Krisis ekonomi tengah melanda Sri Lanka hingga membuatnya bangkrut. Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).
Selain Sri Lanka, kebangkrutan sebenarnya pernah dialami sejumlah negara. Bahkan, kebangkrutan terjadi jauh sebelum ketidakpastian ekonomi global akibat perang dan pandemi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan negara yang bangkrut akan mengalami kondisi ekonomi yang semakin terpuruk. Pasalnya, belanja pemerintah yang menjadi bantalan merosot tajam.
"Kalau bangkrut ekonominya akan semakin buruk drastis," ujar Tauhid. Pengeluaran pemerintah yang berkurang membuat stimulus ke ekonomi menurun drastis. Negara yang bangkrut juga akan kesulitan melakukan perdagangan ekspor dan impor karena tak memiliki devisa. Negara bangkrut kemudian akan mengandalkan pajak. Namun, kondisi ekonomi yang buruk akan membuat masyarakat sulit membayar pajak.
"Otomatis dia harus menuunkan pajaknya sendiri agar orang-orang yang mampu bisa bayar," ujar Tauhid. Negara bangkrut juga akan mengalami inflasi gila-gilaan. Bahkan, inflasinya bisa di atas 30 persen karena persediaan barang yang semakin sedikit. Tauhid menjelaskan krisis yang sedang dialami Sri Lanka tidak berpengaruh terlalu besar terhadap Indonesia. Pasalnya, Sri Lanka bukan mitra perdagangan utama Indonesia.
"Setahu saya kecil untuk kita punya mitra hubungan dengan Sri Lanka karena buka mitra dagang utama. Kalau mitra dagang utama, pasar ekspor kita di negara dia besar, otomatis berdampak " ujar Tauhid.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan negara bangkrut akan mengalami krisis pangan yang membuat masyarakat melakukan panic buying dan penimbunan yang memberikan efek kelangkaan di berbagai tempat. Kemudian, mata uang negara tersebut tidak lagi memiliki nilai dan kehilangan kepercayaan dari pelaku usaha dan masyarakat.
"Maka proses barter atau pertukaran barang akan menggantikan transaksi dengan mata uang. Muncul transaksi di pasar gelap dan di perbatasan dengan negara lain," ujar Bhima. Selain itu, kepercayaan kreditur yang hilang akan membuat suku bunga naik signifikan sehingga mempersulit pelaku usaha dan pemerintah mendapat pendanaan baru.
Sementara itu, masyarakat akan berbondong-bondong mengungsi ke perbatasan. Gelombang pengungsian akan berdampak permanen ke masa depan ekonomi karena hilangnya talenta untuk membangun kembali perekonomian. Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe akhirnya bicara soal penyebab negaranya menjadi bangkrut. Ranil mengatakan krisis ekonomi yang terjadi di negaranya dipicu oleh utang luar negeri Sri Lanka yang cukup besar. Selain itu, melansir AP, bangkrutnya Sri Lanka juga dipicu kondisi ekonomi negara yang kandas karena kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi covid-19.
Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena utang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang US$700 juta atau setara dengan Rp10,4 triliun (asumsi kurs Rp14.866 per dolar AS).
"Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe. Kondisi juga diperparah oleh lonjakan harga komoditas. Tak ayal, krisis datang bertubi-tubi ke negara tersebut, mulai dari keuangan, energi, pangan hingga kesehatan.
Krisis yang terjadi di Sri Lanka itu juga membuat mau tak mau sekolah dan kantor pemerintahan ditutup tidak bisa melayani masyarakat. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ciri suatu negara bisa dikatakan bangkrut adalah saat tidak mampu membayar utang.
Menurutnya, ketidakmampuan Sri Lanka dalam membayar utang luar negeri disebabkan karena fundamental negerinya tidak mampu menopang dampak dari global. Apalagi semua komoditas pangannya impor sehingga saat terjadi kenaikan harga global defisit anggarannya membengkak karena belanja yang meningkat tajam.
Sementara itu, Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kolombo menyatakan akibat dari krisis tersebut banyak warga beralih ke kayu bakar untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe akhirnya buka suara soal kebangkrutan yang menimpa negaranya. Ia mengatakan kondisi ekonomi negaranya kini memang tengah krisis saat ini.
Krisis terjadi akibat utang luar negeri Sri Langka yang cukup besar dan kondisi buruk lainnya. Melansir AP, ekonomi Sri Lanka juga kandas akibat kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi covid-19. Kondisi juga diperparah oleh lonjakan harga komoditas. Akibatnya, Sri Lanka tidak memiliki uang untuk mengimpor bahan bakar, listrik, serta makanan.
"Ekonomi kita benar-benar runtuh," ujar Wickremesinghe kepada Parlemen.
Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena hutang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang US$700 juta. "Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe.
Wickremesinghe pun tidak menyebutkan perkembangan baru yang spesifik terkait kondisi Sri Lanka. "Anda tidak bisa membiarkan negara dengan kepentingan strategis seperti itu runtuh," kata ekonom Center for Global Development Anit Mukherjee. Sementara, anggota parlemen dari dua partai oposisi utama memboikot Parlemen pada minggu ini untuk karena gagal memenuhi janjinya untuk mengubah perekonomian.
Krisis mulai berdampak pada masyarakat kelas menengah Sri Lanka yang diperkirakan mencapai 15 persen hingga 20 persen dari populasi perkotaan negara itu. Padahal keluarga kelas menengah umumnya menikmati keamanan ekonomi. Namun, sekarang mereka yang tidak pernah berpikir dua kali tentang bahan bakar atau makanan sedang berjuang untuk mengatur makan tiga kali sehari.
"Jika kelas menengah berjuang seperti ini, bayangkan betapa terpukulnya mereka yang lebih rentan," kata Bhavani Fonseka, peneliti senior di Pusat Alternatif Kebijakan Kolombo.
No comments:
Post a Comment