Thursday, December 23, 2010

Pajak Yang Harusnya Menjadi Insentif Perekonomian Kini Malah Menjadi Beban

Menyadari beban ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan perpajakan, pemerintah akhirnya memutuskan mengkaji ulang semua aturan perpajakan, dari mulai undang-undang hingga surat edaran direktur jenderal pajak.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar setiap perubahan aturan pajak harus dilaporkan kepada dirinya agar menghindari kemungkinan beban baru bagi iklim investasi.

”Hasil rapat kabinet, Presiden meminta saya dan menteri-menteri ekonomi, terutama Menteri Keuangan, segera membahas perpajakan kita. Di dalamnya terkait insentif dan disinsentif, kemudian menghilangkan yang berkaitan dengan multitafsir, menghilangkan perbedaan antara apa yang terjadi di lapangan dan apa yang ada pada undang- undang. Begitu juga kontradiksi, misalkan, antara satu peraturan dan peraturan yang lain,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis (23/12).

Menurut Hatta, salah satu hal yang mendorong Presiden meminta kajian ulang atas kebijakan perpajakan adalah pernyataan salah seorang sutradara film ternama Tanah Air, Hanung Bramantyo.

Hanung menyatakan bahwa industri perfilman dalam negeri dibunuh oleh pemerintahnya sendiri antara lain melalui kebijakan perpajakan yang memberatkan.

”Pernyataan itu betul-betul membuat kami merasa tidak enak sehingga Presiden meminta langsung melakukan pengecekan. Sebab, harus diakui, industri perfilman kita sudah terlalu banyak dibebani pajak, mulai dari peralatan, artisnya kena Pajak Penghasilan (PPh). Krunya, mulai dari pergantian dari video ke negatif film semuanya terkena pajak, sehingga film impor lebih murah dibandingkan film nasional. Ini akan kami perbaiki,” ujar Hatta Rajasa.

Namun, katanya, bukan hanya industri perfilman yang akan mendapatkan pengkajian ulang pada sektor perpajakan, melainkan seluruh industri. Salah satu yang sudah masuk dalam fokus perhatian pemerintah antara lain industri perkapalan dalam negeri.

Industri ini dinilai tertekan karena konsumen lebih memilih pembelian kapal di luar negeri ketimbang memesan di perusahaan galangan kapal domestik.

”Industri ini juga terpuruk karena untuk membeli peralatannya saja terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sedangkan jika mengimpor kapal malah bebas PPN. Ini akan kami perbaiki. Membuat kapal di galangan kapal Korea malah tidak ada pajaknya,” ungkapnya.

Hatta menyebutkan, setidaknya ada 13 hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pengkajian ulang perpajakan ini. Itu antara lain mulai dari perpajakan pada perusahaan maklun, jasa perdagangan, jasa ekspor, kemudian masalah restitusi.

Pembahasan masalah ini akan dimulai pada 28 Desember 2010. ”Ini harus diselesaikan secepatnya. Tetapi, kalau ada yang berkaitan dengan UU, tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Karena ini memang berkaitan dengan pengkajian ulang atas semua peraturan, baik peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan, maupun peraturan direktur jenderal,” ungkapnya.

Dorong investasi

Ekonom Fadhil Hasan menegaskan, pajak sebaiknya jangan hanya dijadikan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga harus jadi pendorong investasi.

Oleh karena itu, sistem perpajakan di Indonesia harus dibuat sederhana, kompetitif, dan efisien. Ini terutama untuk PPh badan atau perusahaan sehingga ada kepastian bagi para investor.

Sebagai contoh, ada tumpang tindih antara pajak pusat dan daerah, pemajakan berganda pada PPN untuk industri, serta jumlah dan jenis pajak yang harus dikurangi.

Salah satunya adalah bea keluar atau pajak ekspor untuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan komoditas ekspor lainnya.

”Itu perlu dipikirkan karena tujuan bea keluar itu sudah bergeser dari stabilisasi harga minyak goreng menjadi instrumen penerimaan negara,” tutur Fadhil

No comments:

Post a Comment