Wednesday, September 23, 2015

Tarif Inap Kontainer Dinaikan Pemerintah Sebesar 18 Ribu Persen

Pemerintah memastikan akan segera menaikkan biaya denda bagi kontainer atau peti kemas yang telah melewati batas waktu penumpukan di pelabuhan menjadi Rp 5 juta per hari. Angka tersebut naik 18.081 persen dari tarif dasar pinalti sebesar Rp 27.200 per hari untuk peti kemas ukuran 20 kaki dan naik 8.520 persen dari sebelumnya Rp 58 ribu per hari untuk peti kemas 40 kaki.

Deputi II Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan atasannya yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli telah menyurati Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk menyiapkan aturan baru terkait denda peti kemas yang sudah melalui tahap custom post clearance audit, namun masih menginap di pelabuhan.

“Pada hari keempat menginap, Pak Menko minta dikenakan denda Rp 5 juta per peti kemas per hari. Kalau besoknya belum diangkat tambah lagi Rp 5 juta, begitu seterusnya,” ujar Agung di kantornya, Jakarta, Rabu (23/9). Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Satuan Tugas (Satgas) Dwelling Time tersebut memastikan uang yang dikumpulkan dari denda itu nantinya akan masuk ke kas negara dan tidak lagi masuk ke kas operator pelabuhan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 117 tahun 2015 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Tanjung Priok, batas inap peti kemas di pelabuhan adalah tiga hari. Jangka waktu itu diberikan pemerintah agar pemilik peti kemas bisa mencari truk pengangkut.

Apabila melebihi batas waktu penumpukan tiga hari, lanjut Agung, importir harus membayar denda/tarif inap di pelabuhan sebesar Rp 27.500 per hari per peti kemas ukuran 20 kaki. Tarif denda itu dinilai sangat rendah sehingga dimanfaatkan oknum importir yang sudah memiliki Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) untuk menimbun barang di pelabuhan Tanjung Priok. “Jadi kami pernah memeriksa dokumen di Jakarta International Container Terminal (JICT). Di situ sudah jelas ada izin dari Bea Cukai untuk mengeluarkan peti kemasnya katakanlah 1 Maret. Namun ada tulisan tangan di bawahnya yang memperpanjangnya sampai 15 Maret. Rupanya ada deal sendiri di bawahnya ini,” kata Agung.

Agung berharap Kementerian Perhubungan (Kemenhub) segera menerbitkan revisi ketentuan tarif inap peti kemas itu. Dengan demikian, importir tidak lagi berpikir untuk menimbun barang di pelabuhan. Menurut Agung, pelabuhan itu seharusnya hanya menjadi tempat bongkar muat bukan gudang penimbunan.

“Kalau bisa secepatnya (kenaikan tarif denda berlaku), tergantung Menteri Perhubungan kapan bisa membuat aturan itu,” kata Agung. Ditemui di tempat sama, Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Kemenhub Antonius Tonny Budiono mengungkapkan besaran tarif denda sebesar Rp 5 juta akan dibicarakan lebih lanjut oleh tim satgas. Selanjutnya, pemberlakuan tarif denda itu nantinya hanya akan berlaku di Pelabuhan Tanjung Priok.

“Kalau di pelabuhan lain kan tidak ada masalah di dwelling time, yang ada masalah kan di Tanjung Priok (karena) ada permainan antara operator pelabuhan dan si importir. Si importir tidak punya gudang jadi barangnya diinapkan karena dendanya sedemikian murah,” kata Tonny.
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengkritik rencana pemerintah menerapkan sanksi denda sebesar Rp 5 juta per kontainer per hari yang menginap melebihi waktu normal. Penalti tersebut dinilai ALI tidak jelas dan membingungkan para pengusaha logistik nasional. Ketua Umum ALI Zaldy Masita memahami bahwa rencana kebijakan penalti tersebut merupakan upaya pemerintah mengurangi waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan.

Namun, ia mengungkapkan bahwa lamanya waktu inap terkadang bukan karena kesengajaan importir, tetapi kerap kali karena kesalahan otoritas pelabuhan maupun 18 Kementerian atau Lembaga (K/L) yang mengurusi bongkar muat di pelabuhan. "Rencana kebijakan ini masih kurang jelas. Kalau memang salah importir oke mungkin bisa dikenakan ke mereka, tapi kalau ini salahnya otoritas pelabuhan atau 18 K/L nanti penaltinya dibayar oleh siapa? Importir lagi?" jelas Zaldy kepada CNN Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (23/7).

Dari keseluruhan kasus penimbunan kontainer yang terlampau lama di pelabuhan, Zaldy mengatakan hanya sekitar 20 persen yang murni kesalahan importir. Menurutnya, sebagian besar importir tak bisa mengeluarkan kontainernya akibat lambatnya penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) yang melibatkan operator pelabuhan dan 18 K/L tersebut. "Kalau misalkan begitu, tak adil kan kalau penalti diberikan ke importir. Memang cara ini kami anggap efektif untuk mengurangi dwelling time, namun kami minta objeknya diperiksa lagi," jelasnya.

Setali tiga uang dengan Zaldy, Sektetaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Ridwan Tento juga mempertanyakan objek pengenaan penalti tersebut. Pasalnya, saat ini juga tengah terjadi dualisme peraturan yang mengatur kapan peti kemas itu keluar dari pelabuhan.

Peraturan yang dimaksud Ridwan adalah Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 117 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa pengeluaran kontainer dari pelabuhan bisa dilakukan oleh pengusaha, dan pengusaha bisa menginapkan kontainernya di pelabuhan selama tiga hari untuk mencari truk angkutan di pelabuhan.

Namun, jelas Ridwan, ternyata peraturan itu berbanding terbalik dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa barang baru boleh keluar dari pelabuhan jika sudah disetujui oleh petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di pelabuhan. Apabila lamanya waktu inap petikemas terjadi karena adanya dualisme peraturan ini, ia mempertanyakan objek pengenaan penalti tersebut.

"Di sini ada bentrokan peraturan. Kalau misalnya pihak regulator masih menggunakan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 117 Tahun 2015, maka importir tak bisa disalahkan. Kadang lamanya waktu inap itu tidak pernah disebabkan oleh kami, sebagai importir kan kami inginnya barang cepat keluar dari pelabuhan," jelas Ridwan. Di samping itu, ia menjelaskan, kalau lamanya waktu inap petikemas juga disebabkan oleh waktu operasional otoritas pelabuhan. Ia mencotohkan, kadang petikemas yang tiba di pelabuhan pada hari Jumat minimal baru bisa diambil pada hari Senin karena pelabuhan tak beroperasi pada akhir pekan.

"Dan lamanya waktu tinggal petikemas saat weekend itu juga bukan salah importir. Kalau memang kebijakan otoritas pelabuhan seperti itu, apakah kami juga yang kena denda? Atau otoritas pelabuhan yang kena denda? Rencana kebijakan ini masih kurang jelas," kata Ridwan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli telah mengirim surat ke Kementerian Perhubungan untuk menetapkan angka penalti sebesar Rp 5 juta per kontainer per hari untuk petikemas yang sudah memasuki fase post custom clearance. Pasalnya, denda inap sebesar Rp 27.500 per kontainer per hari untuk kontainer ukuran 20 kaki masih terlalu murah dan rawan penyalahgunaan.

No comments:

Post a Comment