Menurut data yang dimiliki asosiasi, Indonesia mengekspor 627 juta pasang sepatu pada 2014. Angka ini jauh di bawah penguasa pasar utama yaitu China dengan angka ekspor 2,7 miliar pasang sepatu yang mengantongi 15,2 persen pangsa pasar dunia. "Daya beli masyarakat Indonesia kini sedang melemah, jadi kami fokus garap ekspor saja ke luar negeri. Kalau tidak ekspor, nanti investasi di sektor ini jadi tertunda,” jelas Eddy di Jakarta, Rabu (16/9).
Eddy awalnya memperkirakan permintaan sepatu saat hari raya Idul Fitri akan meningkat, namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Akibatnya, banyak perusahaan yang memiliki persediaan sepatu melimpah sehingga menurunkan produksi sebanyak 15 hingga 20 persen pada tahun ini demi menghabiskan stok. "Jadi nanti kelebihan stok itu yang akan kita kirimkan ke luar negeri. Namun adanya hal itu tak berpengaruh bagi pasokan sepatu dalam negeri karena impor sepatu juga kami prediksi menurun," katanya.
Kendati demikian, ia mengatakan bahwa industri persepatuan tak akan membuka pasar ekspor baru namun akan meningkatkan penjualan ke negara-negara tujuan ekspor utama. Sebagai informasi, sepatu buatan Indonesia lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat dengan porsi 29,3 persen dari total ekspor sebesar US$ 4,5 miliar. Selain itu, sepatu produksi lokal juga diekspor ke Jerman (6,4 persen dari total ekspor), Inggris (6,3 persen dari total ekspor), dan juga Jepang (6,2 persen dari total ekspor).
"Tapi kami juga harus hati-hati dengan pasar Uni Eropa, dengan memilih wait and see dengan permintaannya. Kami yakin dengan orientasi industri yang lebih besar ke ekspor ini, kami masih bisa sediakan 50 persen dari kebutuhan sepatu Indonesia sebesar 60 juta pasang per tahunnya," katanya.
Sampai April 2015, ekspor sepatu Indonesia memiliki nilai US$ 1,48 miliar. Sementara target ekspor sampai akhir tahun stagnan di angka US$ 4,5 miliar, sama dengan tahun kemarin. Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menilai depresiasi nilai tukar yang terjadi saat ini berlaku terhadap hampir seluruh mata uang di dunia, tak terkecuali rupiah. Kondisi tersebut menurutnya justru menjadi peluang untuk menggenjot ekspor sehingga pemerintah diminta menerbitkan kebijakan yang mempermudah pengusaha dalam menjual produknya ke luar negeri.
"Supaya tidak rugi ganda, ini dapat dijadikan momen untuk mendorong ekspor. Karena kalau rupiah melemah, harga ekspor menjadi murah. Justru bisa mendorong ekspor agar membaik," ujar Sigit. Mantan bos PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) itu berpendapat, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini terkait dengan perdagangan komoditas ke sejumlah negara yang perekonomiannya kurang sehat. Hal ini menyebabkan pasokan dolar ke dalam negeri berkurang ketika permintaan komoditas dari sejumlah negara mitra dagang melemah.
"Beberapa komoditi, seperti pertambangan misalnya, di jual ke negara dengan ekonomi bermasalah. Ini menyebabkan penjualan ekspor tidak naik sehingga dolar yang dikumpulkan pun tidak cukup," tuturnya. Ditanya prediksinya mengenai sampai kapan depresiasi ini akan terus berlanjut, Sigit memastikan hanya Tuhan yang tahu dan bisa menjawab pertanyaan semacam itu. "Dari awal, mata uang kita salah satu yang terlemah, akan mudah terpengaruh perekonomian dunia dan negara dengan mata uang yang kuat. Yang terpenting adalah harus diperbaiki terus," ujarnya.
Menurutnya, beberapa upaya yang dapat dilakukan Indonesia adalah dengan mengurangi pemakaian barang impor yang tidak perlu dan menghemat devisa. "Gunakan produk dalam negeri. Kurangi impor seperti pakaian dan sepatu, kalau bisa dilarang. Lakukan gerakan agar bangsa berhemat," urainya. Ia juga membandingkan dengan upaya yang dilakukan Pemerintah China dalam memperkuat perekonomian negara mereka. Langkah China mendevaluasi yuan adalah strategi untuk memperkuat ekspor.
Lebih lanjut, Sigit mengatakan, depresiasi secara terus menerus merupakan bukti bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah belum berhasil. Namun, dia menilai tidak bisa sepenuhnya pemerintah disalahkan karena sebagian besar sentimen terhadap rupiah berasal dari luar negeri. "Kalau faktor eksternal ya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Yang terpenting adalah fokus bagaimana mengurangi dampak dalam negeri yang tidak bisa dikendalikan. Jangan meratapi," tutupnya.
No comments:
Post a Comment