Tuesday, September 19, 2017

Matahari Tutup Dua Gerai Karena Lesunya Ekonomi Retail

Kabar lesunya sektor ritel di Indonesia ramai dibicarakan sejak pertengahan tahun ini. Tandanya adalah, kosongnya toko-toko di Glodok yang dulu dikenal sebagai pusat elektronik. Terakhir, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup 2 gerainya di Pasaraya Blok M dan Manggarai.

PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) akan menutup dua gerainya di kawasan Pasaraya Blok M dan Manggarai pada akhir September ini. Sekretaris Perusahaan Miranti Hadisusilo mengatakan, keputusan ini diambil karena perusahaan menganggap dua gerai tersebut tidak memberikan kontribusi pendapatan signifikan.

"Ditutup karena mall yang sepi sehingga mengakibatkan kinerja kedua gerai tersebut tidak sesuai target manajemen," kata Miranti. Ia menyebut, tutupnya dua gerai itu akan menjadi penutupan pertama yang dilakukan perusahaan tahun ini. Saat ini, perusahaan masih mengoperasikan kedua gerai tersebut dan memberikan diskon hingga 75 persen kepada konsumen guna menghabiskan stok barang.

Kendati ada penutupan gerai, Miranti menegaskan, pihaknya masih optimis dengan kinerja perusahaan dan daya beli masyarakat hingga akhir tahun ini. Terbukti, Matahari Department Store akan menambah tiga gerai baru sampai Desember 2017 nanti. "Kami akan buka satu sampai tiga gerai lagi sampai akhir tahun, satu di Jawa dan dua di luar Jawa. Jadi kami masih optimis," katanya.

Dengan demikian, perusahaan akan memiliki delapan gerai baru jika rencana itu terealisasi. Pasalnya, manajemen telah membuka lima gerai yang berada di Jawa dan Sumatera pada awal tahun ini. Seperti diketahui, penutupan gerai ritel baru-baru ini juga terjadi pada supermarket milik PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Ramayana Lestari menutup beberapa gerai supermarketnya karena merugi. Perusahaan memutuskan untuk merenovasi gerai supermarket tersebut menjadi department store.

Adapun, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyebut, pertumbuhan industri ritel memang menurun pada paruh pertama tahun ini. 

Aprindo mencatat, ritel hanya tumbuh 3,8 persen, jauh di bawah pertumbuhan pada semester pertama tahun lalu yang mencapai 10,25 persen. 

 Pasca kabar penutupan gerai Matahari di dua tempat sekaligus, saham PT Matahari Department Store Tbk malah melonjak hingga 475 poin atau 4,88 persen pada penutupan perdagangan hari ini, Jumat (15/9).

Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), harga saham emiten berkode LPPF itu tercatat berada di level Rp10.200 atau naik dari perdagangan hari sebelumnya Rp9.725, setelah seharian bergerak di rentang cukup lebar yakni Rp9.900-Rp10.250. Volume perdagangan saham entitas grup Lippo itu tercatat sebesar 6,62 juta lembar saham. Adapun, imbal hasil (return) dalam kurun setahun tercatat minus hingga 43,32 persen.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Miranti Hadisusilo mengatakan akan menutup dua gerainya di kawasan Pasaraya Blok M dan Manggarai pada akhir September ini. keputusan ini diambil karena perusahaan menganggap dua gerai tersebut tidak memberikan kontribusi pendapatan signifikan.

"Ditutup karena mall yang sepi sehingga mengakibatkan kinerja kedua gerai tersebut tidak sesuai target manajemen," kata Miranti. Ia menyebut, tutupnya dua gerai itu akan menjadi penutupan pertama yang dilakukan perusahaan tahun ini. Saat ini, perusahaan masih mengoperasikan kedua gerai tersebut dan memberikan diskon hingga 75 persen kepada konsumen guna menghabiskan stok barang.

Kendati ada penutupan gerai, Miranti menegaskan, pihaknya masih optimis dengan kinerja perusahaan dan daya beli masyarakat hingga akhir tahun ini. Terbukti, Matahari Department Store akan menambah tiga gerai baru sampai Desember 2017 nanti. "Kami akan buka satu sampai tiga gerai lagi sampai akhir tahun, satu di Jawa dan dua di luar Jawa. Jadi kami masih optimis," katanya.

