Tuesday, September 19, 2017

Industri Retail Banyak Tumbang, Pemerintah Sebut Ekonomi Retail Tumbuh

Sejumlah perusahaan ritel, seperti Matahari, mulai menutup sebagian tokonya. Bahkan perusahaan ritel 7-eleven (sevel) menutup seluruh tokonya di Indonesia. Banyak yang menilai hal itu diakibatkan karena daya beli masyarakat yang tengah lesu. Lantas, apakah hal itu juga berdampak terhadap industri jasa pengiriman barang?

Direktur Komersial PT Citra Van Titipan Kilat (TIKI), Rocky Nagoya, mengungkapkan bila benar daya beli masyarakat tengah mengalami kelesuan maka industri pengiriman barang pasti terkena dampaknya. Namun demikian, Rocky mengaku saat ini kondisi jasa pengiriman barang masih dalam keadaan yang baik.

"More or less pasti ada dampaknya kalau ada daya beli menurun. Karena kalau orang enggak ada duit, dia tidak akan membeli sesuatu. Tapi secara umum saya lihat kalau kurir masih baik-baik saja, demand masih bagus. Karena kita kurirnya, bukan pedagangnya," katanya Rocky di kawasan Jakarta, Selasa (19/9/2017).

Rocky menjelaskan, saat ini transaksi pengiriman barang masih berjalan lancar. Artinya tidak ada penurunan dari sisi permintaan. Hal itu kata Rocky, lantaran bisnis e-commerce atau toko online juga ikut menyumbang transaksi pengiriman barang. "(Transaksk e-commerce) sekitar 30%an. Jadi bisa dibilang 70% konvensional, lalu 30%nya itu dari e-commerce. Tapi sekali lagi memang itu perlu data lebih lanjut, itu memang susah membedakan kalau dia bukan company," katanya.

Menurutnya, saat ini industri e-commerce terus mengalami perkembangan. Oleh sebab itu, industri jasa pengiriman barang tak mengalami dampak dari tutupnya sejumlah toko ritel, atau permasalahan daya beli. "Saya perkirakan pertumbuhan e-commerce di Indonesia ini masih sangat berkembang. Jadi kita nanti tentu mentargetkan diri kita untuk menjadikan perusahaan-perusahaan ini sebagai pilihan utama di masa datang.

"Kalau daya belinya memang e-commerce ini hanya masalah supply dan demand. Jadi ketika ada supply, demand ada, itu bagus. Jadi kalau e-commerce, seperti TIKI ini kita hanya sebagai orang tengah, dimana ketika perusahaan barang ada supply kita akan kirim. Kalau daya beli turun, e-commerce lebih konsen bukan ke daya belinya. Tapi barangnya ada atau tidak," tukasnya

Masalah daya beli lesu bukan isapan jempol. Contohnya terjadi di Pasar Tanah Abang, Jakarta.

Abdul Wahid, seorang supplier alias pemasok sweater ke Tanah Abang mengeluh sudah setahun terakhir permintaan turun. Padahal biasanya pedagang langganan Abdul di Tanah Abang rutin memesan sweater. "Biasanya permintaan itu mengalir. Kalau kita beres, kirim. Tapi sekarang ada istilah tahan dulu Mas, barang masih penuh," ujar Abdul.

Sebelumnya Abdul bisa memasok 5.000 potong sweater per bulan ke Tanah Abang, tapi setahun terakhir pasokannya enggak sampai 1.000 potong. Selain itu, biasanya pedagang langganannya di Tanah Abang langsung membayar setiap ada pengiriman, tapi sekarang justru bon menumpuk. Pedagang belum bisa bayar gara-gara barang dagangannya belum laku.

Alhasil, Abdul kekurangan dana segar untuk menjalankan bisnisnya. Selama ini Abdul mengandalkan uang hasil pembayaran pedagang Tanah untuk memutar roda bisnisnya, termasuk membayar gaji karyawan. Kini dia harus memangkas karyawan dari yang sebelumnya 15 orang menjadi 8 orang. Dari 8 orang itu, ada kalanya dia terpaksa memulangkan sebagian karena tak bisa membayar gaji mereka.

Omzet dagangannya juga turun, dari sebelumnya bisa mencapai Rp 300 juta sebulan, menjadi kurang lebih Rp 50 juta sebulan. "Omzet turun, dapat Rp 50 juta sebulan saja termasuk beruntung," katanya. Bahkan, dalam seminggu terakhir Abdul belum menerima pesanan sweater dari Tanah Abang. "Minggu ini saya belum kirim, pening juga, sedih banget," kata Abdul.

