Nilai tukar rupiah kembali mendapat tekanan dan terperosok melewati level Rp14.700 per dolar AS di pasar spot. Penundaan naiknya suku bunga AS (Fed rate) dan pemangkasan target pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu faktor pelemahan rupiah. Hingga pukul 13.25 WIB pada Rabu (23/9), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah bergerak di antara Rp14.577 hingga Rp14.730 di pasar spot. Sementara itu, kurs jual PT Bank Mandiri (Persero) Tbk ditetapkan di level Rp14.700 per dolar AS, sedangkan kurs beli berada di angka Rp14.500.
Bank Indonesia sendiri menetapkan kurs tengah rupiah di level Rp14.623 per dolar AS, melemah dari level Rp14.486 pada penetapan kemarin. Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh faktor eksternal. Ia menyatakan negara emerging market penghasil komoditas hampir semuanya mengalami pelemahan mata uang karena rendahnya harga komoditas.
"Sebenarnya ini masih karena sentimen eksternal. Apalagi semua negara penghasil komoditas melemah mata uangnya, termasuk Indonesia," ujarnya saat dihubungi, Rabu (23/9). Namun, lanjutnya, faktor utama jebloknya nilai tukar rupiah adalah terkait penundaan Fed rate oleh bank sentral AS. Selain itu, terkait pemangkasan target pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh beberapa pihak baru-baru ini.
Di sisi lain, ia menilai sebenarnya pemangkasan target pertumbuhan ekonomi tersebut menunjukkan kondisi realistis bagi pelaku pasar. Namun persepsi pelaku pasar terlanjur negatif dan pesimistis hingga mengakibatkan pelemahan di pasar keuangan. "Sebenarnya pemangkasan tersebut realistis, tapi karena persepsi pasar negatif maka berimbas ke pelemahan kurs," ujar David.
Analis PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong menyatakan pelemahan kurs kali ini merupakan imbas dari tertundanya penaikan Fed rate. Selain itu, ia menilai rupiah melemah karena kinerja ekspor impor dalam negeri yang dinilai buruk. "Kalau ini reaksi dari FOMC yang tidak menaikan suku bunga, mata uang lainnya terkena tekanan. Data ekonomi kita untuk ekspor impor juga jelek sekali, pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan tidak mencapai di atas lima persen," kata dia.
Menurut Lukman, pelaku pasar menjadi cemas karena sentimen dari dalam negeri tidak bagus dan faktor eksternal tidak kunjung membaik. Ia pun menilai Bank Indonesia sudah terlihat kebingungan dalam menahan pelemahan rupiah saat ini. Menurutnya, rupiah bisa mencapai level yang jauh lebih buruk.
"BI juga sudah lama mempertahankan BI rate di level 7,5 persen, ini menandakan bahwa BI tidak tahu harus berbuat apa, harusnya itu diturunkan atau di naikkan, ini perlu dilakukan, mau dibawa kemana ini ekonomi kita. Saya rasa rupiah bisa mencapai Rp15.000 per dolar AS, karena ini juga kan mendekati awal bulan, akan ada rilis data ekonomi manufaktur, dan data lainnya," katanya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terkoreksi signifikan mengikuti pelemahan bursa regional menyusul buruknya data ekonomi China. Indeks turun sebesar 99 poin atau 2,29 persen ke level 4.244 setelah bergerak di antara 4.239-4.308 pada Rabu (23/9). Sementara itu di pasar valuta asing, nilai tukar rupiah terkoreksi sebesar 94 poin atau 0,65 persen menjadi Rp 14.646 per dolar AS, setelah berfluktuatif di kisaran Rp 14.577-Rp 14.730 per dolar AS.