Ada apa dengan ekonomi Indonesia?

Tahun ini sejumlah gerai ritel banyak yang tutup dan bahkan ada perusahaan yang kolaps seperti 7-Eleven (Sevel). Banyak yang menyebut, penutupan toko ritel ini sebagai dampak berkembangnya toko online, yang mengubah pola belanja masyarakat. "Saya sepakat, belanja online memang berkembang pesat. Tapi salah kaprah jika dianggap bahwa anjloknya ritel tahun ini karena pesatnya belanja online," ujar Ekonom Dradjad Wibowo, dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/9/2017).

Dradjad menjelaskan? Di Amerika Serikat (AS) yang menjadi kiblat belanja online dunia saja, penjualan ritel tetap bagus. Pada 2016 misalnya, belanja e-commerce di AS tumbuh 15,6%, lebih tinggi dari pertumbuhan 2015 yang 14,6%. Pangsa pasar e-commerce terhadap penjualan ritel di luar otomotif dan bahan bakar minyak juga meningkat pesat dari 9,5% (2014), 10,5% (2015) dan 11,7% (2016).

Pesatnya belanja online tersebut sama sekali tidak merusak penjualan ritel. Pada 2016 penjualan ritel AS tumbuh 3,3%, angka yang tinggi bagi AS. Di 2017 ini pertumbuhannya cenderung berkisar 3,5-4,0%. Mengingat sekitar 2/3 dari perekonomian AS tergantung pada belanja konsumsi rumah tangga, kinerja ritel di atas berperan krusial terhadap kuatnya pertumbuhan ekonomi AS.

Di Inggris pun fenomenanya mirip. Meskipun diwarnai kegaduhan referendum Brexit 23 Juni 2016, penjualan ritel Inggris tetap tumbuh tinggi (untuk ukuran Inggris), yaitu 2%, sama dengan 2015. Tahun ini, karena ketidakpastian negosiasi Brexit, pertumbuhan tersebut mungkin turun ke 1,6%. Lantas, berapa pertumbuhan penjualan online di Inggris tahun 2016? Hampir 16%!

Indonesia memang mencatat pertumbuhan belanja online tertinggi di dunia, rata-rata sekitar 37% per tahun sejak 2013. Tapi ini karena pangsa belanja online di Indonesia masih sangat kecil. Pada 2016, pangsa tersebut baru sekitar 2,2% dari penjualan ritel.

Fakta-fakta di atas membuktikan, perkembangan pesat belanja online tidak otomatis merusak penjualan ritel. Di AS dan Inggris, penjualan ritel tumbuh kira-kira setara dengan laju pertumbuhan ekonominya. Data Indonesia memberi gambaran yang mengkhawatirkan. Di 2015, penjualan ritel tumbuh 8%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 4,88%.

Pada 2016, penjualan ritel tumbuh 9%, lagi-lagi jauh di atas pertumbuhan ekonomi yang 5,02%. Semester I-2017 ini, data AC Nielsen menyebut penjualan ritel hanya tumbuh 3,7%. Ini di bawah pertumbuhan ekonomi yang mungkin 5% lebih. "Jadi, sumber masalahnya bukan pada belanja online, tapi ada faktor lain yang lebih fundamental," kata Dradjad, yang juga Lektor Kepala Perbanas Institute ini.

Dradjad menduga, konsumen kelas menengah atas memang menahan belanjanya tahun ini. Ia sering mendengar tentang hal ini dari konsumen yang juga pelaku usaha menengah atas di Jakarta. Mereka tidak nyaman dan menunggu, bagaimana pemerintah akan merealisasikan ancaman yang menakutkan mereka terkait amnesti pajak, kartu kredit dan dibukanya rekening bank.

"Ini baru satu dugaan. Mungkin saja ada faktor lain, seperti pelemahan penjualan di beberapa sektor," tutur Dradjad. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, menuturkan ada 4 hektar yang menyebabkan tutupnya toko ritel di Jakarta.

Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5%. (UMR yang tidak tumbuh banyak)

Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.

Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.

Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarman baru sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya

No comments:

Post a Comment