Dia berharap, pemerintah memperhatikan masalah lesunya daya beli ini, khususnya di Pasar Tanah Abang. Sehingga, rantai suplai dan permintaan di Pasar Tanah Abang bisa kembali normal seperti sebelumnya. Sejumlah pusat perbelanjaan modern seperti Ramayana, Hypermart, hingga Matahari banyak menutup gerai ritelnya masing-masing. Hal itu dinilai tidak selaras dengan kondisi makro ekonomi Indonesia yang terus tumbuh.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menilai fenomena tutupnya sejumlah gerai pusat perbelanjaan modern tak sejalan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi RI.

"Jadi memang ini agak anomali antara data makro dengan mikronya. Kan memang sebetulnya data makronya bagus-bagus saja, ekonomi masih tumbuh walaupun tidak seperti yang direncanakan, tapi tetap tumbuh, lalu dari segi cadangan devisa naik, penurunan suku bunga. Jadi Makronya cukup baik, tapi kenapa mikronya jadi jelek begini? Harusnya kalau makronya bagus, mikronya bagus," kata Hariyadi.

Hariyadi menjelaskan, salah satu penyebabnya masalah tersebut terjadi ialah dari sisi tenaga kerja formal yang mengalami penyusutan. Sehingga daya beli masyarakat di sektor formal tidak terdistribusi secara merata. "Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Jadi orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.

"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar," jelas dia.

Dihubungi terpisah Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, menambahkan lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembelian. Rosan menilai, masyarakat saat ini masih menahan diri untuk berbelanja.

"Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi saya lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama, duit di bank meningkat, dana pihak ketiga makin meningkat. Tapi (masyarakat) menahan untuk melakukan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, kalau dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi kalau saya melihatnya masalah confident," terangnya.

Industri ritel modern seperti pusat perbelanjaan mulai banyak yang menutup gerainya. Di sisi lain, bisnis belanja online tengah merangkak naik ditandai banyak bermunculannya toko online atau e-commerce di Indonesia. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, mengatakan pesatnya perkembangan toko online memang menjadi salah satu penyebab industri ritel modern menjadi gulung tikar. Namun itu bukanlah faktor utamanya. Sebab, kata Rosan, tren belanja online masih di bawah angka 1% dibanding belanja ritel modern.

Menurutnya, penyebab utama dari lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembelian. Rosan menilai, masyarakat saat ini masih menahan diri untuk berbelanja, walau pun mereka memiliki dana yang cukup. "Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi saya lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama duit di bank meningkat, dana pihak ketiga semakin meningkat," terangnya.

"Tapi (masyarakat) menahan untuk melakukan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, kalau dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi kalau saya melihatnya masalah confident," kata Rosan.

Dihubungi terpisah, Ketua Umun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut permasalahan utama lesunya ritel modern adalah karena persoalan tenaga kerja. Dia mengatakan, saat ini kondisi tenaga kerja formal yang mengalami penyusutan. Sehingga daya beli masyarakat di sektor formal tidak terdistribusi secara merata.

"Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Jadi orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.

"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar. Sehingga mereka punya daya beli itu menjadi turun," jelas dia.

Sejumlah perusahaan ritel, seperti Matahari, mulai menutup sebagian tokonya. Bahkan perusahaan ritel 7-eleven (sevel) menutup seluruh tokonya di Indonesia. Di sisi lain bisnis toko online atau e-commerce tengah mengalami perkembangan di Indonesia. Menanggapi hal itu Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menyatakan saat ini kondisi toko online serta offline tak mengalami masalah. Bisnis keduanya sama-sama masih tumbuh.

"Ya (e-commerce) sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tetapi offline juga meningkat, yang online juga meningkat," kata Enggar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/9/2017). Menurutnya, perkembangan bisnis online tak berdampak negatif terhadap kondisi pasar binis offline atau toko ritel. Sebab, kata Enggar, kinerja keuangan dari perusahaan ritel masih dalam keadaan yang positif.

"Lihat saja dia dari yang sudah public listing company, bagaimana kinerjanya, bagaimana rugi labanya, bagaimana dia revenue peningkatannya, year on year-nya lebih baik. Ada satu yang turun karena melakukan efisiensi, tapi laba bersihnya meningkat. Jadi kalau kita lihat dari sisi itu, tidak ada soal," tukasnya.

Menurutnya, tutupnya sejumlah gerai toko ritel hanya dikarenakan adanya efisiensi. Hal itu pun dinilai wajar olehnya, sebab dalam berdagang kondisi pasar kerap mengalami perubahan. "Dalam dagang itu tidak statis, tidak bisa statis dia berdagang. Misalnya di tempat situ sepi, di tempat lain buka. Yang buka itu yang ramai, jadi yang sepi itu tutup," tutur Enggar.

Sektor ritel dalam negeri tengah goyah. Sejumlah toko tutup di tahun ini, dan terakhir adalah tutupnya dua gerai PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) di Pasaraya Blok M dan Manggarai.

