Rp 30.000 artinya mereka harus beli 4 kali sampai dapat Rp 120.000," terang dia. Dengan kata lain, masyarakat miskin akan dapat potongan 4 kali dalam sebulan lantaran mencicil pembelian pulsa listrik sebanyak 4 kali.
Banyak masyarakat tidak tahu ada beberapa pajak yang dikenakan setiap kali membeli pulsa listrik. Salah satunya adalah Pajak Penerangan Jalan Umum (PJU). PJU ini, tidak hanya tertera dalam setiap pembelian pulsa listrik per transaksi, tapi juga berlaku untuk pelanggan PLN yang menggunakan sistem pasca bayar. Direktur Perencanaan PT PLN (Persero), Murtaqi Syamsuddin mengatakan, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, setiap transaksi pembelian listrik dikenakan PJU.
"Besarannya diatur oleh masing-masing Pemda. Ada yang 2%, ada yang 6%, tapi ada maksimal dikenakan 10%. Besarannya kewenangan Pemda, ya aturannya bilang begitu, yang penting jangan lebih dari 10%," jelas Murtaqi. Pertanyaannya apakah PPJ ini digunakan sepenuhnya untuk penerangan jalan di masing-masing daerah? "Ya itu terserah Pemda. Di aturan perundang-undangannya menyatakan bisa digunakan sebagian untuk penerangan jalan. PLN nggak ada kewenangan mengatur itu untuk apa, kan itu Pemda yang atur," katanya.
Ia menambahkan, bila masyarakat di daerahnya lampu jalan mati atau malah tidak ada, punya hak bisa protes ke Pemdanya, karena sudah bayar setiap bulan. "Tapi komplainnya ke pemerintah daerah setempat," tutup Murtaqi. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur PPJ ada dalam Bagian Kesebelas, Pasal 52-56. Seperti bunyi Pasal 55 ayat (1): "Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%."
Menko bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli meminta masyarakat dibebaskan memilih menggunakan meteran listrik pasca bayar atau prabayar atau pulsa listrik (token). PT PLN (Persero) mengatakan sistem pulsa listrik sebenarnya lebih menguntungkan masyarakat.
"Sebenarnya semua ada kelebihannya, termasuk sistem token (pulsa listrik) itu ada kelebihannya, baik itu untuk PLN sendiri maupun untuk masyarakat," kata Direktur Perencanaan PLN, Murtaqi Syamsuddin, ditemui di Gedung DPR, Selasa (8/9/2015).
Murtaqi mengatakan, dengan sistem pulsa listrik, masyarakat dapat mengontrol penggunaan listriknya sendiri. Masyarakat juga terdorong untuk berhemat, karena bisa mengukur berapa pemakaian listriknya setiap hari dengan ditandai berkurangnya jumlah angka meteran kilo Watt hour (kWh). "Nggak ada lagi orang, listriknya diputus karena dia nggak bisa bayar listrik. Bila sewaktu-waktu habis bisa langsung isi token di loket terdekat. Kan sekarang pulsa listrik banyak yang jual di minimarket, toko-toko kelontong, dan sebagainya," ungkapnya. Jadi bukan PLN yang memutus listriknya tapi orang itu sendiri karena dia nggak bisa bayar jadi otomatis putus.
Sementara bagi PLN kata Murtaqi, dengan sistem pulsa listrik tersebut PLN tidak perlu direpotkan dengan melakukan pencatatan. Karena secara otomatis, data pengguna akan tercatat sendirinya. Kalau cara manual kan kita harus kirim petugas untuk mencatat penggunaan setiap bulannya," katanya. Serta PLN bisa lebih dahulu mendapatkan uang tunai sebelum melakukan penjualan.
Selain itu, dengan sistem pulsa listrik ini akan menghindarkan masyarakat dari kesalahan hitung serta kecurangan dalam penghitungan meteran listrik. "Kalau ada salah hitung tentu kan ada kerugian di situ yang harus ditanggung masyarakat. Kalau pakai sistem token kan semuanya pasti, segitu dia beli segitu dia pakai. Ini juga menghindarkan kongkalikong petugas dengan pelanggan. Karena minim sekali pertemuan antara masyarakat pelanggan dengan petugas," tutup Murtaqi.
No comments:
Post a Comment