Thursday, June 23, 2022

Laos Terancam Bangkrut Karena Suka Berhutang

 Laos menghadapi ancaman gagal bayar karena utang yang menumpuk. Tercatat, total pembayaran utang dan bunga bengkak dari US$1,2 miliar atau sekitar Rp17,76 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS) pada 2018 menjadi US$1,4 miliar atau sekitar Rp20,72 triliun tahun ini.

Berdasarkan data Bank Dunia, total utang publik Laos mencapai 88 persen dari PDB Laos yang berkisar US$20 miliar (Rp296 triliun) pada 2021. Sekitar US$14,5 miliar (Rp214,6 triliun) merupakan utang luar negeri.

Mengutip The Star, Kamis (23/6), Menteri Keuangan Laos Bounchom Ubonpaseuth mengungkapkan utang negara terus membengkak untuk membiayai pembangunan negara berpenduduk 7,5 juta orang itu. Namun, ia memastikan negara tidak akan gagal bayar. "Utang banyak terakumulasi menyusul pinjaman besar-besaran untuk pembangunan nasional periode 2010 dan 2016," ujar Ubonpaseut saat berbicara di depan Majelis Nasional pada awal pekan ini.

Pada 2010 lalu, lanjut Ubonpaseuth, pembayaran bunga plus utang luar negeri Laos hanya US$160 juta yang bisa dibayar dari penerimaan domestik. "Selama 47 tahun terakhir, Laos telah meminjam sekitar US$5 miliar untuk investasi pada infrastruktur dan sekitar US$4 miliar investasi pada produk komersial untuk tujuan ekspor. Pinjaman ini diperlukan untuk perkembangan negara kita selama beberapa tahun terakhir," ujarnya.

Ekonomi Laos memang menghadapi krisis selama beberapa waktu terakhir. Hal itu terlihat dari antrean kendaraan di SPBU di Ibu Kota Vientines dan kenaikan sejumlah harga pangan. Kondisi ekonomi Laos memicu kemarahan publik terhadap pemerintah Laos. Kemarahan itu disalurkan warganet lewat komentar pada artikel berjudul "Ekonomi Laos Kollaps" yang diunggah oleh laman Facebook Radio Free Asia bulan ini.

"Jika pemerintah tidak mampu mengelola ekonomi, keluar saja!" ujar satu dari 1.100 komentar pada artikel tersebut seperti dikutip dari Asia Nikkei. Pandemi covid-19 hingga perang antara Rusia dan Ukraina membuat situasi dunia saat ini begitu mengerikan. Krisis datang silih berganti mulai dari kesehatan, energi, pangan hingga keuangan.

Kondisi bahkan bisa membuat suatu negara bangkrut jika fundamental domestik masing-'masing tidak dijaga dengan baik. Terutama kondisi keuangan negara. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ciri suatu negara bisa dikatakan bangkrut adalah saat tidak mampu membayar utang.

Saat ini, salah satunya yang mengalami adalah Sri Lanka yang dinyatakan bangkut karena tidak bisa membayar utang. Hal ini lantaran fundamental negerinya tidak mampu menopang dampak dari global.

Apalagi semua komoditas pangannya impor sehingga saat terjadi kenaikan harga global defisit anggarannya membengkak karena belanja yang meningkat tajam. "Penyebab dari kebangkrutan tersebut berasal dari berbagai hal, mulai dari debt mismatch, nilai tukar melemah signifikan, hingga perubahan iklim politik," ungkapnya.

Josua menyatakan, saat dinyatakan bangkrut maka negara tersebut ada di posisi yang tidak menguntungkan. Sebab, otomatis kepercayaan global akan semakin turun sehingga stabilitas negara akan tersebut kian terpuruk. "Negara pada umumnya mengandalkan pembiayaan melalui surat berharga, maka dampak dari gagal bayar dari suatu negara tidak hanya berdampak pada trust dari negara lainnya, namun juga pemegang obligasi pemerintah di dalam negeri, seperti sektor perbankan ataupun para pelaku bisnis usaha, sehingga dampaknya relatif mengganggu stabilitas ekonomi di dalam negeri juga," papar Josua.

