Istilah 'bakar duit' melekat erat pada perusahaan rintisan di bidang teknologi atau startup. Bakar duit sendiri dilakukan sebagai upaya untuk menggaet konsumen dengan waktu yang cepat ketika produk startup tidak memiliki inovasi atau nilai tambah terhadap kompetitor yang telah lebih dahulu hadir
Pemerhati startup sekaligus Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia periode 2018-2020 Ignatius Untung memberikan penjelasan soal bakar duit ini. Ia menjelaskan, model bisnis startup ialah mendapatkan uang dari investor untuk mendorong bisnis. Startup sendiri melakukan bakar duit sejalan dengan janji janji manis yang diberikan kepada investor yang menginginkan pertumbuhan bisnis yang baik.
"Karena gini, startup itu kan business model-nya adalah mendapatkan uang banyak dari investor, lalu didorong untuk dilakukan bisnis. Yang sebelum-sebelumnya nggak bisa disalahkan startupnya sendiri kalau kita tanda kutip bakar uang dan sebagainya, karena juga investor yang ngedorong untuk harus punya growth yang bagus," katanya
Bagi startup, bakar uang merupakan sesuatu yang bikin 'deg-degan' bagi investor maupun pendiri. Bagi pendiri startup tahap ini adalah tahap dapat jackpot milyaran atau harus memulai dari nol. Namun, berbagai upaya dilakukan karena menimbang harapan pertumbuhan kinerja yang tinggi.
"Siapa yang mau bakar uang sih, deg-degan juga kita bakar uang. Tapi karena ekspektasi untuk drive performance yang sebegitu tinggi terjadi, akhirnya ya mau nggak mau ya digas. Caranya ngegas gimana? Awalnya pasti nggak bakar uang karena yang namanya ada uang terus habis itu kita hambur-hamburkan dalam tanda kutip itu juga pasti deg-degan," katanya.
"Tapi sudah segala cara termasuk bakar uang, ternyata bakar uang ini dalam beberapa kasus, nggak semua kasus, dalam beberapa kasus terbukti manjur untuk nge-drive growth itu tadi," tambahnya. Yang jadi masalah, katanya, pertumbuhan ini berkelanjutan atau tidak. Ketika uang itu habis, startup akan meminta suntikan dana lagi ke investor. Nah, kondisi ini yang menunjukkan startup tidak kebal terhadap kondisi ekonomi. Saat ekonomi sedang tidak menentu seperti sekarang, investor pun cenderung menahan dananya.
"Itu yang membuat sebenarnya memang bisnis startup memang tidak kebal amat, sangat tidak kebal terhadap kondisi-kondisi ekonomi seperti ini. Karena ketika kondisi ekonomi seperti ini investor pun nahan uang, jadi mereka pun akan mikir mau suntik apa nggak, 'Ah ntar dulu deh kita pun butuh megang uang sekarang'," terangnya.
Dengan kondisi begitu, startup yang butuh dana pun putar otak ketika dana yang dimiliki seret. Maka itu, untuk bisa bertahan startup mengurangi pengeluaran termasuk pegawai. "Jadi mereka yang butuh suntikan dana ya mau minta dari mana otomatis harus mikir, gimana caranya saya bisa bertahan hidup sampai pada akhirnya lewat. Cara untuk bisa bertahan untuk badai yang lewat salah satu opsinya memang mengurangi pengeluaran, salah satunya pegawai dan sebagainya," jelasnya.
Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan rintisan di bidang teknologi atau startup tengah menjadi topik perbincangan yang hangat di Tanah Air. Hal tersebut pun kerap kali dikaitkan dengan fenomena bubble burst. Bubble burst atau situasi bubble secara umum merupakan kondisi yang terjadi ketika nilai pasar naik dengan sangat cepat, terutama pada nilai aset dan diikuti oleh penurunan yang cepat. Lalu, benarkah hal itu sedang terjadi?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira menjelaskan, kondisi saat masih menjadi perdebatan dan masih terlalu dini jika dibilang bubble. Sebab, kondisi saat ini banyak berbeda dengan kondisi bubble yang terjadi sebelumnya seperti dotcom bubble.
"Tapi yang jelas, beberapa startup itu ada yang menjadi masalah utamanya adalah soal pendanaan. Produknya bisa matching tapi dari sisi pendanaan ada beberapa perubahan memang. Pendanaan merupakan akar masalahnya. Bhima menjelaskan, sebelum pandemi tingkat suku bunga sangat rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan suku bunga negatif.
Kondisi saat itu, likuiditas sedang melimpah. Sementara, aset-aset tradisional kurang menarik untuk menjadi tempat investasi. "Emas kurang menarik, surat utang bunganya kecil banyak yang akhirnya berinvestasi di perusahaan rintisan ataupun startup ini," sambungnya. Menurut Bhima, di tengah euforia investasi biasanya ada koreksi. Dia pun menuturkan, proses seleksi alam pun kemudian berlangsung.
"Jadi startup yang produknya tidak fit di pasar, pendanaannya kemudian bermasalah, mereka melakukan efisiensi, itu untuk menata ulang persaingan. Terutama yang sebelumnya mungkin melakukan burning money, bakar uang untuk dapat customer dalam waktu singkat, market share-nya naik dalam waktu singkat, mungkin dituntut agar pertumbuhannya lebih organik," paparnya.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia periode 2018-2020 Ignatius Untung menilai, penyebab PHK yang terjadi di sejumlah startup ialah kondisi ekonomi global.
"Kita mengantisipasi kondisi ekonomi global yang mulai orang bilang resesi lah ya. Indonesia mungkin belum masuk, mungkin kita baru di depan pintu, tapi kita sudah lihat negara-negara yang sudah lebih dulu, yang sudah kena Turki inflasinya sampai double digit, Amerika juga mencatat rekor tertinggi inflasi, China pun sudah mulai siap-siap," terangnya.
Tapi kalau dihubungkan dengan yang tadi dibilang tech bubble dan lain sebagainya saya ko tidak melihat, saya bukan tidak bilang iya, saya nggak bilang bahwa bukan itu penyebabnya, tapi setidaknya itu bukan penyebab utamanya. Jadi bener-bener pure hanya karena resesi. Sayangnya bisnis model startup memang rentan resesi karena biasanya tidak memiliki inovasi yang memadai selain modal investor yang besar serta mimpi mendapatkan uang mudah
No comments:
Post a Comment