Thursday, December 23, 2010

Laporan Akhir Tahun 2010: Menunggu Cetak Biru Strategi Industri Nasional Yang Baik

Bagi sektor industri negeri ini, tahun 2010 tak memberi perubahan berarti. Bahkan, bagi beberapa subsektor industri terjadi pelemahan. Persoalan pengembangan industri masih tetap sama seperti tahun lalu dan hal yang sama akan menghadang tahun depan jika tidak ada pembenahan.

Kondisi tahun depan diperkirakan akan lebih baik daripada tahun ini, tetapi bukan berarti tanpa tantangan. Risiko global akan terus menghadang dan turbulensi ekonomi masih ada dan ditambah ancaman perubahan iklim.

Situasi itu akan memengaruhi sektor industri, terutama industri manufaktur yang berpotensi besar menyerap tenaga kerja.

Sepanjang 2010 pertumbuhan industri manufaktur relatif jalan di tempat. Kalaupun tumbuh, 67 persen pertumbuhannya disumbang industri otomotif. Tanpa sumbangan otomotif, praktis industri manufaktur hanya tumbuh 2 persen.

Industri manufaktur yang pertumbuhannya relatif tinggi adalah radio, TV, dan peralatan komunikasi, lalu kimia dan produk kimia, serta mesin dan peralatan.

Industri otomotif, elektronik, dan peralatan komunikasi memang menjanjikan, tetapi jika disimak lebih dalam industri ini tidak berbasis sumber daya alam (SDA) lokal. Satu-satunya industri manufaktur yang berkembang relatif baik dan berbasis SDA adalah industri tembakau. Artinya, industri yang berkembang bukanlah proses melanjutkan akumulasi kapital dari kegiatan memberi nilai tambah terhadap sumber daya alam Indonesia.

Contoh kegagalan memberi nilai tambah pada SDA dalam negeri antara lain kakao. Meski Indonesia penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, nyatanya industri pengolahan kakao masih mengimpor bahan baku biji kakao.

Alasannya, kualitas biji kakao perkebunan di dalam negeri rendah karena tidak difermentasi dengan baik. Industri pengolahan kakao di Tangerang, Banten, misalnya, setiap tahun harus mengimpor 30.000 ton kakao senilai sekitar 50 juta dollar AS. Belum lagi impor kakao bubuk. Padahal, kakao impor itu bahan mentahnya dari Indonesia.

Dengan kata lain, hambatan membangun industri yang berdaya saing adalah struktur biaya yang sudah tak mampu bersaing.

Inti industrialisasi adalah memberi nilai pada sebuah produk. Jika yang kemudian berkembang adalah industri manufaktur yang tidak berbasis sumber daya alam lokal, lalu ke mana sebenarnya arah industrialisasi yang ingin dibangun.

Dalam diskusi, ekonom Econit Hendri Saparini secara tegas mengatakan, Indonesia belum memiliki strategi industri nasional yang menggambarkan dengan jelas sektor yang akan diprioritaskan harus berbasis sumber daya Indonesia dan melihat kondisi sumber daya manusia yang ada. Lalu dipetakan dukungan yang wajib diberikan oleh sektor-sektor pendukung, seperti pembiayaan/perbankan, perindustrian, perdagangan, hingga kelembagaannya berupa peraturan dan peran pemerintah hingga ke tingkat kabupaten/kota.

Kepercayaan bank

Sebagian kalangan menilai, tidak berkembangnya industri di dalam negeri juga dampak dari ”ulah” perbankan. Untuk mendapat pembiayaan modal kerja, pelaku industri harus menyediakan jaminan tambahan berupa aset tak bergerak, selain usahanya yang menjadi jaminan utama. Syarat ini membuat pengusaha kesulitan.

Pengusaha tekstil Benny Soetrisno mencontohkan, sementara perbankan di Indonesia sangat konservatif, perbankan Singapura aktif menawarkan berbagai program pembiayaan industri di Indonesia. Mereka menawarkan collateral asset management, yaitu yang menjadi jaminan adalah bisnisnya.

Hubungan antara pengusaha dan perbankan nasional tersebut secara tidak langsung menunjukkan belum adanya saling percaya antara bank dan pelaku industri. Bank masih beranggapan pembiayaan untuk industri berisiko, sementara pengusaha melihat sikap bank sebagai hambatan.

Ketidakharmonisan tersebut tercermin pada menurunnya porsi kredit yang dikucurkan perbankan kepada industri manufaktur. Di era Orde Baru, kredit perbankan pada industri manufaktur mencapai 40 persen dari total kredit, saat ini hanya 16 persenan.

Pembiayaan investasi riil di industri sebenarnya bukan hal pelik dan bisa dipenuhi kemampuan dalam negeri. Selama ini, kontribusi investasi asing di Indonesia maksimum hanya lima persen dari total inves- tasi. Sisanya adalah investasi domestik.

Namun, persoalan juga menyangkut inefisiensi, termasuk dalam biaya logistik. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, biaya penanganan kontainer di Indonesia paling tinggi. Untuk kontainer 20 kaki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, tarifnya 95 dollar AS, sementara di Malaysia hanya 88 dollar AS, Thailand 63 dollar AS, dan Vietnam 70 dollar AS. Dan di negara-negara tersebut dibayarkan de- ngan mata uang setempat, sementara di Indonesia harus dalam dollar AS.

Ketenagakerjaan juga menjadi faktor pengganjal. Silang pendapat terkait Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan hingga kini belum mencapai titik temu. Upaya pemerintah merevisi UU tersebut ditolak DPR. Ketidakpastian landasan hukum ini mudah memicu ketegangan antara buruh dan pengusaha.

Belum lagi soal kesesuaian tenaga kerja dengan kebutuhan. Industri sepatu di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, sulit berekspansi karena terhalang ketersediaan tenaga kerja terampil. Padahal, satu pabrik sepatu baru setidaknya membutuhkan 2.000 tenaga kerja.

Peluang banyak

Jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa dan ditambah sumber daya alam yang dimiliki, banyak peluang bisa diraih, mulai dari bisnis kelapa sawit, gula, beras, hingga peternakan.

Bahkan, untuk mencapai skala ekonomi, industri di Indonesia relatif lebih mudah dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura. Ini karena pasar domestiknya besar, apalagi sebagian besar penduduk terkonsentrasi di Jawa sehingga pemasaran produk industri relatif lebih mudah.

Persoalannya adalah menentukan pilihan industri yang akan dikembangkan dan konsisten dalam mengembangkannya.

Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat dalam evaluasi akhir tahun 2010 menyatakan, pada periode 2010-2014 akan fokus pada pengembangan enam kelompok industri dari 35 industri prioritas, yaitu industri padat karya, industri kecil dan menengah, industri barang modal, industri berbasis sumber daya alam, industri dengan pertumbuhan tinggi, dan industri prioritas khusus.

Apabila pilihan fokus sudah ditetapkan, semua kebijakan dan faktor pendukung harus difokuskan ke sana, mulai dari infrastruktur, dukungan perbankan, kebijakan perdagangan dalam negeri maupun internasional, hingga kebijakan fiskal. Bagaimanapun, kebijakan industri tidak akan bisa berjalan tanpa kebijakan pendukung dari luar sektor industri.

Faktor penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki birokrasi dan meniadakan korupsi. Pengusaha dapat membuat industrinya efisien dan berbiaya murah, tetapi mereka tak berdaya mengurangi biaya tinggi yang diciptakan birokrasi. Tanpa korupsi, dan dengan birokrasi yang bersih dan baik, negeri ini bisa tumbuh lebih cepat.

No comments:

Post a Comment