Meski demikian, Josua menyebutkan ada dua cara yang bisa dilakukan suatu negara untuk bangkit dari keterpurukan. Pertama, meminta bantuan lembaga internasional IMF untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dalam jangka pendek. Kedua, negara bangkrut juga bisa menjual aset untuk melunasi utang. Namun, perlu juga dihitung apakah sisa aset yang dimiliki cukup atau tidak memenuhi seluruh pokok dan bunga utang.

"Negara yang sudah terkena dampak default (gagal bayar) masih mampu bangkit namun tidak dalam jangka pendek, terutama karena akan terjadi banyak penyesuaian anggaran yang diperkirakan menahan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut," jelas Josua.

Sementara, Peneliti Indef Nailul Huda menjelaskan gagal bayar utang bukan satu-satunya faktor suatu negara dapat disebut bangkrut. Jika negara tak punya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga bisa dikatakan bangkrut.

"Misalnya tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM, kemudian tidak mampu menyediakan barang dengan harga terjangkau karena masyarakat negara tersebut susah untuk membeli barang karena mahal. Itu bisa menjadi indikator negara tersebut bangkrut," ungkap Nailul. Sebelumnya, Sri Lanka diklaim bangkrut karena gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).

Kondisi ekonomi Sri Lanka semakin memburuk. Bahkan, pemerintah memutuskan untuk menutup sekolah dan menghentikan layanan pemerintahan untuk menghemat cadangan bahan bakar yang hampir habis. Negara berpenduduk 22 juta orang itu mengalami krisis ekonomi terburuk setelah kehabisan devisa untuk membiayai impor sejumlah komoditas termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.



Srilanka Resmi Menyatakan Diri Bangkrut

 Krisis ekonomi tengah melanda Sri Lanka hingga membuatnya bangkrut. Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).

Selain Sri Lanka, kebangkrutan sebenarnya pernah dialami sejumlah negara. Bahkan, kebangkrutan terjadi jauh sebelum ketidakpastian ekonomi global akibat perang dan pandemi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan negara yang bangkrut akan mengalami kondisi ekonomi yang semakin terpuruk. Pasalnya, belanja pemerintah yang menjadi bantalan merosot tajam.

"Kalau bangkrut ekonominya akan semakin buruk drastis," ujar Tauhid. Pengeluaran pemerintah yang berkurang membuat stimulus ke ekonomi menurun drastis. Negara yang bangkrut juga akan kesulitan melakukan perdagangan ekspor dan impor karena tak memiliki devisa. Negara bangkrut kemudian akan mengandalkan pajak. Namun, kondisi ekonomi yang buruk akan membuat masyarakat sulit membayar pajak.

"Otomatis dia harus menuunkan pajaknya sendiri agar orang-orang yang mampu bisa bayar," ujar Tauhid. Negara bangkrut juga akan mengalami inflasi gila-gilaan. Bahkan, inflasinya bisa di atas 30 persen karena persediaan barang yang semakin sedikit. Tauhid menjelaskan krisis yang sedang dialami Sri Lanka tidak berpengaruh terlalu besar terhadap Indonesia. Pasalnya, Sri Lanka bukan mitra perdagangan utama Indonesia.

"Setahu saya kecil untuk kita punya mitra hubungan dengan Sri Lanka karena buka mitra dagang utama. Kalau mitra dagang utama, pasar ekspor kita di negara dia besar, otomatis berdampak " ujar Tauhid.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan negara bangkrut akan mengalami krisis pangan yang membuat masyarakat melakukan panic buying dan penimbunan yang memberikan efek kelangkaan di berbagai tempat. Kemudian, mata uang negara tersebut tidak lagi memiliki nilai dan kehilangan kepercayaan dari pelaku usaha dan masyarakat.

