Friday, September 11, 2015

Terkurasnya Cadangan Devisa BI Mulai Mengkhawatirkan

Kepala Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Anggito Abimanyu menilai upaya Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar rupiah dengan menguras cadangan devisa belum optimal.  Kondisinya, kata Anggito, justru semakin mengkhawatirkan mengingat persediaan dolar Amerika Serikat (AS) di kas BI yang semakin menipis seiring dengan semakin derasnya aliran modal ke luar.

"Cadangan devisa memang digunakan untuk menstabilisasi, saya tidak melihat hal itu keliru. Namun saatnya cadangan devisa itu dimanfaatkan secara optimal. Namun efektifnya intervensi itu tidak bisa terukur. Indonesia sudah mulai flat, tapi kok capital outflow masih terjadi?" ujar Anggito saat dihubungi . Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melaporkan jumlah cadangan devisa Indonesia per Agustus 2015 sebesar US$ 105 miliar. Angka tersebut turun US$ 2 miliar dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya US$ 107 miliar.

Dengan demikian, dalam delapan bulan terakhir cadangan devisa Indonesia terkuras US$ 8,86 miliar, yakni dari US$ 114,2 miliar pada Januari.  "Jumlah cadangan devisa Indonesia cukup mengkhawatirkan karena hampir menyentuh batas psikologis US$ 100 miliar," kata Anggito.  Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu juga menyoroti kasus serupa di China dan Malaysia, di mana cadangan devisa kedua negara terkuras lebih besar dibandingkan Indonesia. Kendati demikian, intervensi yang besar dari masing-masing bank sentral sukses meredam guncangan di pasar uang di kedua negara tersebut.

Sebelumnya, People's Bank of China (PBoC) merilis jumlah cadangan devisa China yang tergerus US$ 93,9 miliar selama Agustus menjadi US$ 3,56 triliun.  Penurunan itu, kata Anggito, karena Beijing menjual dolar AS untuk mendukung yuan yang sebelumnya mengalami dipangkas nilainya (devaluasi) dan berdampak pada bergolaknya pasar finansial regional dan global.

Sementara Malaysia, lanjut Anggito, cadangan devisanya menyentuh level US$ 100,5 miliar pada Juli lalu, turun US$ 5 miliar dari posisi Juni US$ 105 miliar. Merosot cadangan devisa Malaysia tak lepas dari upaya bank sentral mengintervensi nilai ringgit yang sempat anjlok ke nilai terendah sejak 1998. "Tapi total Dana Piha Ketiga (DPK) atau dana yang dihimpun, kredit yang disalurkan, inklusi keuangan mereka lebih baik dibandingkan dengan kita. Bahkan tahun 2008 Malaysia belum mengalami banking crisis," ujarnya.

Mantan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama itu juga meyakini BI akan berusaha menjaga cadangan devisa tetap berada di atas angka psikologisnya yakni US$ 100 miliar. Untuk itu, bank sentral diprediksi akan menaikan suku bunga acuan (BI rate) agar portfolio keuangan domestik tetap menarik.

"Itu langkah pamungkas, langkah terakhir yang ditempuh. Bukan tidak mungkin, yang penting naikin saja supaya tidak melulu menggunakan cadangan devisa untuk mencegah cash outflow," ujarnya. Bank Indonesia mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2015 sebesar US$ 105,3 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Juli 2015 sebesar US$ 107,6 miliar.
Penurunan tersebut disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya yang dilakukan oleh otoritas moneter Indonesia.

"Hal tersebut sejalan dengan komitmen Bank Indonesia yang telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah guna mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam rilisnya, dikutip Selasa (8/9).

