Thursday, December 23, 2010

Laporan Akhir Tahun 2010: Cadangan Devisa Bagaikan Madu dan Racun

Istilah ”madu atau racun” bukan sebatas syair lagu pop. Di antara ekonom dan praktisi yang terlibat dalam Diskusi Panel Akhir Tahun Ahli Ekonomi Kompas, awal Desember 2010, istilah ”madu dan racun” juga muncul, terutama dalam topik banjir arus modal asing ke negeri ini.

Cadangan devisa Indonesia melonjak signifikan, mencapai 92 miliar dollar AS per akhir Oktober 2010. Naik 39 persen dalam 10 bulan dari 66 miliar dollar pada akhir 2009. ”Belum pernah terjadi kenaikan seperti ini,” ujar seorang panelis. Pertanyannya, cadangan devisa tersebut apakah lebih banyak ”madu” atau ”racun” bagi negeri ini.

Cadangan devisa ini bisa merupakan ”madu” ketika berasal dari remitansi tenaga kerja Indonesia. Jumlahnya dari Januari-September 2010 mencapai 5,031 miliar dollar atau sekitar Rp 45 triliun, naik 2,44 persen dari periode sama tahun 2009.

Begitu juga sumbangan dari turisme. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 7 juta orang pada tahun ini, naik dari 6,3 juta orang tahun lalu. Neraca perdagangan dan jasa juga masih surplus 5 miliar dollar per September 2010. Ini juga ”madu” karena hasil keringat sendiri.

Gugatan soal ”racun” muncul berkaitan dengan lalu lintas uang masuk dan keluar. Tahun 2008, lebih banyak uang keluar daripada yang masuk. Tahun 2009, uang masuk lebih banyak sehingga positif 3,5 miliar dollar AS. Pada sembilan bulan pertama tahun 2010 sudah 15 miliar dollar AS.

”Nah, ini racun jenis apa, jinak atau berbahaya,” ujar panelis lain. Investasi asing langsung (FDI) bersifat jangka panjang jelas ”madu”, sedangkan investasi portofolio bisa saja ”racun” yang belum jelas kadar bahayanya.

Meski begitu, hal yang cukup melegakan, jika tahun 2009 perbandingan antara ”madu” dan ”racun” satu berbanding lima, maka tahun 2010 hanya satu ”madu” berbanding dua ”racun”. Meski proporsi itu menggembirakan, tetapi masih kalah dari Vietnam yang investasi asing langsung 9 miliar dollar AS, sementara Indonesia hanya 6,5 miliar dollar (neto).

Arus modal asing yang bisa menjadi ”racun” adalah yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka pendek. Namun, dalam empat bulan ini ada peningkatan investor asing membeli Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Negara (SBN).

Seorang panelis menyebutkan, dalam 10 bulan pertama tahun 2010, obligasi pemerintah berupa SUN dan SBN mencapai 9,4 miliar dollar. Hanya 3,2 miliar dollar masuk ke SBI. Sekitar 70 persen dari dana asing juga masuk ke bursa saham, sampai Oktober lalu besarnya 12 miliar-15 miliar dollar AS.

Sekalipun hampir 70 persen dana asing masuk ke bursa saham, tetapi cukup banyak asing yang masuk sebagai investor strategis. Lebih banyak dana tersebut ditanam untuk jangka waktu 2-5 tahun daripada yang ditanam untuk jangka waktu di bawah dua tahun. Salah satunya adalah Philip Morris yang mengambil alih Sampoerna.

Diperkirakan, hanya sekitar 20 persen dari dana asing ke pasar saham yang bisa bergerak keluar-masuk dan menimbulkan tekanan. Karena itu, Bank Indonesia mengantisipasi gejala ini dengan menaikkan cadangan devisa untuk siap mengintervensi.

Situasi tersebut menunjukkan bentuk kepercayaan pada perekonomian Indonesia lima tahun ke depan, tanpa dipengaruhi faktor politik, siapa yang akan memimpin negeri ini. Situasi demokrasi yang dinamis memperkuat kepercayaan investor asing.