"Maka proses barter atau pertukaran barang akan menggantikan transaksi dengan mata uang. Muncul transaksi di pasar gelap dan di perbatasan dengan negara lain," ujar Bhima. Selain itu, kepercayaan kreditur yang hilang akan membuat suku bunga naik signifikan sehingga mempersulit pelaku usaha dan pemerintah mendapat pendanaan baru.

Sementara itu, masyarakat akan berbondong-bondong mengungsi ke perbatasan. Gelombang pengungsian akan berdampak permanen ke masa depan ekonomi karena hilangnya talenta untuk membangun kembali perekonomian. Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe akhirnya bicara soal penyebab negaranya menjadi bangkrut. Ranil mengatakan krisis ekonomi yang terjadi di negaranya dipicu oleh utang luar negeri Sri Lanka yang cukup besar. Selain itu, melansir AP, bangkrutnya Sri Lanka juga dipicu kondisi ekonomi negara yang kandas karena kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi covid-19.

Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena utang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang US$700 juta atau setara dengan Rp10,4 triliun (asumsi kurs Rp14.866 per dolar AS).

"Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe. Kondisi juga diperparah oleh lonjakan harga komoditas. Tak ayal, krisis datang bertubi-tubi ke negara tersebut, mulai dari keuangan, energi, pangan hingga kesehatan.

Krisis yang terjadi di Sri Lanka itu juga membuat mau tak mau sekolah dan kantor pemerintahan ditutup tidak bisa melayani masyarakat. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ciri suatu negara bisa dikatakan bangkrut adalah saat tidak mampu membayar utang.

Menurutnya, ketidakmampuan Sri Lanka dalam membayar utang luar negeri disebabkan karena fundamental negerinya tidak mampu menopang dampak dari global. Apalagi semua komoditas pangannya impor sehingga saat terjadi kenaikan harga global defisit anggarannya membengkak karena belanja yang meningkat tajam.

Sementara itu, Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kolombo menyatakan akibat dari krisis tersebut banyak warga beralih ke kayu bakar untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe akhirnya buka suara soal kebangkrutan yang menimpa negaranya. Ia mengatakan kondisi ekonomi negaranya kini memang tengah krisis saat ini.

Krisis terjadi akibat utang luar negeri Sri Langka yang cukup besar dan kondisi buruk lainnya. Melansir AP, ekonomi Sri Lanka juga kandas akibat kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi covid-19. Kondisi juga diperparah oleh lonjakan harga komoditas. Akibatnya, Sri Lanka tidak memiliki uang untuk mengimpor bahan bakar, listrik, serta makanan.

"Ekonomi kita benar-benar runtuh," ujar Wickremesinghe kepada Parlemen.

Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena hutang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang US$700 juta. "Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe.

Wickremesinghe pun tidak menyebutkan perkembangan baru yang spesifik terkait kondisi Sri Lanka. "Anda tidak bisa membiarkan negara dengan kepentingan strategis seperti itu runtuh," kata ekonom Center for Global Development Anit Mukherjee. Sementara, anggota parlemen dari dua partai oposisi utama memboikot Parlemen pada minggu ini untuk karena gagal memenuhi janjinya untuk mengubah perekonomian.

Krisis mulai berdampak pada masyarakat kelas menengah Sri Lanka yang diperkirakan mencapai 15 persen hingga 20 persen dari populasi perkotaan negara itu. Padahal keluarga kelas menengah umumnya menikmati keamanan ekonomi. Namun, sekarang mereka yang tidak pernah berpikir dua kali tentang bahan bakar atau makanan sedang berjuang untuk mengatur makan tiga kali sehari.

"Jika kelas menengah berjuang seperti ini, bayangkan betapa terpukulnya mereka yang lebih rentan," kata Bhavani Fonseka, peneliti senior di Pusat Alternatif Kebijakan Kolombo.












