Sunday, September 13, 2015

Paket Kebijakan Direspon Buruk Karena Basis Data Pemerintah Amburadul

Menurunnya kondisi perekonomian Indonesia dinilai akibat tidak akuratnya data yang dimiliki pemerintah, sehingga membuat banyak kebijakan yang dikeluarkan keliru dan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nyata di lapangan. Bahkan ada dugaan terjadi manufakturing data oleh aparat pemerintah.

Salah satu imbas akibat minimnya akurasi data tersebut di sektor pertanian, berpotensi kembali membuat gejolak harga pangan di sisa 2015 ini. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menilai selain ancaman kekeringan akibat El Nino, kesalahan data dan perkiraan produksi pemerintah akan menjadi bumerang penyebab gejolak tersebut.

Andreas mencontohkan Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi akan meningkat sebesar 6,54 persen dari 70,85 juta ton pada 2014 menjadi 75,55 juta ton pada tahun ini.  Selain padi, produksi jagung diprediksi pemerintah bakal meningkat 8,77 persen dan kedelai juga dikatakan meningkat 4,59 persen. Padahal menurutnya hal tersebut tidak mungkin terjadi.

"Kenaikan produksi tiga komoditas secara bersamaan tersebut tidak pernah terjadi selama belasan tahun," kata Andreas di Jakarta, Minggu (13/9). Menurutnya, berdasarkan data tersebut Menteri Pertanian kemudian memberi rekomendasi untuk menyetop impor beras dan jagung pada 2015. Padahal menurut Andreas fakta di lapangan tidak demikian, berdasarkan laporan dari jaringan tani dan AB2TI justru terjadi penuruan produksi di banyak tempat.

"Produksi ketiga komoditas tersebut di 2015 ini diperkirakan sama atau bahkan lebih rendah dibanding 2014. Bila ini terjadi maka akan menjadi skandal mark-up data produksi pertanian nasional," katanya. Hentikan Pencitraan Jokowi. Dirinya berharap pemerintah tidak mengutamakan pencitraan dengan cara berhenti menggunakan data yang membuat kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Amburadulnya data yang dimiliki pemerintah juga dibenarkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi yang mencontohkan kesalahan pemerintah dalam menentukan kebutuhan daging sapi.

"Data pemerintah kita kacau balau, misalnya kebutuhan daging sapi pemerintah mengatakan kebutuhan daging di Indonesia itu 0,23 kilogram (kg) kapita per tahun, padahal nyatanya 2,25 kg sehingga arah kebijakan keliru. Kalau hanya 0,23 kg kapita per tahun memang tidak perlu impor daging," kata Tulus.

Selain data, Tulus juga mengeluhkan infrastruktur yang kurang memadai sehingga tidak menunjang kegiatan ekonomi di Indonesia. "Australia menggunakan kapal bagus, besar yang sekali jalan 3 ribu sapi terangkut. Sedangkan sapi Bali, NTB, NTT tidak sampai segitu sehingga mereka kesulitan untuk distribusi, baru di tengah laut sapi sudah mati," kata Tulus.

Ia pun mengaku di tengah turunnya kondisi ekonomi, YLKI membuka posko pengaduan di beberapa kota. Namun anehnya, tidak ada masyarakat yang melakukan pengaduan. "Dalam gonjang ganjing ekonomi sekarang ini, kami membuka posko kenaikan harga. Tapi tidak ada masyarakat yang mengadu, saya juga heran entah masyarakat terlalu optimistis, pesimistis, atau apatis sehingga tidak memikirkan lagi," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menilai selain data yang tidak akurat, tumpang tindihnya aturan yang dikeluarkan instansi pemerintah menjadi penyebab anjloknya kondisi ekonomi Indonesia. "Banyak peraturan pemerintah yang bertabrakan dengan peraturan daerah sehingga tidak ada sinkronisasi," katanya.

Ia menilai seharusnya pemerintah atau kementerian yang ingin membuat peraturan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri yang dinilai lebih tahu aturan di daerah. Tutum juga mengatakan harusnya pemerintah lebih memfokuskan bagaimana caranya meningkatkan daya beli masyarakat dan penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi daripada mengeluarkan berbagai aturan. Menurutnya saat ini kondisi ekonomi Indonesia masih kritis tapi jika tidak teratasi bisa menyebabkan krisis

No comments:

Post a Comment