Deindustrialisasi

Dengan tingkat kepercayaan investor asing yang tinggi, apa yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi kita? Indeks Harga Saham Gabungan sempat mencapai rekor 3.757 poin, tetapi mengapa pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 6,5 persen. Bahkan, pada triwulan III- 2010 turun menjadi 5,8 persen. Bagaimana pertumbuhan ekonomi rendah itu akan menurunkan pengangguran dan mengentaskan orang miskin?

Para panelis sepakat, sebagian besar FDI hanya masuk ke sektor pertambangan yang diekspor sebagai barang mentah tanpa nilai tambah di dalam negeri. Yang diinvestasikan ke sektor manufaktur kurang dari 14 persen. Dana asing yang masuk ke portofolio juga lebih pada sektor pertambangan.

Kondisi ini diperparah dengan kredit perbankan ke sektor manufaktur yang hanya 16 persen, turun tajam daripada era Orde Baru yang mencapai 40 persen. Akibatnya, terjadi penurunan sektor industri atau deindustrialisasi. Padahal, sektor ini dikenal sangat banyak menyerap tenaga kerja.

Perbankan sejak krisis keuangan tahun 1997/1998 memang mendapat sorotan. Sikap kehati-hatian membuat bank selektif memilih sektor yang menjadi target kredit. Jika kredit diberikan, suku bunga juga mencekik. Saat ini suku bunga utama Bank Indonesia (BI Rate) terus dipertahankan pada 6,5 persen, tetapi suku bunga kredit perbankan bisa mencapai 12 persen atau bahkan lebih tinggi lagi.

Kredit ke sektor konsumsi kian deras karena semakin banyak orang berdaya beli (purchasing power parity) 3.000 dollar AS, bahkan hingga 3.600 dollar AS per tahun. Menyedihkan lagi, sebagian besar barang di pusat pembelanjaan dikuasai barang impor yang otomatis menyedot devisa.

Pada sisi lain, panelis menilai kebijakan Bank Indonesia belakangan ini yang mendorong kredit diharapkan akan membuat sektor manufaktur kembali bergairah. Kebijakan Gubernur BI Darmin Nasution mengaitkan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) membuat perbankan berpikir dua kali sebab GWM akan membesar persentasenya jika LDR mengecil.

Upaya mendorong kredit perbankan terutama ke sektor manufaktur ini tentu saja baik, sekalipun para panelis menyebutkan bahwa belakangan tekanan inflasi juga membuat harus segera menghitung langkah memperketat jumlah uang yang dipompa ke masyarakat. Kredit perbankan tentu saja menjadi pertimbangan yang harus diperketat. BI Rate dapat saja dinaikkan dari posisi 6,5 persen.

Apabila perbankan masih lebih tergiur memberi kredit ke sektor konsumsi yang memang menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, sektor manufaktur harus putar otak untuk memperoleh dana murah di masyarakat. Karenanya, adanya perusahaan yang menawarkan saham ke bursa saham (initial public offering/IPO) atau surat utang (bond) menjadi pilihan untuk ekspansi.

Kondisi perekonomian di Barat dan Jepang yang sedang lesu membuat dana banyak beralih ke negara yang sedang tumbuh, seperti Indonesia. Bahkan, dana dari China juga mulai masuk ke pasar saham dan surat utang. Sedikitnya sampai lima tahun ke depan, Indonesia masih akan terus kebanjiran dana asing.

Kebijakan menangkal uang panas dengan membuat SBI hanya untuk investasi jangka waktu lebih panjang, jelas harus dipertimbangkan BI. Bahkan mungkin ke depan SBI berjangka relatif pendek sebaiknya dihilangkan. Situasi ini harus diantisipasi Kementerian Keuangan (Kemkeu) melalui Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Sayangnya, Kemkeu belum mengantisipasi semua ini.

Ke depan, perekonomian Indonesia masih akan terus menarik modal asing. Kebijakan yang tepat bisa membuat dana asing itu masuk ke sektor manufaktur sehingga bermanfaat bagi penciptaan lapangan kerja.

No comments:

Post a Comment