Saturday, June 18, 2022

Bitcoin Hancur Lebur Turun 35 Persen Dalam 1 Minggu

 Bitcoin jatuh ke level US$ 17.749 setara Rp 270.512.509 dan Ether US$ 897 setara Rp13.671.177 karena aksi jual di pasar kripto meningkat. Dua cryptocurrency paling populer di dunia turun lebih dari 35% dalam seminggu terakhir, karena keduanya melanggar batasan harga simbolis.

Pembantaian di pasar kripto sebagian disebabkan oleh tekanan dari ekonomi makro, termasuk inflasi yang meningkat dan serangkaian kenaikan suku bunga Fed. Bitcoin memuncak pada US$ 68.789,63 pada November. Ether memuncak pada US$ 4.891,70 pada bulan yang sama. Bitcoin terakhir diperdagangkan serendah ini sekitar Desember 2020.

Sektor mata uang digital telah terpukul pekan ini setelah perusahaan pemberi pinjaman cryptocurrency Celsius membekukan penarikan dan transfer antar akun. Sementara itu, perusahaan crypto mulai memberhentikan karyawan, ada juga laporan bahwa hedge fund cryptocurrency mengalami masalah.

Perkembangan tersebut bertepatan dengan penurunan ekuitas, karena saham AS mengalami penurunan persentase mingguan terbesar dalam dua tahun di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga dan kemungkinan pertumbuhan resesi.

Kecepatan dan kedalaman kerugian b=Bitcoin yang dipercepat bersamaan dengan kekalahan saham dapat menantang dukungan untuk cryptocurrency dari berbagai kelompok investor. Sementara itu, beberapa institusi membeli Bitcoin dengan harapan akan mengimbangi penurunan saham dan obligasi.

"Itu belum menunjukkan bahwa itu adalah aset yang tidak berkorelasi," kata Michael Purves, pendiri dan CEO Tallbacken Capital, dikutip Reuters, Minggu (19/6/2022). Banyak perkiraan yang memprediksi penurunan ini terjadi karena ketahanan Bitcoin belum teruji. "Saya pikir Bitcoin akan sampai ke harga $15.000 setara Rp 228.615.000 per koin karena ada banyak sentimen negatif," jelas Michael Purves.

Bitcoin, cryptocurrency terbesar, telah turun sekitar 13,7% pada Sabtu sore ke level terendah US$ 17.593, level terlemah sejak Desember 2020, sebelum sempat merangkak ke $18.556, masih turun 9,22% dari penutupan sebelumnya. Hal ini berarti, Bitcoin telah kehilangan 60% dari nilainya tahun ini, sedangkan Ether yang dibangun di atas blockchain Ethereum turun 74%. Pada tahun 2021, Bitcoin mencapai rekor tertingginya lebih dari US$ 68.000/koin.

"Menembus US$ 20.000 menunjukkan bahwa kepercayaan telah runtuh untuk industri crypto dan bahwa masyarakat melihat tekanan terbaru," Edward Moya, analis pasar senior di OANDA.

Moya mengatakan bahwa bahkan pemandu sorak crypto paling keras dari reli besar sekarang diam. Mereka masih optimistis dalam jangka panjang, tetapi mereka berhenti mengatakan ini adalah waktu untuk membeli meski harga turun terus. Jeffrey Gundlach, CEO DoubleLine Capital, mengatakan pada hari Rabu bahwa dia tidak akan terkejut jika Bitcoin turun menjadi US$ 10.000 untuk setiap koinnya.


Friday, June 10, 2022

Benarkah Laju Inflasi Indonesia Terkendali?

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim Indonesia masih bisa mengendalikan inflasi saat sejumlah negara dunia mengalami lonjakan harga komoditas karena ketidakpastian global.

