Terus melemahnya harga komoditas, mempengaruhi kelangsungan bisnis perusahaan tambang. Sudah banyak perusahaan tambang di Indonesia menghentikan operasi, dan merumahkan pegawainya untuk sementara. Hal yang sama terjadi juga di luar negeri, salah satunya di raksasa tambang Glencore. Banyak pihak yang memprediksi perusahaan yang bermarkas di Swiss itu sudah di ujung tanduk, dan tak lama lagi kolaps.
Prediksi ini bukan tanpa alasan. Saham Glencore sudah anjlok hingga 29% di perdagangan awal pekan. Meski kemarin sahamnya sudah naik 17%, tapi tetap saja nilainya masih jatuh 73% sepanjang 2015. Sekarang harga sahamnya hanya 80 pence (Rp 16.000) per lembar dibandingkan harga pada penawaran umum alias initial public offering (IPO) 5,3 poundsterling (Rp 106.000) hampir lima tahun lalu.
Kendati demikian, manajemen menampik kalau perusahaan sedang dalam masalah serius. "Sama sekali tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan," kata manajemen Glencore . "Bisnis kami tetap berjalan dan kuat secara finansial. Kami punya arus kas yang positif, likuiditas yang baik, dan tidak ada sama sekali tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan," jelas manajemen.
Jatuhnya harga saham perusahaan terutama disebabkan oleh lesunya bisnis komoditas akibat harga yang terus menukik tajam. Selain itu, berkurangnya permintaan komoditas China membuat omzet perusahaan berkurang. Beberapa analis memprediksi Glencore akan semakin terpuruk jika bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), menaikkan tingkat suku bunganya.
Begitu bunga AS naik, maka dolar pun semakin tinggi. Rata-rata penjualan komoditas dilakukan memakai dolar AS. Sehingga ketika semakin tinggi dolar, kompensasinya harga komoditas semakin turun. Selain itu, Glencore juga terlilit utang yang jumlahnya sangat besar. Pinjaman ini didapat Glencore saat booming harga komoditas. Begitu harganya turun, utangnya jadi makin sulit dilunasi. Akibatnya, Glencore harus menjual aset dan menerbitkan saham baru untuk melunasi utang-utangnya tersebut.
Dunia tak lagi melihat lonjakan harga komoditas seperti tahun-tahun sebelumnya. Harga komoditas-komoditas kini cenderung sudah tiarap. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengalami berbagai masalah, mulai dari omzet yang turun, stok produk menumpuk, sampai terpaksa menghentikan operasi sementara. Beberapa perusahaan tambang di Indonesia rata-rata mengalami hal ini, apalagi ada yang sampai merumahkan karyawan. Tak hanya di dalam negeri, perusahaan tambang kelas dunia juga mulai terimbas rendahnya harga komoditas.
Salah satunya ada perusahaan tambang yang bermarkas di Swiss, Glencore Xstrata. Selain omzet turun, perusahaan yang dipimpin CEO, Ivan Glasenberg ini, juga punya utang yang menggunung. Harga komoditas yang lesu tentu bukan hal yang baik bagi Glencore. Pada penutupan perdagangan Senin waktu setempat, saham Glencore jatuh hampir 30% ke titik terendahnya sepanjang masa.
Kapitalisasi pasarnya terpangkas 3,5 miliar poundsterling (Rp 70 triliun) hanya dalam waktu singkat. Waktu pertama kali jual saham di bursa (IPO), perusahaan meraup dana hingga US$ 10 miliar dan membuat para pemegang sahamnya mendadak jadi miliuner. Roda berputar, nasib pun berubah. Glencore yang dulu diuntungkan oleh tingginya harga komoditas kini menjadi perusahaan yang terlilit utang senilai US$ 30 miliar (Rp 420 triliun).
Glasenberg pun menghadapi tekanan dari para pemegang saham, untuk memangkas jumlah utang perusahaan tembaga dan batu bara itu. Sebab peringkat utangnya sudah diturunkan berkali-kali oleh lembaga pemeringkat internasional. Bagaimana caranya? Banyak langkah diambil Glasenberg, mulai dari menyetop pemberian dividen ke pemegang saham, menjual aset, dan lain-lain.
"JIka harga komoditas bertahan di harga rendah seperti sekarang ini, analisa kami, jika mereka (Glencore) tidak lakukan restrukturisasi maka hampir semua nilai modal Glencore dan Anglo American bisa habis," kata analis dari bank investasi Investec yang bermarkas di London. Glencore sudah meraup US$ 2,5 miliar dari penerbitan saham baru. Saham-saham ini rata-rata dibeli oleh direksi dan karyawan perusahaan untuk menambah kepercayaan pasar terhadap perusahaan.
Pemegang saham terbesar Glencore berdasarkan data Thomson Reuters Eikon yaitu Glasenberg (8,4%) dan Qatar Holding (8,2%). Qatar Holding juga merupakan salah satu pemegang saham kunci di Volkswagen, produsen mobil asal Jerman. Selain Glencore, perusahaan tambang asal Australia bernama Anglo American juga mengalami masalah yang sama.
No comments:
Post a Comment