Ade mengusulkan pemerintah segera bertindak konkret seperti membantu dunia usaha dari tekanan biaya produksi seperti harga bahan baku, keringanan pajak, tarif listrik dan lainnya. Selain itu, pemerintah segera melakukan perbaikan daya beli masyarakat dengan beberapa program nyata di masyarakat agar daya beli membaik. "Kita ingin ada solusi terbaik, sudah beberapa dilontarkan pemerintah," kata Ade.
Pertama, Ade mendesak pemerintah segera merealisasikan regulasi soal keberadaan kawasan logistik berikat untuk kapas sebagai bahan baku benang. Konsep ini diharapkan bisa membantu pengusaha tekstil mendapatkan bahan baku lebih efisien. Selama ini, pengusaha tekstil harus mengimpor kapas dari trader yang bahan bakunya tersedia di Singapura. Kondisi ini membuat pengusaha di dalam negeri menyimpan kapas dalam jumlah banyak di gudang. Targetnya skema ini baru akan terealisasi akhir tahun ini. "Kalau ada kawasan logistik berikat kita tak perlu banyak simpan kapas di gudang kita. Bisa menghemat ongkos seperti biaya asuransi seperti asuransi, sewa gudang, kepemilikan gudang, stok lebih efesien sampai 3-4% untuk biaya bahan baku," katanya.
Kedua, adalah soal bantuan kredit ekspor dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Harapannya bunga pinjaman kredit ekspor bisa lebih rendah dari saat ini, sehingga eksportir tekstil bisa lebih ringan dalam hal biaya ekspor. "Pemerintah bisa memberikan suku bunga lebih rendah 50% saat ekspor, termasuk saat akan membeli bahan baku kredit pinjaman yang selama ini 9%. Supaya ekspor lancar," katanya.
Ketiga, pemerintah segera merealisasikan program-program yang mendorong daya beli masyarakat seperti program percepatan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), program pedesaan, dan lain-lain.
"Keempat, yang lebih luas adalah mengenai penundan pembayaran pajak PPh badan, tapi itu nggak mungkin, itu yang sulit tapi bisa dengan bantuan skema bunga pinjaman usaha dipangkas 50% dari 13%, supaya relaksasi. Listriknya juga supaya turun tarifnya, cost nomor dua setelah bahan baku adalah listrik," katanya.
Ade menegaskan usulan-usulan tersebut akan sangat membantu dunia usaha jika terealisasi, agar beban produksinya bisa ditekan dan berdaya saing. Hasilnya adalah agar potensi PHK maupun merumahkan karyawan bisa ditekan oleh pengusaha. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat Januari-September 2015 sudah ada kurang lebih 36.000 tenaga kerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat ekonomi yang lesu. PHK terjadi di 1.800 perusahaan anggota API yang mencakup sektor hulu dan hilir tekstil dan produk tekstil (TPT) yang total tenaga kerjanya mencapai 2,56 juta orang.
"Di tekstil dan produk tekstil ada 36.000 yang PHK, kalau total di seluruh sektor mungkin ratusan ribu, bisa ditanya ke BPJS (Ketenagakerjaan) data yang di-PHK," kata Ketua Umum API Ade Sudrajat. Ade mengatakan, gelombang PHK dan karyawan dirumahkan sudah terjadi sejak November tahun lalu yang dialami oleh 1.800 perusahaan anggotanya. Ia mengatakan, jumlah PHK berbeda-beda di setiap perusahaan. Ia juga mencatat ada perusahaan yang hanya merumahkan karyawan, bahkan ada yang sampai merumahkan sekaligus PHK.
"Ada 1.800 anggota API, semua hampir melakukan PHK, ada yang 10 karyawan, 20 karyawan, 100 karyawan dan lebih. Semuanya di sektor tekstil dan garmen, di hilir lebih sedikit, yang orientasi ekspor seperti garmen," katanya. Ia mengatakan, sektor yang paling terpukul adalah sektor benang dan kain karena banyak mengandalkan pasar dalam negeri yang sepanjang tahun ini justru turun 50%. Sedangkan sektor garmen atau pakaian jadi relatif tak signifikan.