"Kita meskipun ada kenaikan sedikit tapi masih bisa kita jaga dan kendalikan. Coba dilihat sudah ada negara yang inflasinya sudah di atas 70 persen," ungkapnya dalam perayaan HUT ke-50 tahun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Jakarta, Jumat (10/6).

Jokowi menuturkan saat ini inflasi memang menjadi momok bagi semua negara di dunia. Hal itu dipicu oleh kenaikan harga barang pangan dan energi. Bahkan, kata dia, inflasi AS telah meningkat hingga 8,3 persen dari tren biasanya di satu persen. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tercatat hanya 3,55 persen (yoy) hingga Mei 2022.

Meski begitu, ia meminta semua pihak untuk tetap peka terhadap krisis. Jangan sampai merasa kondisi normal sehingga mengurangi kewaspadaan. "Jangan sampai kita merasa normal padahal keadaannya betul-betul pada situasi yang tidak normal ketidakpastian ini. Ini yang harus kita jaga semuanya," ujar Jokowi.

Lebih lanjut, ia juga memperkirakan 60 negara akan mengalami kesulitan keuangan dan ekonomi di tengah ketidakpastian global saat ini. "Diperkirakan ada 60 negara yang akan mengalami kesulitan keuangan dan ekonomi, diperkirakan mereka akan menjadi negara gagal kalau tidak bisa segera menyelesaikan masalah ekonominya ini," kata dia.

Jokowi menyebut kenaikan harga energi dan kenaikan harga pangan menjadi masalah ekonomi global saat ini. Komoditas energi seperti batu bara, minyak, dan gas telah mengalami kenaikan harga. Karena hal tersebut, Bank Dunia sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Terutama untuk negara-negara berkembang.

"Dari yang sebelumnya 6,6 persen proyeksi di 2022 diturunkan menjadi 3,4 persen, anjlok betul," katanya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan 60 negara mengalami kesulitan keuangan dan ekonomi di tengah ketidakpastian global saat ini. "Diperkirakan ada 60 negara yang akan mengalami kesulitan keuangan dan ekonomi, diperkirakan mereka akan menjadi negara gagal kalau tidak bisa segera menyelesaikan masalah ekonominya ini," ujarnya dalam dalam perayaan HUT ke-50 tahun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), di Jakarta, Jumat (10/6).

Ia menuturkan saat ini ada dua masalah besar dalam perekonomian dunia. Pertama, soal kenaikan harga energi dan pangan. Kedua, ketidakpastian global akibat perang. Jokowi menyebut bank dunia saja sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. "Utamanya di negara-negara berkembang, dari yang sebelumnya 6,6 persen proyeksi di 2022 diturunkan menjadi 3,4 persen, anjlok betul," kata dia.

Selain itu, inflasi juga menjadi momok semua negara di dunia. Menurutnya saat ini sudah ada negara dengan inflasi mencapai 70 persen. Bahkan, AS yang biasanya 1 persen, saat ini sudah 8,3 persen.

"Inilah problem besar semua negara," imbuhnya.

Tidak hanya itu, menurut Jokowi, saat ini negara-negara di dunia juga tengah dihantui oleh kenaikan harga batu bara yang naik hingga 133 persen. Kemudian, harga minyak dunia naik 58 persen. Lalu crude palm oil (CPO) naik 27 persen.

Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak agar mewaspadai kenaikan harga-harga lainnya imbas dari melesatnya harga energi tersebut. "Hati-hati di luar itu (ada potensi) kenaikan-kenaikan yang perlu kita waspadai," tandasnya.

Bank Dunia Pangkas Pertumbuhan Ekonomi China Jadi 4,3 Persen Akibat Lock Down Berkelanjutan

 Bank Dunia (World Bank) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China sebesar 0,8 persen menjadi 4,3 persen pada 2022. Mengutip AFP, Sabtu (11/6), ekonomi China akan memburuk karena pandemi covid-19. Pasalnya, negara itu menganut kebijakan nol covid.

