Tuesday, September 15, 2015

Rupiah Sudah Terdepresiasi Sebanyak 15,87 Persen Sejak Awal Tahun

Sejak awal tahun nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia mencatat sejak Januari hingga Senin (14/9) kemarin, rupiah sudah melemah sebanyak 15,87 persen (year to date). Gubernur BI Agus Martowardojo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (15/9) mengatakan saat ini nilai tukar rupiah sudah jatuh terlalu dalam dan berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalue).

Agus mengatakan sepanjang Januari hingga 14 September rata-rata nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 13.100-Rp 13.400 per dolar. "Pergerakan nilai tukar sampai 14 september 2015 rupiah melemah 15,87 persen sepanjang tahun ini, lebih tinggi dari depresiasi 2014 lalu yang mencapai Rp 13 ribu-Rp 13.200 per dolar," kata Agus.

Mantan Menteri Keuangan menyebut depresiasi nilai tukar rupiah akibat berkurangnya arus modal asing ke dalam negeri akibat sentimen global, khususnya normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS dan devaluasi mata uang China, yuan. Tingginya kebutuhan valuta asing (valas) tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan valas di pasar keuangan. Hal itu membuat nilai tukar rupiah tertekan dalam.

"Berkurangnya arus modal menyebabkan sumber pasokan devisa ke pasar valas menurun sehingga pasar secara keseluruhan mengalami kelebihan permintaan devisa, yang berdampak pada depresiasi nilai tukar rupiah secara terus menerus sepanjang semester I 2015," jelasnya. Pada hari ini, Rabu (2/9), kurs tengah Bank Indonesia ditetapkan di level Rp 14.127 per dolar AS, melemah 46 poin atau 0,33 persen dari kurs tengah hari kemarin.

Lebih lanjut, kurs jual ditetapkan di Rp 14.198 per dolar AS, sedangkan kurs beli berada di Rp14.056 per dolar AS. Selisih antara kurs jual dan beli melebar ke Rp 142 per dolar AS. Rangga Cipta, ekonom Samuel Sekuritas mengatakan rupiah justru melemah ketika mata uang lain di Asia menguat signifikan terhadap dolar AS. Depresiasi kurs terjadi karena merespon data inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS merilis inflasi bulan lalu sebesar 0,39 persen secara bulanan (month to month) atau 7,18 persen secara tahunan (year on year).  “Rupiah kembali melemah hari ini karena melihat harga komoditas yang turun drastis,” jelasnya dalam riset, Rabu (2/9).  Menurutnya, posisi cadangan devisa pada akhir pekan ini kemungkinan kembali turun. Hal ini berpotensi meningkatkan kekhawatiran terhadap kemampuan BI mencegah depresiasi rupiah yang lebih dalam.

Terkait inflasi, Ekonom Mandiri Sekuritas, Aldian Taloputra mengakui prediksi inflasi bulan lalu yang dibuat perusahaannya meleset dari realisasi. Mandiri Sekuritas sebelumnya memperkirakan laju inflasi Agustus tidak akan jauh dari 0,63 persen. “Secara umum, prediksi inflasi kami terlalu over-estimate pada kelompok harga baju dan makanan pada perbandingan periode yang sama,” jelasnya.

Meski inflasi turun di bawah ekspektasi, Aldian menilai kecil kemungkinan bank sentral mengubah BI rate pada tahun ini.  “Kami meyakini BI akan tetap pada level yang sama yaitu 7,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur selanjutnya, yang semata-mata akibat risiko eksternal,” kata Aldian.

Sebelumnya, Gubernur Bank BI Agus D.W. Martowardojo memberi sinyal bank sentral akan menahan suku bunga acuan (BI rate) di angka 7,5 persen untuk jangka waktu yang cukup lama. Agus menyebut cara paling aman untuk menjaga stabilitas moneter adalah dengan tidak mengubah suku bunga.

“Sekarang ini kondisi dunia sedang dalam kondisi tidak pasti. Amerika Serikat (AS) sejak 2010 bunganya dibuat rendah dan diberikan likuiditas ke seluruh dunia. Sekarang karena ekonominya membaik dia mau naikkan tingkat bunganya,” ujar Agus di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), belum lama ini. 

Lebih lanjut, Agus memprediksi rata-rata nilai tukar rupiah hingga akhir 2015 akan berada di kisaran Rp 13.100-Rp 13.400 per dolar. Guna mengatasi tekanan itu, BI menurut Agus akan menggunakan instrumen kebijakan makro prudensial untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

"Nilai tukar rupiah tercatat terlalu dalam dan di bawah nilai fundamentalnya. BI akan mengambil berbagai langkah kebijakan dalam menjaga stabilitas perekonomian dan nilai tukar termasuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," katanya. Agus juga memprediksi nilai tukar rupiah pada tahun depan akan berada di kisaran Rp 13.400-Rp 13.900 per dolar. Perkiraan itu lebih tinggi dari asumsi pemerintah yang teruang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yakni Rp 13.400.

Pertimbangan nilai tukar tahun ini masih dipengaruhi oleh rencana The Fed yang diprediksi akan menaikkan Fed Rate lebih dari sekali tahun depan. Dari segi domestik risiko defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), hal tersebut masih memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

"Tekanan pergerakan rupiah masih dipengaruhi oleh The Fed dan devaluasi mata uang yuan oleh China, serta CAD yang masih defisit US$ 19 miliar dapat memberikan tekanan terhadap rupiah," kata Agus. Namun ia optimistis akan ada sentimen yang menguatkan nilai tukar rupiah di tahun depan yakni optimisme para investor terhadap prospek ekonomi Indonesia secara jangka panjang

No comments:

Post a Comment