Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melakukan intensifikasi dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap hasil tembakau menjadi 8,7 persen terhadap harga jual eceran dari sebelumnya 8,4 persen. Meski demikian, instansi yang dipimpin Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito tersebut menilai angka tersebut masih lebih rendah dari sebutan ideal.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) DJP Mekar Satria Utama mengatakan idealnya tarif PPN tembakau mencapai 9,1 persen mendekati tarif murni objek PPN 10 persen. "Jadi kami ingin tarif efektif yang diharapkan nanti sampai dengan akhir itu 9,1 persen. Nah tarif efektif 9,1 persen ini kan sebenarnya sudah sesuai dengan tarif yang berlaku umum," ujar Satria saat dihubungi. Saat ini besaran PPN yang dikenakan dihitung dengan menerapkan tarif efektif sebesar 8,7 persen dikalikan dengan harga jual eceran (HJE). HJE adalah harga penyerahan kepada konsumen akhir yang di dalamnya sudah termasuk cukai dan PPN.
Menurutnya, kebijakan menaikkan PPN tembakau perlu dilakukan karena potensinya masih besar. Bagi DJP, PPN tembakau masih potensial mengingat harga tembakau Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Selain itu, permintaan terhadap rokok di Indonesia juga bersifat inelastis. Artinya, pengenaan besaran PPN yang berdampak pada kenaikan harga jual, belum tentu akan menyebabkan konsumsinya turun.
Oleh sebab itu, Satria mengatakan ada kemungkinan kenaikan tarif PPN tembakau akan terjadi lagi tahun depan guna mencapai angka tarif murni itu. "Iya ini kan bertahap, kami inginnya seperti itu. Nanti dilihat lagi kondisi-kondisi perekonomian di tahun berikutnya," katanya. Dengan tarif PPN murni, ia berharap informasi distribusi tembakau menjadi lebih mudah diketahui sehingga perhitungan potensi penerimaan lebih mudah. PPN murni dikenakan atas barang kena pajak yang diserahkan oleh pengusaha kena pajak.
"Jadi memang tujuannya kami mau mengarah ke penerimaan pajak masuk ke kas negara. Tujuannya supaya potensi-potensi pajak tersebut yang khususnya untuk industri rokok bisa terpenuhi seluruhnya. Makanya tarifnya kami naikkan secara bertahap sehingga nanti menjadi 9,1 persen," katanya. Dalam merumuskan kebijakan ini, Satria menyebut Kementerian Keuangan sudah merencanakannya sejak awal 2015. Namun baru terwujud dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau pada 21 September 2015 lalu. Aturan itu sendiri akan berlaku mulai 1 Januari 2016.
"Pembahasan ini sebenarnya rencananya harusnya diawal-awal 2015 tapi kemudian rencana kenaikan tarif mulai dimunculkan, jadi kami mengikuti kondisi itu," ujarnya. Ia mengatakan sebelum memutuskan kebijakan tersebut, pemerintah sudah melakukan pembicaraan dengan para pelaku industri rokok. Ia menyadari kebijakan ini pasti akan mendapat banyak protes dari para pelaku industri, terlebih industri rokok tengah diterpa potensi kenaiakan tarif cukai hasil tembakau tahun depan.
"Tapi keputusan sudah diterbitkan dan itu memang sudah melalui perhitungan matang dan saya yakin sudah dibahas dengan industri rokok. Cuma memang keputusannya tidak seusai dengan yang diharapkan, karena pasti maunya tarifnya diturunkan," ujarnya. Pemerintah menaikkan tarif efektif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk hasil tembakau dari 8,4 persen menjadi 8,7 persen dikalikan dengan Harga Jual Eceran. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau, yang terbit pada 21 September 2015 dan efektif berlaku per 1 Januari 2016.
Terbitnya PMK ini sekaligus mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2001 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Dalam beleid lawas tersebut disebutkan tarif efektif PPN atas penyerahan hasil tembakau sebesar 8,4 persen. Dalam salinan PMK Nomor 174/PMK.03/2015 disebutkan, produk hasil tembakau yang dikenakan PPN adalah meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
Menteri keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menjelaskan dasar Pengenaan PPN adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Sementara untuk harga jual eceran (HJE) ada dua macam yang dijadikan faktor pengali PPN, yakni HJE untuk penyerahan hasil tembakau dan HJE untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum setelah dikurangi laba bruto.
"Atas penyerahan hasil tembakau mulai dari tingkat produsen dan/atau importir, pengusaha penyalur hingga konsumen akhir dilakukan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) satu kali pada tingkat produsen dan/atau importir," tulis Menkeu dalam beleidnya. Dalam ketentuan baru tersebtu dijelaskan atas impor hasil tembakau yang telah melunasi PPN tidak dikenakan lagi PPN impor. Namun, impor hasil tembakau tang telah memperoleh fasilitas pembebasan cukai tetap dikenakan PPN impor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
No comments:
Post a Comment