Tuesday, December 14, 2010

Korban Bencana Harus Berikan Keringanan dan Bukan Beban

Bencana memberikan dampak yang luar biasa bagi sisi kemanusiaan dan perekonomian. Pascabencana, roda kehidupan mesti berputar lagi. Padahal, kredit usaha masih ditanggung. Sapi yang siap diperah susunya mati, pohon salak tertimbun abu, bahkan rumah hancur lebur.

Bencana banjir di Wasior, tsunami di Kepulauan Mentawai, dan letusan Gunung Merapi terjadi berurutan. Selain korban jiwa, banyak juga korban harta benda, ataupun sumber penghidupan semacam ternak dan pertanian.

Data Bank Indonesia pada 14 November menunjukkan, kerugian materiil akibat letusan Gunung Merapi di antaranya terjadi pada sektor pertanian. Perkebunan salak pondoh mencatat kerugian Rp 200 miliar.

Sekitar 900 usaha mikro, kecil, dan menengah—dari 2.500 UMKM di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta—berhenti sementara waktu. Mayoritas pada usaha peternakan, hortikultura, dan kerajinan.

Sektor perikanan juga mengalami kerugian besar akibat matinya 1.272 ton ikan. Peternakan terpukul karena 2.578 sapi mati. Belum terhitung kambing dan domba.

Dalam kondisi demikian, penetapan daerah bencana memang diperlukan. Selanjutnya, perlakuan khusus terhadap kredit di daerah bencana.

Bank Indonesia sudah memiliki Peraturan BI (PBI) Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Pada 8 Desember 2010, Gubernur BI menerbitkan surat keputusan penetapan daerah bencana yang mengacu pada PBI tersebut. Dengan SK itu, perbankan dapat menerapkan perlakuan khusus bagi debitor di daerah bencana.

Perbankan setidaknya dapat melakukan tiga hal terhadap kredit bank yang terkena dampak bencana. Pertama, merestrukturisasi kredit yang terkena dampak bencana tetapi memiliki prospek baik dan kredit yang direstrukturisasi itu ditetapkan berkolektibilitas lancar.

Kedua, menaikkan batas penilaian kualitas aktiva produktif menggunakan pilar ketepatan pembayaran, yang normalnya Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar khusus kredit di daerah bencana. Ketiga, memberikan tambahan fasilitas kredit baru apabila diperlukan bagi debitor yang kena dampak bencana.

Kalangan perbankan menyambut baik hal itu. Mereka bahkan sudah bersiap-siap mengimplementasikannya.

Direktur Utama PT Bank BTN Iqbal Latanro mengatakan, BTN siap menerapkan aturan tersebut bagi debitor di wilayah Jawa Tengah dan DIY. BTN tak memiliki nasabah di wilayah bencana Mentawai dan Wasior.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Bank Perkreditan Rakyat DIY Tedy Alamsyah mengaku, BPR pernah belajar dari bencana gempa di DIY tahun 2006. ”Belajar dari bencana gempa tahun 2006, kami tahu debitor yang mungkin mengalami kesulitan pembayaran kredit bukan hanya di daerah yang langsung kena dampak bencana, tapi juga yang tak langsung kena,” kata Tedy.

Kredit bagi debitor yang kena dampak, baik langsung maupun tak langsung, letusan Gunung Merapi di DIY mencapai Rp 90 miliar.

Pada praktiknya, bank kemudian menggolongkan debitor yang kena dampak bencana. PT Bank BRI, misalnya, memiliki syarat khusus untuk penghapusbukuan kredit (write-off) di daerah bencana, yakni debitor— yang menerima kredit sebelum bencana terjadi—kena dampak langsung bencana itu.

Kriteria alternatif BRI, yakni debitor meninggal atau tak diketahui keberadaannya; debitor tak memiliki kemampuan fisik atau mental; serta agunan musnah, rusak, atau hilang. ”Kami perlu waktu menggolongkan debitor ini, akan kami lakukan secepatnya,” ujar Muhamad Ali, Corporate Secretary BRI.

Kredit yang dikucurkan BRI ke daerah yang kena dampak letusan Merapi di antaranya untuk usaha sektor peternakan, pertanian, dan perdagangan. Maksimum potensi kerugian Rp 400 miliar. Akan tetapi, Ali mengaku masih harus didata ulang berapa persisnya kredit yang diberikan yang bisa dikenai aturan BI tersebut.

Penerapannya

Ali mengilustrasikan, debitor yang menggunakan kredit dari BRI untuk membeli 100 sapi perah. Akan dilihat lebih dulu, apakah sapinya masih ada, berkurang, atau ada tetapi tidak bisa menghasilkan susu karena ketiadaan pakan.

Misalnya, dengan 100 sapi perah, debitor mampu membayar kredit selama lima tahun. Kini, dengan sapi 25 ekor, tentu kemampuan membayar kredit tidak seperti sebelumnya.

”Setelah tahu kemampuan mengangsurnya, akan diberi keringanan dengan memperpanjang tenggat waktu,” kata Ali.

Keringanan masa pembayaran kredit itu juga akan dilakukan BPR di DIY. Tedy mengaku, sebagai bank yang tumbuh dan besar di DIY, BPR DIY memiliki kedekatan personal dan emosional dengan warga DIY. Langkah yang mengacu aturan BI juga dilakukan dengan pertimbangan emosional.

”Misalnya, ada usaha di Sleman yang kena dampak bencana meski debitor tak kena karena tinggal di kota lain. Untuk hal ini, kami rasa perlu kebijakan tersendiri,” kata Tedy.

Data BI menunjukkan, perekonomian DIY—yang didominasi pariwisata, hotel, dan restoran—jasa, dan pertanian menerima dampak tak langsung bencana letusan Gunung Merapi. Kunjungan wisatawan yang berkurang serta penundaan atau pengalihan lokasi acara wisata tak hanya membuat tingkat hunian hotel anjlok dari rata-rata 70 persen menjadi 30 persen. Namun, rantai industri kerajinan, kuliner, dan transportasi ikut menerima imbasnya.

Kini, saatnya daerah—yang pernah mengalami bencana—itu bangkit. Salah satu caranya, meringankan beban debitor yang sudah kehilangan banyak hal akibat bencana supaya mereka dapat menggerakkan roda usaha lagi. Jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga pula akibat kesulitan membayar kredit.

No comments:

Post a Comment