Saran menunda pengesahan RUU itu terungkap dalam diskusi Kajian RUU Perumahan dan Permukiman di Jakarta, Kamis (9/12), yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan.
RUU Perumahan dan Permukiman kini sedang dibahas di DPR. RUU ini merupakan revisi dari UU Perumahan dan Permukiman Nomor 4 Tahun 1992.
Menurut Jehansyah Siregar, peneliti Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB, Indonesia menghadapi ancaman kekurangan rumah yang semakin besar.
Setiap tahun kebutuhan rumah baru 700.000 unit, sedangkan pasokan rumah dari pengembang dan Perumnas maksimum 250.000 unit sehingga setiap tahun kekurangan rumah bertambah 450.000 unit.
Namun, RUU Perumahan dan Permukiman belum tegas mengatur moda penyediaan perumahan swadaya, perumahan sosial, dan perumahan umum, yang menopang penyediaan rumah rakyat. Pengembang tak akan sanggup memenuhi semua kebutuhan perumahan.
”RUU Perumahan dan Permukiman sebaiknya ditunda. Substansinya belum menyentuh upaya mengatasi persoalan perumahan,” ujar Jehansyah.
RUU Perumahan dan Permukiman, menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria, tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.
Substansi RUU Perumahan dan Permukiman, kata pengamat dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Andrinof Chaniago, belum memiliki kejelasan peta rencana untuk mengatasi kekurangan rumah.
Ia menjelaskan, hanya 20 persen kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang terlayani dengan program rumah bersubsidi. Sekitar 80 persen program itu dinikmati masyarakat menengah ke atas.
Kini, dengan pola subsidi berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), masyarakat menengah bawah kian sulit memiliki rumah. Hal ini disebabkan harga rumah bisa naik hingga mencapai Rp 90 juta per unit.
”RUU Perumahan dan Permukiman harus dievaluasi dengan memperkuat peran lembaga penyedia perumahan rakyat,” ujar Andrinof.
Dalam usulan yang disampaikan kepada Wakil Presiden Boediono, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) meminta pemerintah mempertimbangkan tabungan wajib perumahan diberlakukan lebih luas. Selama ini tabungan perumahan hanya diwajibkan bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri.
”Keinginan kita untuk mengejar kekurangan backlog itu dengan meregulasi tabungan perumahan bagi masyarakat Indonesia,” kata Ketua DPP REI Setyo Maharso.
Ia menjelaskan, jika tabungan wajib perumahan digulirkan bagi seluruh warga negara Indonesia yang berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, hal itu akan mempercepat pengumpulan dana sehingga FLPP dapat lebih murah.
Dari perhitungan DPP REI, bila diberlakukan tabungan wajib perumahan, akan terhimpun dana Rp 17 triliun per tahun.
DPP REI juga mengharapkan kepemilikan properti bagi orang asing jangka waktunya minimal 70 tahun dan harga terendah yang dapat dibeli satu miliar rupiah.
No comments:
Post a Comment