Thursday, December 23, 2010

Laporan Akhir Tahun 2010: Agroindustri Tumpuan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pada awal tahun pemerintah menargetkan kenaikan produksi beras 3,32 persen dibandingkan dengan tahun 2009, tetapi angka ramalan III Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa kenaikan produksi padi nasional ternyata 2,46 persen (1,58 juta ton) menjadi 65,98 juta ton gabah kering giling.

Kenaikan tersebut, menurut BPS, terjadi pada perkiraan produksi September-Desember 2010 sebesar 2,09 juta ton, sementara realisasi produksi Januari-Agustus turun 0,51 juta ton.

Turunnya produksi padi periode Januari-Agustus sedikit banyak menjelaskan tingginya harga beras yang berlanjut hingga November. Bulog tak mampu membeli beras sehingga tidak bisa memenuhi stok 1,5 juta ton. Padahal, beras masih menjadi pangan pokok sebagian besar masyarakat dan ikut menentukan inflasi. Hasilnya seperti diumumkan awal Desember, Bulog mengimpor total 850.000 ton untuk cadangan hingga panen raya Februari 2011.

Salah satu penyebab adalah cuaca. Tahun 2009, terjadi fenomena kekeringan El Nino sehingga jadwal tanam utama akhir tahun mundur, lalu disusul La Nina dengan curah hujan tinggi sejak Maret 2010. Dapaknya terlihat pada produksi dan kualitas beras.

Di luar faktor alam, ada sumbangan perubahan perilaku masyarakat. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan, bertambahnya jumlah penduduk berdaya beli memengaruhi pilihan mereka pada beras. Dari Kajian Kementerian Pertanian, ternyata hanya 7 kota di 33 provinsi yang konsumsi berasnya setara IR 64 kualitas 3 yang selama ini adalah tolok ukur Bulog menstabilkan harga.

Ilustrasi lain, kedelai, yang sebagian besar diimpor. Para pedagang grosir berpegang pada harga di bursa komoditas di Chicago—bisa jadi tidak berhubungan langsung dengan permintaan dan pasokan di dalam negeri—karena akan menentukan harga saat nanti membeli kedelai impor.

Pada gula tebu, produksi tahun lalu mendekati 3 juta ton, tetapi tahun 2010 tinggal 2,2 juta ton. Selain karena tingginya curah hujan sehingga kadar gula tebu turun, juga karena bibit tidak diganti. Program penggantian bibit tebu dengan bantuan pemerintah pada tahun anggaran 2003 dan 2004, memberi kenaikan signifikan produksi gula 2-3 tahun. Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah perlu terus-menerus inovatif dalam membuat kebijakan yang tepat untuk mengembangkan industri pangan dalam negeri.

Dengan ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa masih belum pulih, investor yang ingin mendapat imbal jasa tinggi belakangan juga melirik pasar komoditas. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menyebutkan, selain iklim yang kurang bersahabat, naiknya harga komoditas pangan juga disebabkan oleh masuknya investor ke dalam pasar komoditas primer.

Rigiditas

Para panelis sepakat mengenai faktor penyebab ekonomi lamban bergerak dan menghambat kecepatan pertumbuhannya adalah rigiditas anggaran pemerintah. Padahal, belanja pemerintah masih menjadi faktor penting penggerak ekonomi, terutama di daerah.

Dari sisi waktu, butuh 9-12 bulan mulai saat penyusunan, pembahasan di DPR, hingga pelaksanaan anggaran di lapangan. Dari sisi institusi berupa lembaga dan aturan, pun sama ketatnya. Pengaturan beras untuk rakyat miskin, misalnya, ditetapkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mulai dari jumlah rumah tangga (RT) penerima, jumlah kilogram per RT, harga, biaya angkut, hingga ongkos pelaksana, dan proses itu berlanjut di tingkat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

Faktor lain, meskipun lahan mutlak tersedia, tetapi lahan pertanian butuh infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan saluran irigasi.

Dari sisi pendaan, lemah dukungan sektor keuangan/perbankan untuk kegiatan industrialisasi hasil pertanian (off farm) demi mendapat nilai tambah tertinggi. Dalam praktik, sektor keuangan/perbankan tidak terlalu bersahabat sebab pertanian butuh waktu paling tidak lima tahun dari saat membuka lahan hingga mulai menghasilkan. Hampir semua bank membiayai setelah terlihat hasilnya, tetapi tidak bersedia membiayai dari awal.

Butuh strategi

Berbagai persoalan bidang pertanian tersebut berawal dari tidak adanya strategi industrialisasi nasional sejak reformasi hingga kini, seperti ditegaskan Direktur Eksekutif Econit Hendri Saparini. Strategi industrialisasi nasional seharusnya memetakan dengan jelas sasaran, cara mencapai, dan dukungan tiap sektor untuk mencapai sasaran dengan tahapan waktu jelas dan indikator pencapaian terukur.

Diskusi ini sampai pada kesimpulan Indonesia memasuki tahap gejala dini de-industri yang terlihat dari statistik tiap bidang meski berbagai indeks daya saing global Indonesia membaik.

Ahli ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, dan ahli ekonomi Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, menunjukkan, pertumbuhan sektor non-tradable, antara lain jasa dan telekomunikasi, semakin dominan, sementara sektor tradable, seperti manufaktur dan pertanian, semakin menurun pangsanya dalam ekonomi nasional. Pengalaman konkret pengusaha tekstil Benny Soetrisno menunjukkan hal sama.

Padahal, pertanian budidaya masih mempekerjakan hampir 40 persen tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rata-rata rendah (sekolah dasar). Industrialisasi pertanian bila terwujud sangat berperan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Sayangnya, seperti dipaparkan Iman Sugema, ekspor Indonesia masih didominasi bahan mentah dan terlalu sedikit komoditas unggulan walaupun alam Indonesia kaya raya. Dari pertambangan, hanya batu bara, sementara dari sektor agroindustri cuma kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO).

Ironisnya, data memperlihatkan yang berkembang adalah industri otomotif yang tidak berbahan baku lokal sehingga justru menyedot devisa. Ketiadaan strategi industri nasional menyebabkan yang tumbuh industri yang tidak bertumpu pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada.

Menurut Iman Sugema, pertumbuhan tinggi sektor nontradable (barang/jasa yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri) terjadi justru setelah liberalisasi pasar, padahal liberalisasi seharusnya mendorong sektor tradable tumbuh pesat. Ada kekhawatiran Indonesia terjangkiti ”penyakit belanda” (Dutch disease), yaitu terbentuknya relasi antara meningkatnya eksploitasi sumber daya alam dan merosotnya sektor manufaktur. Di sini, kebijakan yang tidak tepat tampaknya menyebabkan yang bertumbuh justru sektor non-tradable sehingga membuat antara lain upah naik yang berbuntut memerosotkan industri lain, termasuk agroindusti-agrobisnis.

Di sisi lain, pertanian butuh kebijakan khas per komoditas karena sifatnya spesifik lokasi dan komoditas. Karena itu, kepemilikan (lahan) menjadi penting sebab menentukan akses untuk pemanfaatan dan penciptaan nilai tambah. Di sinilah dituntut keberpihakan pemerintah menentukan kepemilikan dan untuk itu dibutuhkan strategi industri nasional sebagai acuan.

No comments:

Post a Comment