China melakukan lockdown untuk membatasi mobilitas masyarakat. Dengan kebijakan itu, pemerintah berharap kasus covid-19 melandai. Namun, lockdown memberikan dampak negatif untuk China. Sebab, kegiatan ekonomi di negara itu menjadi tertahan.

"Ini sebagian besar mencerminkan kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh wabah omicron dan lockdown yang berkepanjangan di beberapa bagian China dari Maret hingga Mei," tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Pada Maret-Mei 2022, China melakukan lockdown di beberapa kota, seperti pusat manufaktur Shenzhen dan Shanghai. "Dalam jangka pendek, China menghadapi tantangan ganda untuk menyeimbangkan mitigasi covid-19 dengan mendukung pertumbuhan ekonomi. Dilemanya adalah bagaimana membuat stimulus kebijakan efektif, selama pembatasan mobilitas tetap ada," kata Country Director Bank Dunia untuk China, Mongolia, dan Korea Martin Raiser.

Meski begitu, Raiser mengatakan aktivitas ekonomi China mulai pulih pada semester II 2022. Hal itu akan didorong stimulus fiskal dan pelonggaran aturan terkait perumahan. Bank Dunia melihat permintaan domestik akan pulih secara bertahap. Setelah itu, konsumsi akan meningkat dan mendorong ekonomi China.


Friday, June 3, 2022

Badai Startup Bangkrut dan PHK Mulai Menghantam Indonesia

 Istilah 'bakar duit' melekat erat pada perusahaan rintisan di bidang teknologi atau startup. Bakar duit sendiri dilakukan sebagai upaya untuk menggaet konsumen dengan waktu yang cepat ketika produk startup tidak memiliki inovasi atau nilai tambah terhadap kompetitor yang telah lebih dahulu hadir

Pemerhati startup sekaligus Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia periode 2018-2020 Ignatius Untung memberikan penjelasan soal bakar duit ini. Ia menjelaskan, model bisnis startup ialah mendapatkan uang dari investor untuk mendorong bisnis. Startup sendiri melakukan bakar duit sejalan dengan janji janji manis yang diberikan kepada investor yang menginginkan pertumbuhan bisnis yang baik.

"Karena gini, startup itu kan business model-nya adalah mendapatkan uang banyak dari investor, lalu didorong untuk dilakukan bisnis. Yang sebelum-sebelumnya nggak bisa disalahkan startupnya sendiri kalau kita tanda kutip bakar uang dan sebagainya, karena juga investor yang ngedorong untuk harus punya growth yang bagus," katanya 

Bagi startup, bakar uang merupakan sesuatu yang bikin 'deg-degan' bagi investor maupun pendiri. Bagi pendiri startup tahap ini adalah tahap dapat jackpot milyaran atau harus memulai dari nol. Namun, berbagai upaya dilakukan karena menimbang harapan pertumbuhan kinerja yang tinggi.

"Siapa yang mau bakar uang sih, deg-degan juga kita bakar uang. Tapi karena ekspektasi untuk drive performance yang sebegitu tinggi terjadi, akhirnya ya mau nggak mau ya digas. Caranya ngegas gimana? Awalnya pasti nggak bakar uang karena yang namanya ada uang terus habis itu kita hambur-hamburkan dalam tanda kutip itu juga pasti deg-degan," katanya.

"Tapi sudah segala cara termasuk bakar uang, ternyata bakar uang ini dalam beberapa kasus, nggak semua kasus, dalam beberapa kasus terbukti manjur untuk nge-drive growth itu tadi," tambahnya. Yang jadi masalah, katanya, pertumbuhan ini berkelanjutan atau tidak. Ketika uang itu habis, startup akan meminta suntikan dana lagi ke investor. Nah, kondisi ini yang menunjukkan startup tidak kebal terhadap kondisi ekonomi. Saat ekonomi sedang tidak menentu seperti sekarang, investor pun cenderung menahan dananya.

