Thursday, December 23, 2010

Laporan Akhir Tahun 2010: Memastikan Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi dan Berkualitas

Berbagai indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan. Beberapa di antaranya adalah bertambahnya jumlah orang berpendapatan 2-10 dollar AS per hari yang mengindikasikan meningkatnya daya beli dalam negeri. Indonesia juga memiliki keuntungan yang terberi dan melekat, yaitu kekayaan alam melimpah dan jumlah penduduk yang besar sebagai pasar.

Peringkat daya saing global Indonesia juga membaik menurut lembaga dunia seperti World Economic Forum dan International Institute for Management Development. Begitu juga kemudahan melakukan bisnis, naik ke peringkat 115 dari 183 negara yang disurvei IFC dan Bank Dunia.

Meski demikian, perekonomian Indonesia harus sungguh-sungguh dibenahi untuk mencapai, yang dalam istilah Faisal Basri, pertumbuhan dengan gigi akselerasi lebih tinggi. Tujuannya, mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan.

Berbagai indikator menunjukkan, perbaikan kelembagaan sangat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bahkan hingga ke tingkat 8 persen per tahun. Inefisiensi birokrasi pemerintah dan korupsi masih menjadi kendala untuk melakukan usaha ekonomi di Indonesia.

Infrastruktur juga masih menjadi penghambat dalam melakukan bisnis di Indonesia. Infrastruktur yang sungguh-sungguh membutuhkan perbaikan adalah fasilitas pelabuhan, jalan, penyediaan listrik, efisiensi pasar tenaga kerja, teknologi, serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Apabila dilihat lebih dalam, rigiditas politik-ekonomi menyebabkan pengambilan kebijakan tidak bisa berjalan lincah. Pemberantasan korupsi yang tersendat serta tersanderanya ekonomi oleh oligarki politik menjadi penyebab lain. Sejumlah kebijakan pemerintah justru membuat ekonomi tumbuh lebih lambat. Pengetatan belanja pemerintah, misalnya, yang -4,6 persen (Januari-September 2010) menurut BPS, menyebabkan pertumbuhan PDB tertahan di 5,9 persen walaupun ekspor tumbuh 15 persen (Januari-September). Dibandingkan dengan sejumlah negara Asia, seperti Thailand, Filipina, Vietnam, Korea, China, dan Singapura, pertumbuhan PDB Indonesia adalah terendah.

Dari sisi kualitas, pertumbuhan PDB didominasi sektor nontradable (barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri), seperti gas, air dan listrik, transportasi dan komunikasi, jasa, konstruksi, dan turisme, sebesar 8,1 persen pada kuartal ketiga 2010. Sementara sektor tradable, seperti pertanian, pertambangan, dan manufaktur, tumbuh hanya 2,1 persen. Dari industri manufaktur, pertumbuhan tertinggi pun berasal dari otomotif yang tidak berbahan baku lokal.

Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit Indonesia terhadap PDB masih lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia, antara lain dengan Filipina, Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, China, Hongkong, dan Taiwan.

Peluang dan tantangan

Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh, pertanyaannya adalah kualitas pertumbuhan tersebut. Tantangan bagi pemerintah adalah memilih apakah membesarkan kue dulu baru membaginya ataukah membagi kue pembangunan yang kecil. UUD 1945 mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyat melalui penyediaan lapangan kerja yang layak, penyediaan pendidikan dan kesehatan, serta menjamin bumi, tanah, dan air Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanat tersebut mewajibkan pemerintah tidak meninggalkan satu rakyat pun dalam pembangunan.

Kualitas kemakmuran selalu menjadi perdebatan. Kabinet Indonesia Bersatu II memiliki slogan pertumbuhan, lapangan kerja, dan mengentaskan warga dari kemiskinan. Pemerintah menyebutkan, jumlah keluarga miskin yang berhak mendapat bantuan beras (raskin) turun dari 19,1 juta keluarga atau sekitar 76,4 juta orang (2008) menjadi 17,5 juta keluarga (2010). Yang berhak menerima layanan kesehatan orang miskin (jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta orang. Namun, apabila menggunakan angka Bank Dunia, jumlah orang yang mendekati miskin ada 42 persen atau mendekati 100 juta orang.

Data tersebut, demikian ekonom Econit, Hendri Saparini, mengingatkan bahwa anggaran kemiskinan yang tahun 2010 meningkat tajam menjadi Rp 94 triliun (tahun 2009 besarnya Rp 66 triliun) tidak efektif menurunkan angka kemiskinan. Tidak efektifnya anggaran tersebut disebabkan penggunaannya banyak untuk belanja barang di daerah sehingga banyak biaya dikeluarkan untuk perjalanan, honor, dan membicarakan kemiskinan.

Menurut Hendri, kajian Econit lebih dalam memperlihatkan penyerap tenaga kerja tahun 2006-2010 yang terbesar (41 persen) adalah sektor jasa kemasyarakatan, seperti jasa pembersih sampah dan reparasi kecil-kecilan. Adapun data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, 68,6 persen tenaga kerja berada di sektor informal, seperti berusaha sendiri, pekerja bebas di pertanian dan nonpertanian, pekerja keluarga, dan berusaha dibantu buruh tak tetap. Dari sisi lokasi, sebagian besar (64-70 persen) keluarga miskin berada di desa sehingga program mengentaskan warga dari kemiskinan berarti membangun pedesaan.

Kenyataan itu berhadapan dengan stagnannya pertumbuhan sektor tradable yang sebetulnya menciptakan nilai tambah dan menyerap lapangan kerja. Di dalam sektor tradable itu pun terlalu sedikit sektor yang unggul, yaitu hanya batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).

Batu bara merupakan industri ekstraksi alam yang merusak lingkungan dan hasilnya sebagian besar diekspor. Di sisi lain, negeri ini kesulitan energi untuk mendukung industri manufaktur. Sementara dari sektor pertanian, produk yang diekspor berbentuk mentah, seperti CPO, yang nilai tambahnya rendah dan kurang menyerap tenaga kerja.

Dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir, tidak ada jalan lain kecuali memastikan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkelanjutan, berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia, serta menciptakan kesejahteraan yang adil dan merata.

Iklim demokrasi yang lebih baik telah mendorong inisiatif masyarakat untuk menciptakan iklim berusaha yang lebih baik dan sehat. Beberapa pemda juga membuat inisiatif yang membangkitkan kegiatan ekonomi langsung atau tak langsung. Penyelenggaraan jaminan kesehatan warga di Kabupaten Buleleng dan Kota Palembang, misalnya, serta pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dapat disinkronkan ke dalam kebijakan nasional sehingga menghasilkan efek bola salju pertumbuhan ekonomi

No comments:

Post a Comment