Bahkan ada perusahaan rutel yang kolaps, seperti 7-eleven (sevel).

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku tengah melakukan kajian mengenai hal ini. Pasalnya, menurutnya jika dilihat dari data-data perpajakan yang ada, kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia justru menunjukkan pertumbuhan positif.

"Kita terus melakukan observasi. Kalau dari sisi data-data dari perpajakan kita, menunjukkan adanya kegiatan ekonomi yang positif, bahkan pertumbuhannya lebih baik," kata Sri Mulyani, saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (18/9/2017).

"Namun kalau fakta, adanya perubahan dari para retailer, entah itu dari sisi presence (kehadiran secara fisik) versus kegiatan-kegiatan retailer yang lain, ya kita akan lihat saja di mana letaknya. Apakah ini menunjukkan perubahan dari pola masyarakat berkonsumsi dan lain-lain," tambahnya. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Situmorang, menuturkan ada 4 ha yang menyebabkan tutupnya toko ritel di Jakarta.

Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman, ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5%.

Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.

Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.

Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarma baru sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut (pernah belanja online). Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya.

Matahari Tutup Dua Gerai Karena Lesunya Ekonomi Retail

Kabar lesunya sektor ritel di Indonesia ramai dibicarakan sejak pertengahan tahun ini. Tandanya adalah, kosongnya toko-toko di Glodok yang dulu dikenal sebagai pusat elektronik. Terakhir, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup 2 gerainya di Pasaraya Blok M dan Manggarai.

PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) akan menutup dua gerainya di kawasan Pasaraya Blok M dan Manggarai pada akhir September ini. Sekretaris Perusahaan Miranti Hadisusilo mengatakan, keputusan ini diambil karena perusahaan menganggap dua gerai tersebut tidak memberikan kontribusi pendapatan signifikan.

"Ditutup karena mall yang sepi sehingga mengakibatkan kinerja kedua gerai tersebut tidak sesuai target manajemen," kata Miranti. Ia menyebut, tutupnya dua gerai itu akan menjadi penutupan pertama yang dilakukan perusahaan tahun ini. Saat ini, perusahaan masih mengoperasikan kedua gerai tersebut dan memberikan diskon hingga 75 persen kepada konsumen guna menghabiskan stok barang.

Kendati ada penutupan gerai, Miranti menegaskan, pihaknya masih optimis dengan kinerja perusahaan dan daya beli masyarakat hingga akhir tahun ini. Terbukti, Matahari Department Store akan menambah tiga gerai baru sampai Desember 2017 nanti. "Kami akan buka satu sampai tiga gerai lagi sampai akhir tahun, satu di Jawa dan dua di luar Jawa. Jadi kami masih optimis," katanya.

Dengan demikian, perusahaan akan memiliki delapan gerai baru jika rencana itu terealisasi. Pasalnya, manajemen telah membuka lima gerai yang berada di Jawa dan Sumatera pada awal tahun ini. Seperti diketahui, penutupan gerai ritel baru-baru ini juga terjadi pada supermarket milik PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Ramayana Lestari menutup beberapa gerai supermarketnya karena merugi. Perusahaan memutuskan untuk merenovasi gerai supermarket tersebut menjadi department store.

Adapun, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyebut, pertumbuhan industri ritel memang menurun pada paruh pertama tahun ini. 

Aprindo mencatat, ritel hanya tumbuh 3,8 persen, jauh di bawah pertumbuhan pada semester pertama tahun lalu yang mencapai 10,25 persen. 

 Pasca kabar penutupan gerai Matahari di dua tempat sekaligus, saham PT Matahari Department Store Tbk malah melonjak hingga 475 poin atau 4,88 persen pada penutupan perdagangan hari ini, Jumat (15/9).

Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), harga saham emiten berkode LPPF itu tercatat berada di level Rp10.200 atau naik dari perdagangan hari sebelumnya Rp9.725, setelah seharian bergerak di rentang cukup lebar yakni Rp9.900-Rp10.250. Volume perdagangan saham entitas grup Lippo itu tercatat sebesar 6,62 juta lembar saham. Adapun, imbal hasil (return) dalam kurun setahun tercatat minus hingga 43,32 persen.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Miranti Hadisusilo mengatakan akan menutup dua gerainya di kawasan Pasaraya Blok M dan Manggarai pada akhir September ini. keputusan ini diambil karena perusahaan menganggap dua gerai tersebut tidak memberikan kontribusi pendapatan signifikan.