"Itu yang membuat sebenarnya memang bisnis startup memang tidak kebal amat, sangat tidak kebal terhadap kondisi-kondisi ekonomi seperti ini. Karena ketika kondisi ekonomi seperti ini investor pun nahan uang, jadi mereka pun akan mikir mau suntik apa nggak, 'Ah ntar dulu deh kita pun butuh megang uang sekarang'," terangnya.

Dengan kondisi begitu, startup yang butuh dana pun putar otak ketika dana yang dimiliki seret. Maka itu, untuk bisa bertahan startup mengurangi pengeluaran termasuk pegawai. "Jadi mereka yang butuh suntikan dana ya mau minta dari mana otomatis harus mikir, gimana caranya saya bisa bertahan hidup sampai pada akhirnya lewat. Cara untuk bisa bertahan untuk badai yang lewat salah satu opsinya memang mengurangi pengeluaran, salah satunya pegawai dan sebagainya," jelasnya.

Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan rintisan di bidang teknologi atau startup tengah menjadi topik perbincangan yang hangat di Tanah Air. Hal tersebut pun kerap kali dikaitkan dengan fenomena bubble burst. Bubble burst atau situasi bubble secara umum merupakan kondisi yang terjadi ketika nilai pasar naik dengan sangat cepat, terutama pada nilai aset dan diikuti oleh penurunan yang cepat. Lalu, benarkah hal itu sedang terjadi?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira menjelaskan, kondisi saat masih menjadi perdebatan dan masih terlalu dini jika dibilang bubble. Sebab, kondisi saat ini banyak berbeda dengan kondisi bubble yang terjadi sebelumnya seperti dotcom bubble.

"Tapi yang jelas, beberapa startup itu ada yang menjadi masalah utamanya adalah soal pendanaan. Produknya bisa matching tapi dari sisi pendanaan ada beberapa perubahan memang. Pendanaan merupakan akar masalahnya. Bhima menjelaskan, sebelum pandemi tingkat suku bunga sangat rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan suku bunga negatif.

Kondisi saat itu, likuiditas sedang melimpah. Sementara, aset-aset tradisional kurang menarik untuk menjadi tempat investasi. "Emas kurang menarik, surat utang bunganya kecil banyak yang akhirnya berinvestasi di perusahaan rintisan ataupun startup ini," sambungnya. Menurut Bhima, di tengah euforia investasi biasanya ada koreksi. Dia pun menuturkan, proses seleksi alam pun kemudian berlangsung.

"Jadi startup yang produknya tidak fit di pasar, pendanaannya kemudian bermasalah, mereka melakukan efisiensi, itu untuk menata ulang persaingan. Terutama yang sebelumnya mungkin melakukan burning money, bakar uang untuk dapat customer dalam waktu singkat, market share-nya naik dalam waktu singkat, mungkin dituntut agar pertumbuhannya lebih organik," paparnya.

Sementara, Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia periode 2018-2020 Ignatius Untung menilai, penyebab PHK yang terjadi di sejumlah startup ialah kondisi ekonomi global.

"Kita mengantisipasi kondisi ekonomi global yang mulai orang bilang resesi lah ya. Indonesia mungkin belum masuk, mungkin kita baru di depan pintu, tapi kita sudah lihat negara-negara yang sudah lebih dulu, yang sudah kena Turki inflasinya sampai double digit, Amerika juga mencatat rekor tertinggi inflasi, China pun sudah mulai siap-siap," terangnya.

Tapi kalau dihubungkan dengan yang tadi dibilang tech bubble dan lain sebagainya saya ko tidak melihat, saya bukan tidak bilang iya, saya nggak bilang bahwa bukan itu penyebabnya, tapi setidaknya itu bukan penyebab utamanya. Jadi bener-bener pure hanya karena resesi. Sayangnya bisnis model startup memang rentan resesi karena biasanya tidak memiliki inovasi yang memadai selain modal investor yang besar serta mimpi mendapatkan uang mudah