Sunday, December 5, 2010

Deindustrialisasi Di Indonesia Bukan Hal Mustahil

Krisis ekonomi global dua tahun lalu berdampak besar pada pertumbuhan sektor manufaktur. Industri manufaktur yang tumbuh hingga 4,7 persen tahun 2007 melambat menjadi 2,1 persen tahun 2009. Industri manufaktur nonmigas yang tumbuh 5,1 persen tahun 2007 kini hanya 2,5 persen.

Melambatnya permintaan global memunculkan kekhawatiran adanya penyusutan jumlah perusahaan manufaktur. Dari 29.000 perusahaan manufaktur skala menengah dan besar pada tahun 2006, diprediksi ”hanya” ada 27.000 perusahaan yang masih beroperasi pada tahun 2008.

Tidak hanya manufaktur skala besar, industri skala mikro dan kecil pun anjlok 2,1 persen dan 5 persen dihantam krisis tahun 2008. Kondisi ini yang memicu anggapan bahwa Indonesia menuju deindustrialisasi (Gambar 1).

Benarkah demikian?

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa deindustrialisasi merupakan sebuah proses dinamis yang terkait dengan tren menurunnya kinerja manufaktur dan tingkat penyerapan tenaga kerja di industri dalam kurun waktu tertentu.

Proses deindustrialisasi di beberapa negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, terlihat pada kontribusi nilai tambah industri pengolahan terhadap PDB yang tergerus dan fenomena pertumbuhan tenaga kerja sektor manufaktur dan sektor jasa.

Turunnya kontribusi ekonomi industri manufaktur dapat kita amati dari perubahan rasio nilai tambah industri terhadap PDB (Gambar 1). Kontribusi manufaktur terhadap ekonomi AS turun dari 15,3 persen pada tahun 1997 menjadi 11,1 persen pada tahun 2009. Hal serupa terjadi di kawasan Uni Eropa, di mana penurunannya lebih tajam dari 21,1 persen menjadi 16,4 persen.

Realita menurunnya kontribusi ekonomi manufaktur AS tergambar pada melemahnya pangsa produk ekspor manufaktur. Meskipun dominasi produk industri masih tinggi pada penjualan barang ke luar negeri, pangsanya terhadap nilai ekspor secara nasional cenderung turun.

Selama satu dasawarsa terakhir, pangsa ekspor barang manufaktur turun dari 82 persen menjadi 75 persen dari total ekspor AS ke dunia. Sementara produk-produk pertanian menikmati kenaikan pangsa dari 3 persen menjadi 4,5 persen.

Di sisi lain, kita dapat melihat fenomena pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri dan jasa. Data Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa persentase tenaga kerja di sektor manufaktur (tidak termasuk sektor pertambangan) terhadap total tenaga kerja AS turun dari 15,1 persen (tahun 1990) menjadi 8,4 persen (tahun 2010). Hal ini kontras dengan kondisi di sektor jasa yang persentase tenaga kerjanya justru naik dari 34,8 persen menjadi 45 persen.

Deindustrialisasi terkait dengan proses natural perkembangan ekonomi suatu negara. Namun, dalam perkembangannya, deindustrialisasi sering diasosiasikan dengan kejatuhan sektor manufaktur nasional.

Lalu, bagaimana dengan kondisi terkini sektor manufaktur Indonesia?

Kembali pulih

Meski sempat melambat sekitar 1,3 persen pada triwulan III-2009, kinerja manufaktur tampaknya kembali pulih. Pada triwulan I-2010, sektor manufaktur (industri pengolahan migas dan non migas) tumbuh sebesar 3,7 persen dan kembali meningkat pada triwulan ketiga sebesar 4,1 persen.

Di periode yang sama, industri manufaktur nonmigas, yang memberi sumbangan cukup besar terhadap ekspor nasional pulih lebih cepat dengan bertumbuh dari 4,1 persen menjadi 4,7 persen.

Kontribusi manufaktur Indonesia terhadap ekonomi nasional cenderung flat, yaitu 27-28 persen. Imbas krisis ekonomi memang sempat menekan kontribusinya menjadi 26,3 persen pada tahun 2009. Namun, perlu disadari, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara tetangga, khususnya di kawasan ASEAN. Lihat saja sumbangan industri Vietnam yang terkikis dari 21,3 persen tahun 2007 menjadi 20,1 persen tahun 2009. Atau manufaktur Thailand yang turun dari 35,6 persen menjadi 34,2 persen (Gambar 2).