Kepala Riset PT MNC Securities, Edwin Sebayang mengatakan saat ini pasar keuangan dalam negeri sedang terkena komplikasi dari sentimen regional dan global. Terlebih, Indonesia merupakan negara pengekspor komoditas sehingga sangat rentan terhadap gejolak eksternal. “Kalau menurut saya mungkin ini sudah komplikasi. Kita dapat data dari China bahwa kinerja manufaktur turun paling rendah dalam 6,5 tahun terakhir. Jauh lebih buruk dari perkiraan. Itu berdampak kepada Indonesia yang mengekspor komoditas,” ujarnya di Jakarta, Rabu (23/9).
Pelemahan bursa saham, kata Edwin, merupakan dampak rembetan dari kejatuhan rupiah yang terkena sentimen regional. Menurutnya, hal itu membuat kinerja sektor perbankan dan emiten-emiten yang mengoleksi utang valas akan ikut terpukul.
“Pada semester I ketika rupiah jatuh mengakibatkan kinerja emiten turun 3,5 persen. Sektor pertama perbankan, dari sisi dolar yang dipinjamkan dan yang dipinjam. Kemudian emiten yang punya utang besar dalam dolar AS. Rugi selisih kurs juga bakal meningkat,” jelasnya. Menurut Edwin, tren pelemahan rupiah yang terus mendekati level Rp 15.000 per dolar AS cukup mengejutkan karena lebih cepat dari perkiraan. Fenomena ini membuat kinerja saham-saham unggulan mengalami kontraksi yang pada gilirannya membujat IHSG tertekan.
“Saya tetap melihat kinerja emiten LQ 45 bisa terkontraksi 4,5-5 persen laba bersihnya. Banyak emiten tidak menduga bahwa kejatuhan rupiah lebih cepat dari perkiraan. Apalagi kalau semakin mendekati 15.000. IHSG saat ini sedang adjust, saya lihat bisa mencapai level 4.005 untuk skenario terburuknya,” jelasnya.
Edwin menilai ada faktor lain yang turut menekan kinerja kurs dan IHSG, yakni pemangkasan target pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Asian Development Bank (ADB). Perlambatan ekonomi nasional sudah dibaca pula oleh MNC Securities yang memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,7 persen pada tahun ini. “Sudahlah, pemerintah tidak usah menyangkal bahwa saat ini tidak masuk ke masa krisis. Pasar sudah tahu, faktanya rupiah bisa mencapai 14.700 seperti ini,” jelasnya.
Mandiri Sekuritas mencatat, investor membukukan transaksi sebesar Rp 4,9 triliun, terdiri dari transaksi reguler Rp 3,36 triliun dan transaksi negosiasi Rp 1,54 triliun. Di pasar reguler, investor asing membukukan transaksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 744,92 miliar. Sebanyak 62 saham naik, 209 saham turun, 69 saham tidak bergerak, dan 215 saham tidak ditransaksikan. Sebanyak sembilan sektor melemah, dipimpin oleh sektor aneka industri yang turun 4,11 persen dan sektor keuangan yang turun 3,25 persen. Saham di sektor aneka industri yang paling terkoreksi adalah PT Eratex Djaja Tbk (ERTX) yang turun 10 persen dan PT Polychem Indonesia Tbk (ADMG) yang turun 9,43 persen.
Di sektor keuangan, saham yang paling melemah adalah PT Equity Development Investment Tbk (GSMF) sebesar 9,9 persen dan PT Bank Windu Kentjana International Tbk (MCOR) sebesar 7,69 persen. Dari Asia, mayoritas indeks saham terkoreksi. Kondisi itu ditunjukkan oleh indeks Kospi di Korsel yang melemah sebesar 1,89 persen, indeks Hang Seng di Hong Kong yang terkoreksi sebesar 2,26 persen, dan indeks Straits Times di Singapura yang turun sebesar 0,56 persen.
Sore ini, mayoritas indeks saham di Eropa justru menguat sejak dibuka tadi siang. Indeks FTSE100 di Inggris naik 1,36 persen, DAX di Jerman yang menguat 1,31 persen, dan CAC di Perancis yang terapresiasi 1,15 persen.
No comments:
Post a Comment