Di sisi lain, kenaikan penerimaan devisa yang terutama bersumber dari penerbitan Samurai Bonds Pemerintah mampu menahan penurunan lebih lanjut. Sebagai informasi Pemerintah Indonesia pada Selasa (4/8) lalu telah menerbitkan surat utang berdenominasi Yen Jepang senilai 100 miliar yen atau US$ 800 juta. Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa per akhir Agustus 2015 masih cukup membiayai 7,1 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan," ujar Tirta. Cadangan devisa China tergerus signifikan pada bulan lalu menyusul langkah bank sentral (People's Bank of China/PBoC) melakukan devaluasi terhadap yuan. Cadangan devisa terkuras sebesar US$ 939 miliar selama Agustus menjadi tinggal US$ 3,56 triliun, yang merupakan penurunan tertinggi sejak Mei 2012.

Kondisi serupa juga terjadi di Tanah Air, di mana cadangan devisa Indonesia terus berkurang seiring dengan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah cadangan devisa RI pada akhir Agustus sebesar US$ 105,3 miliar, berkurang US$ 2,3 miliar dari posisi akhir Juli sebesar US$ 107,6 miliar.

Eric Alexander Sugandi, Ketua Bidang Kajian Ekonomi Internasional Partai Gerindra, menilai terkurasnya cadangan devisa China dan Indonesia merupakan konsekuensi yang harus diterima dari kebijakan moneter bank sentral mengintervensi nilai tukar. Salah satu sentimen utamanya adalah rencana Amerika Serikat (AS) melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan merencanakan kenaikan suku bunga acuan bank sentral (The Fed rate).  "Bedanya, cadangan devisa China jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan devisa Indonesia," ujarnya kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).

Untuk kasus China, Eric menjelaskan rezim nilai tukar tetap (fix exchange rate) menuntut bank sentral untuk memupuk cadangan devisa dalam jumlah besar. Terlebih saat dolar AS semakin perkasa, secara otomatis mengharuskan PBoC mengucurkan persediaan dolarnya ke sistem untuk menjaga nilai tukar yuan tetap pada level yang diinginkan. "China sendiri arahnya akan bergerak dari rezim fix exchange rate menuju floating rate. Karena dia mau memasukkan yuan ke dalam basket SDR (Special Drawing Right) IMF," tuturnya.

Mantan Ekonom Standard Chartered Bank ini menuturkan dalam dunia ekonomi dikenal istilahinvisible trinity, di mana setiap negara harus memilih dua dari tiga pilihan jika ingin mata uangnya masuk dalam keranjang SDR. Ketiga pilihan tersebut adalah mengubah rezim mata uangnya dari fix exchange rate menjadi floating exchange rate (kurs mengambang), membebaskan aliran modal, atau menerapkan kebijakan moneter independen. "China tampaknya akan mengorbankan yang pertama, yakni fix rate. Sinyalnya terlihat ketika mendevaluasi nilai tukar yuan," jelasnya.

Kondisi ini, lanjut Eric, menggambarkan tekanan yang terjadi di Negeri Tirai Bambu yang berasal dari perlambatan ekonomi, pelarian modal, dan ekspektasi kenaikan The Fed rate. Berbeda halnya dengan di Indonesia, kata Eric. Dengan menganut rezim kurs mengambang, ia menilai BI tidak diwajibkan untuk memupuk cadangan devisa sebesar China. Pasalnya, rupiah dibiarkan bergejolak mengikuti mekanisme pasar. Namun, lanjutnya, ada masalah fundamental di ekonomi Indonesia, antara lain defisit neraca transaksi berjalan

"Bedanya yuan China under valued, sedangkan rupiah under pressure," tuturnya.  Eric menambahkan, biasanya apa yang terjadi di China berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, seperti ketika yuang didevaluasi. Sebabnya, China merupakan mitra dagang utama Indonesia, baik untuk ekspor komoditas maupun impor barang konsumsi. Untuk itu, dampaknya perlu diwaspadai oleh pemerintah dan BI.  "Jadi ada dampaknya, yang terkait dengan fundamental ekonomi China itu sifatnya jangka menengah panjang. Sedangkan yang terkait dengan persepsi itu lebih jangka pendek," jelasnya.

No comments:

Post a Comment