"Yang PHK hampir di semua daerah, ada juga di Jawa Barat 49% (dari data API), paling banyak," katanya. Menurut Ade, berdasarkan informasi yang didapatnya dari BPJS Ketenagakerjaan (dulu Jamsostek), jumlah yang terkena PHK cukup besar. Ia mengungkapkan selama 1-15 September saja sudah ada 112.000 orang yang kena PHK di semua sektor.
Angka ini jauh berbeda dari data resmi yang disampaikan pemerintah. Sepanjang Januari hingga akhir Agustus 2015, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hanya ada 26.506 karyawan yang terkena PHK. Daerah dengan jumlah PHK paling besar adalah provinsi Jawa Barat dengan 12.000 orang. Selanjutnya adalah Banten dengan 5.424 orang, Jawa Timur dengan 3.219 orang, Kalimantan Timur 3.128 orang, dan DKI Jakarta 1.430 orang.
"Jadi kalau yang BPJS itu yang mengambil duit, sedangkan di ketenagakerjaan itu hanya yang melapor saja. Jadi lebih akurat orang yang mengambil duit (data BPJS)," katanya.
"Keempat, yang lebih luas adalah mengenai penundan pembayaran pajak PPh badan, tapi itu nggak mungkin, itu yang sulit tapi bisa dengan bantuan skema bunga pinjaman usaha dipangkas 50% dari 13%, supaya relaksasi. Listriknya juga supaya turun tarifnya, cost nomor dua setelah bahan baku adalah listrik," katanya.
Ade menegaskan usulan-usulan tersebut akan sangat membantu dunia usaha jika terealisasi, agar beban produksinya bisa ditekan dan berdaya saing. Hasilnya adalah agar potensi PHK maupun merumahkan karyawan bisa ditekan oleh pengusaha. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat Januari-September 2015 sudah ada kurang lebih 36.000 tenaga kerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat ekonomi yang lesu. PHK terjadi di 1.800 perusahaan anggota API yang mencakup sektor hulu dan hilir tekstil dan produk tekstil (TPT) yang total tenaga kerjanya mencapai 2,56 juta orang.
"Di tekstil dan produk tekstil ada 36.000 yang PHK, kalau total di seluruh sektor mungkin ratusan ribu, bisa ditanya ke BPJS (Ketenagakerjaan) data yang di-PHK," kata Ketua Umum API Ade Sudrajat. Ade mengatakan, gelombang PHK dan karyawan dirumahkan sudah terjadi sejak November tahun lalu yang dialami oleh 1.800 perusahaan anggotanya. Ia mengatakan, jumlah PHK berbeda-beda di setiap perusahaan. Ia juga mencatat ada perusahaan yang hanya merumahkan karyawan, bahkan ada yang sampai merumahkan sekaligus PHK.
"Ada 1.800 anggota API, semua hampir melakukan PHK, ada yang 10 karyawan, 20 karyawan, 100 karyawan dan lebih. Semuanya di sektor tekstil dan garmen, di hilir lebih sedikit, yang orientasi ekspor seperti garmen," katanya. Ia mengatakan, sektor yang paling terpukul adalah sektor benang dan kain karena banyak mengandalkan pasar dalam negeri yang sepanjang tahun ini justru turun 50%. Sedangkan sektor garmen atau pakaian jadi relatif tak signifikan.
"Yang PHK hampir di semua daerah, ada juga di Jawa Barat 49% (dari data API), paling banyak," katanya. Menurut Ade, berdasarkan informasi yang didapatnya dari BPJS Ketenagakerjaan (dulu Jamsostek), jumlah yang terkena PHK cukup besar. Ia mengungkapkan selama 1-15 September saja sudah ada 112.000 orang yang kena PHK di semua sektor.
Angka ini jauh berbeda dari data resmi yang disampaikan pemerintah. Sepanjang Januari hingga akhir Agustus 2015, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hanya ada 26.506 karyawan yang terkena PHK. Daerah dengan jumlah PHK paling besar adalah provinsi Jawa Barat dengan 12.000 orang. Selanjutnya adalah Banten dengan 5.424 orang, Jawa Timur dengan 3.219 orang, Kalimantan Timur 3.128 orang, dan DKI Jakarta 1.430 orang.
"Jadi kalau yang BPJS itu yang mengambil duit, sedangkan di ketenagakerjaan itu hanya yang melapor saja. Jadi lebih akurat orang yang mengambil duit (data BPJS)," katanya.
No comments:
Post a Comment