Dua tahun meroket, kini harga properti mulai rehat. Bahkan harga properti di pasar sekunder mulai turun. Seperti dikutip , harga jual properti, terutama properti seken di beberapa wilayah utama Jakarta, seperti Kelapa Gading, Kebon Jeruk, Puri Indah, Pantai Indah Kapuk, Muara Karang, Menteng dan Kebayoran Baru mulai melorot.
Menurut Ali Hanafia, Direktur Century 21 Pertiwi yang membawahi kawasan Kelapa Gading, Kebon Jeruk dan Puri Indah, koreksi ini bervariasi mulai 5 persen sampai 20 persen. Pemicunya bukan semata-mata akibat kelesuan permintaan. Pasar rupanya mencari kesimbangan harga, sehingga harga properti turun.
Maklum, beberapa tahun terakhir, harga properti naik hingga 300 persen per tahun dan sudah tidak wajar. Wajarnya, harga properti naik 15 persen-20 persen per tahun. Ia mencontohkan, pada 2012 pasaran harga rumah toko (ruko) di Kelapa Gading Rp 3 miliar- Rp 5 miliar per unit. Tahun lalu, harganya melambung menjadi Rp 12 miliar-Rp 13 miliar per unit.
Pasar pun mulai mengoreksi kenaikan tak wajar itu. Alhasil, kini properti sejenis di wilayah tersebut dijual seharga Rp 9 miliar per unit. Bank Indonesia (BI) merilis hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia triwulan II-2015. Hasil survei mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan harga properti residensial di pasar primer baik secara triwulanan maupun tahunan. Mengutip data BI, perlambatan tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial pada triwulan II-2015 yang tumbuh sebesar 1,38 persen (qtq) atau 5,95 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat 1,44 persen (qtq) atau 6,27 persen (yoy).
Perlambatan pertumbuhan harga terjadi pada semua tipe rumah, kecuali rumah tipe kecil. Rumah tipe kecil justru mengalami kenaikan harga sebesar 2,60 persen (qtq). Atau lebih tinggi dibandingkan kenaikan triwulan sebelumnya yang sebesar 1,98 persen (qtq). Melambatnya kenaikan harga diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan III-2015. Perlambatan kinerja properti juga tercermin dari pertumbuhan penjualan properti residensial pada triwulan II-2015 yang sebesar 10,84 persen, (qtq), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 26,62 persen (qtq). Perlambatan penjualan terutama terjadi pada rumah tipe menengah.
Selain itu, hasil survei juga menunjukkan bahwa pembiayaan pembangunan propertiresidensial masih bersumber dari dana internal pengembang. Sebanyak 62,57 persen pengembang menggunakan dana sendiri sebagai sumber pembiayaan usahanya. Sementara itu, sumber pembiayaan konsumen untuk membeli properti masih didominasi oleh pembiayaan perbankan (KPR). Sebanyak 72,20 persen responden masih memanfaatkan KPR sebagai fasilitas pembiayaan dalam pembelian properti residensial, khususnya pada rumah tipe kecil.
Pertumbuhan properti di Indonesia dinilai sudah mendekati bubble. Pakar Perencana Keuangan Aidil Akbar Majid mengatakan, pertumbuhan properti di Indonesia khususnya Jakarta, terus melesat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. "Ini sudah mendekati bubble karena kenaikan tiga tahun terakhir yang drastis," kata Aidil di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (4/9).
Prediksinya, harga properti tahun depan bisa turun sekitar 20-30 persen. "Tapi tergantung suku bunga jika tidak menaikkan terlalu tinggi," ujarnya. Menurutnya, suku bunga perbankan sangat berpengaruh terhadap pasar properti di Tanah Air. Dengan suku bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang tinggi, maka permintaan terhadap properti akan menurun.
"Suku bunga naik ini akan berkurangnya permintaan properti dan kredit properti, akan banyak spekulasi kredit," tutur Aidil. Aidil menyarankan investor untuk beralih dari investasi di sektor properti ke investasi di sektor portofolio. Terlebih, kondisi pasar modal tengah berada di zona merah.
"Orang bisa menahan dulu beli properti. Tahan dulu beli properti. Buat yang uangnya pas-pasan ada bagusnya coba hold dulu. Cek komposisi portofolio kita," tutup Aidil. Perlambatan penjualan properti di Jawa Timur menyebabkan harga tanah juga turun di kisaran 10%. Ketua Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Jawa Timur, Totok Lucida, mengatakan bahwa bisnis properti pada 2013 memang seperti berada pada puncaknya hingga mengalami kenaikan harga yang tidak terkontrol terutama properti landed house, sedangkan high rise dalam 4 tahun mengalami kenaikan sekitar 100%.
Namun, lanjutnya, tahun ini properti semakin melambat dan daya beli masyarakat telah turun akibat faktor nilai tukar rupiah terhadap dolar dan semakin sulitnya kredit perbankan. "Dengan krisis yang dirasakan seperti sekarang harga tanah jadi turun dalam 1-2 bulan terakhir, terutama di secondary market. Contohnya di kawasan Golf View Ciputra yang dulunya Rp20 juta-Rp25 juta/m2 sekarang dengan Rp15 juta/m2 sudah bisa didapat," katanya seusai Diskusi Ekonomi - Forum Anak Bangsa Universitas Airlangga, di Surabaya, Selasa (26/5/2015).
Totok menjelaskan tingginya nilai tukar dolar yang mencapai Rp13.000 itu mempengaruhi harga properti karena keberadaan bisnis properti memiliki keterkaitan dengan sekitar 150 sektor industri atau usaha lainnya. Dia memaparkan pertumbuhan kredit properti pun tahun ini turun drastis yakni hanya mampu tumbuh 16,7%, padahal pada 2013 pertumbuhan kredit properti mencapai 30%, dan pada 2014 turun menjadi 24,9%.
"Ini akibat adanya pengetatan kredit properti dari perbankan," imbuhnya. Totok menambahkan, meski direncanakan pemerintah bakal melakukan pelonggaran terhadap kredit properti seperti plafon uang muka tetapi jika makro ekonomi belum membaik maka industri properti bakal semakin lesu
No comments:
Post a Comment