Tren Melambat

Ditinjau dari penggolongannya, produk dengan SITC kode (kode barang ekspor) 5, 6, 7, 8 adalah kelompok produk yang dapat mewakili sektor manufaktur. Ekspor produk tersebut masih memperlihatkan kinerja pertumbuhan yang relatif baik dengan tumbuh rata-rata 10 persen pada periode tahun 2004-2007.

Nilai dasar ekspor manufaktur yang makin tinggi cenderung membuat tren pertumbuhannya melambat. Pada tahun 2008-2009, laju pertumbuhan ekspor manufaktur pun anjlok akibat turunnya permintaan global (Gambar 3).

Plot perbandingan laju pertumbuhan ekspor manufaktur menunjukkan bahwa tren perlambatan ini turut melanda negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina. Ekspor manufaktur Thailand periode tahun 2004-2008 tercatat melambat dari 21,8 persen menjadi 8,9 persen.

Ekspor manufaktur Malaysia bahkan anjlok dari 19,4 persen menjadi minus 12,8 persen. Sementara ekspor Filipina berkontraksi dari 10 persen menjadi minus 5 persen.

Pangsa ekspor tertekan

Sepanjang periode tahun 2005-2008, sumbangan produk manufaktur cenderung menurun. Porsi ekspor manufaktur terhadap nilai ekspor nasional turun dari 50 persen menjadi 42 persen. ”Panasnya” harga komoditas, yang melambungkan nilai ekspor barang mentah, memang membuat porsi manufaktur terlihat merosot. Indikasi ini dapat dilihat pada tahun 2009 saat harga komoditas cenderung ”mendingin”.

Pangsa produk industri pengolahan sedikit terangkat menjadi 44 persen. Kondisi serupa dapat kita temui pada pangsa produk manufaktur Malaysia yang juga kembali naik pasca-krisis ekonomi 2008.

Naiknya harga komoditas dan peluang investasi sektor primer di Indonesia memang sangat menggoda pelaku pasar. Bisnis perkebunan dan pertambangan menjadi sektor favorit para investor dan perusahaan multinasional mendulang untung. Perkembangan ini yang kadang menimbulkan persepsi bahwa sektor manufaktur nasional sudah tidak menarik dan ditinggalkan.

Namun, jika kita membandingkan realisasi investasi antarsektor, ternyata kondisi yang ada tidak separah dibayangkan. Investasi di sektor sekunder (industri) justru porsinya lebih besar dibandingkan sektor primer.

Realisasi investasi di industri manufaktur masih mencatat porsi cukup besar, yaitu di atas 40 persen, sedangkan di sektor primer di bawah 10 persen. Kalaupun mengecil di tiga tahun terakhir, hal tersebut dipicu ekspektasi lemahnya permintaan ekspor produk manufaktur di pasar global.

Tidak berubah tajam

Dari sisi tenaga kerja, tingkat penyerapan industri manufaktur juga cenderung tidak berubah. Saat ini, orang yang bekerja di industri manufaktur 12,8 juta orang atau 12,2 persen dari total tenaga kerja nasional. Angka ini tumbuh 10 persen dari jumlah tenaga kerja tahun 2000 sebesar 11,6 juta orang. Gejolak ekonomi dunia memang sempat membuat pertumbuhan tenaga kerja pada industri ini melambat hingga 2,3 persen.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa kinerja manufaktur tidaklah separah yang dibayangkan. Tampaknya masih terlalu dini menyebut bahwa manufaktur nasional mengalami deindustrialisasi. Kondisinya saat ini adalah industri kita tumbuh tidak cukup cepat dari harapan. Seperti jalan di tempat dan tanpa lonjakan pertumbuhan signifikan. Jika pekerjaan rumah ini tidak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin deindustrialisasi menjadi kenyataan.

Secara historis, sektor manufaktur pernah tumbuh pesat dengan kontribusi besar bagi ekonomi Indonesia. Untuk melecutnya kembali berlari kencang, iklim investasi yang makin kondusif perlu diciptakan. Penyediaan dan perbaikan infrastruktur, eliminasi hambatan berbiaya tinggi, kepastian hukum, dan kestabilan politik menjadi syarat minimal yang dipercaya dapat menarik investor ke bisnis ini.

Jika hal ini terealisasi, ekonomi dapat tumbuh ke level yang lebih tinggi dan tenaga kerja yang diserap bertambah banyak. Tentunya yang diuntungkan masyarakat Indonesia dan ekonomi nasional.

Handri Thiono Economist DanareksaResearch Institute

No comments:

Post a Comment