"Ditutup karena mall yang sepi sehingga mengakibatkan kinerja kedua gerai tersebut tidak sesuai target manajemen," kata Miranti. Ia menyebut, tutupnya dua gerai itu akan menjadi penutupan pertama yang dilakukan perusahaan tahun ini. Saat ini, perusahaan masih mengoperasikan kedua gerai tersebut dan memberikan diskon hingga 75 persen kepada konsumen guna menghabiskan stok barang.

Kendati ada penutupan gerai, Miranti menegaskan, pihaknya masih optimis dengan kinerja perusahaan dan daya beli masyarakat hingga akhir tahun ini. Terbukti, Matahari Department Store akan menambah tiga gerai baru sampai Desember 2017 nanti. "Kami akan buka satu sampai tiga gerai lagi sampai akhir tahun, satu di Jawa dan dua di luar Jawa. Jadi kami masih optimis," katanya.

Ada apa dengan ekonomi Indonesia?

Tahun ini sejumlah gerai ritel banyak yang tutup dan bahkan ada perusahaan yang kolaps seperti 7-Eleven (Sevel). Banyak yang menyebut, penutupan toko ritel ini sebagai dampak berkembangnya toko online, yang mengubah pola belanja masyarakat. "Saya sepakat, belanja online memang berkembang pesat. Tapi salah kaprah jika dianggap bahwa anjloknya ritel tahun ini karena pesatnya belanja online," ujar Ekonom Dradjad Wibowo, dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/9/2017).

Dradjad menjelaskan? Di Amerika Serikat (AS) yang menjadi kiblat belanja online dunia saja, penjualan ritel tetap bagus. Pada 2016 misalnya, belanja e-commerce di AS tumbuh 15,6%, lebih tinggi dari pertumbuhan 2015 yang 14,6%. Pangsa pasar e-commerce terhadap penjualan ritel di luar otomotif dan bahan bakar minyak juga meningkat pesat dari 9,5% (2014), 10,5% (2015) dan 11,7% (2016).

Pesatnya belanja online tersebut sama sekali tidak merusak penjualan ritel. Pada 2016 penjualan ritel AS tumbuh 3,3%, angka yang tinggi bagi AS. Di 2017 ini pertumbuhannya cenderung berkisar 3,5-4,0%. Mengingat sekitar 2/3 dari perekonomian AS tergantung pada belanja konsumsi rumah tangga, kinerja ritel di atas berperan krusial terhadap kuatnya pertumbuhan ekonomi AS.

Di Inggris pun fenomenanya mirip. Meskipun diwarnai kegaduhan referendum Brexit 23 Juni 2016, penjualan ritel Inggris tetap tumbuh tinggi (untuk ukuran Inggris), yaitu 2%, sama dengan 2015. Tahun ini, karena ketidakpastian negosiasi Brexit, pertumbuhan tersebut mungkin turun ke 1,6%. Lantas, berapa pertumbuhan penjualan online di Inggris tahun 2016? Hampir 16%!

Indonesia memang mencatat pertumbuhan belanja online tertinggi di dunia, rata-rata sekitar 37% per tahun sejak 2013. Tapi ini karena pangsa belanja online di Indonesia masih sangat kecil. Pada 2016, pangsa tersebut baru sekitar 2,2% dari penjualan ritel.

Fakta-fakta di atas membuktikan, perkembangan pesat belanja online tidak otomatis merusak penjualan ritel. Di AS dan Inggris, penjualan ritel tumbuh kira-kira setara dengan laju pertumbuhan ekonominya. Data Indonesia memberi gambaran yang mengkhawatirkan. Di 2015, penjualan ritel tumbuh 8%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 4,88%.

Pada 2016, penjualan ritel tumbuh 9%, lagi-lagi jauh di atas pertumbuhan ekonomi yang 5,02%. Semester I-2017 ini, data AC Nielsen menyebut penjualan ritel hanya tumbuh 3,7%. Ini di bawah pertumbuhan ekonomi yang mungkin 5% lebih. "Jadi, sumber masalahnya bukan pada belanja online, tapi ada faktor lain yang lebih fundamental," kata Dradjad, yang juga Lektor Kepala Perbanas Institute ini.

Dradjad menduga, konsumen kelas menengah atas memang menahan belanjanya tahun ini. Ia sering mendengar tentang hal ini dari konsumen yang juga pelaku usaha menengah atas di Jakarta. Mereka tidak nyaman dan menunggu, bagaimana pemerintah akan merealisasikan ancaman yang menakutkan mereka terkait amnesti pajak, kartu kredit dan dibukanya rekening bank.

"Ini baru satu dugaan. Mungkin saja ada faktor lain, seperti pelemahan penjualan di beberapa sektor," tutur Dradjad. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, menuturkan ada 4 hektar yang menyebabkan tutupnya toko ritel di Jakarta.

Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5%. (UMR yang tidak tumbuh banyak)

Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.

Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.

Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarman baru sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya