”Selama ini banyaknya BBM bersubsidi yang harus disalurkan Pertamina tidak identik dengan keuntungan perusahaan. Bahkan, ada kecenderungan volume BBM bersubsidi selalu membengkak. Seperti tahun 2010 yang naik dari 36,5 juta kiloliter (kl) menjadi 38 juta kl. Ini malah menjadi masalah karena menyebabkan pembengkakan defisit,” kata Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar di Jakarta, Jumat (3/12). Menurut Mustafa, dengan berkurangnya BBM bersubsidi yang harus disalurkan oleh Pertamina, risiko keterlambatan pembayaran margin keuntungan semakin hilang. Ini terutama karena pembatasan BBM bersubsidi akan diikuti kebijakan-kebijakan baru yang menyesuaikan dengan program tersebut.
Pada tahun 2010, pagu volume BBM bersubsidi dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2010 ditetapkan 36,5 juta kl, dengan anggaran subsidi yang disediakan Rp 88,9 triliun. Akan tetapi, terjadi pembengkakan menjadi 38 juta kl, tetapi dengan anggaran subsidi BBM yang sama. Sementara itu, pagu volume BBM bersubsidi tahun 2011 ditetapkan 38,5 juta kl, dengan anggaran subsidi Rp 95,9 triliun, termasuk subsidi untuk BBM, gas alam cair, dan bahan bakar nabati.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, Jumat, menegaskan, pihaknya menilai ada unsur ketidakadilan yang merugikan konsumen terkait rencana pembatasan BBM bersubsidi secara bertahap ini.
”Ini karena pemerintah tidak punya konsep dan tidak punya nyali terkait pengurangan subsidi BBM. Akibatnya, pengguna kendaraan di Jabodetabek yang dikorbankan,” kata Tulus.
Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah sebaiknya menyiapkan infrastruktur SPBU dulu daripada menerapkan kebijakan setengah-setengah. Menurut Pri Agung, penghematan 500.000 kl dari pembatasan di wilayah Jabodetabek tidak signifikan dibandingkan dengan dampak sosial ekonomi yang muncul. ”Lebih baik pemerintah memberantas penyelundupan dan penyalahgunaan BBM yang mencapai 800.000 kl setahun,” kata Pri Agung
No comments:
Post a Comment