Thursday, December 9, 2010

Komitmen Ekspor Pasca-erupsi Merapi Dari Pengrajin Tembaga

Erupsi Gunung Merapi sempat membuat Sumanto pusing tujuh keliling. Pesanan wadah air mancur tembaga dari tiga pembeli Australia hampir molor. Penyebabnya, selain bengkel produksinya terpapar abu vulkanik lumayan tebal, mayoritas perajin di perusahaannya juga mengungsi.

Selama hampir dua pekan sejak erupsi dahsyat Merapi pada 3 November 2010, bengkel kerajinan tembaga PT Bintang Pamungkas milik Sumanto (40) yang berada di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, lumpuh.

Daerah itu hanya 8-9 kilometer dari puncak Gunung Merapi, atau berada dalam jarak berbahaya. Pasalnya, pada awal November, pemerintah sempat mengumumkan jarak bahaya erupsi Merapi mencapai radius 20 kilometer.

”Saya benar-benar bingung karena pembeli luar negeri pastinya tidak mau memahami erupsi Gunung Merapi,” tutur Sumanto yang ditemui di bengkel tembaga Bintang Pamungkas, awal Desember.

Kendati demikian, Sumanto juga sadar, memaksakan kehendak untuk meneruskan pekerjaan pun bukan pilihan bijak. Selain bisa mengancam jiwa, abu vulkanik juga membuat penyelesaian akhir kerajinan tembaga tidak maksimal. Tembaga bakal terkesan kusam sehingga bisa ditolak pembeli asing yang ketat soal kualitas produk. Ia akhirnya hanya bisa menanti dengan cemas.

Barulah pada akhir November, bengkel miliknya kembali riuh seiring penurunan aktivitas vulkanik Merapi. Pemerintah menurunkan daerah rawan menjadi lima kilometer untuk kawasan Boyolali.

Sumanto langsung memanggil perajin-perajin itu untuk mengejar keterlambatan pengerjaan. Pesanan menumpuk, 60 wadah air mancur serta 25 hiasan dinding dari tembaga.

Kendati nilai pesanan itu bagi Sumanto tidak terlalu besar, sekitar Rp 150 juta, ia tak berani tidak tepat waktu. Pasalnya, tiga pembeli Australia itu merupakan jaringannya menembus pasar ekspor.

Selama ini mereka memercayai Sumanto selain karena inovasi desain juga masalah ketepatan waktu. Maka itu, ia akhirnya memadatkan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan tiga pekan menjadi hanya sepekan. Ia menambah tenaga kerja empat orang sehingga total ada 44 perajin.

Selain itu, dia juga memacu perajin itu untuk lembur hingga tengah malam. Ia mengeluarkan uang lebih Rp 7.000 per jam untuk kelebihan waktu bekerja.

Sumanto memberi upah perajin di bangkelnya Rp 30.000 untuk pekerjaan dari pukul 08.00-16.00. Ia terpaksa memperkecil margin keuntungan karena ada pengeluaran ekstra, sedangkan harga sesuai kontrak lama.

”Yang terpenting, saya bisa selesai dan mengirimkannya tepat waktu,” tuturnya.

Bagi Sumanto, kepercayaan, modal inovasi produk, dan keuletan menjadi kunci sukses berusaha di bidang kerajinan tembaga di Tumang kendati persaingan terbilang ketat.

Maklum, di kawasan itu terdapat 303 unit kerajinan tembaga dengan 75 unit di antaranya skala menengah besar. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Boyolali, mereka menghasilkan kerajinan dengan nilai Rp 22,27 miliar per tahun.

Sumanto merasa perlu memenuhi komitmen ekspor karena usahanya ini dimulai dari nol. Anak seorang petani dengan lahan terbatas. Sejak masih kelas I SMA akhir tahun 1980, ia kerap mencari tambahan uang saku dengan bekerja menawarkan produk tembaga Tumang. Lulus SMA, Sumanto selama dua tahun menggarap lahan ayahnya yang luasnya tak sampai satu hektar. Tanpa hasil yang cukup, ia bekerja di KUD Cepogo dan bertugas mengurusi kredit usaha kerajinan.

Dari situ, dia perlahan mempelajari seluk-beluk kerajinan tembaga Tumang, mulai dari harga bahan baku, upah buruh, potensi, hingga harga jual. Setelah cukup informasi, dua tahun kemudian dia memberanikan diri memulai usaha tembaga kecil-kecilan. Dia merekrut temannya yang memiliki keahlian mengolah tembaga. Modal awal Rp 300.000 didapatnya dari meminjam saudara. Uang itu dibelikan peralatan mengelas.

Omzet usahanya ketika itu Rp 150.000-Rp 300.000 per bulan. Perlahan-lahan, usahanya membaik seiring dengan bertambahnya pesanan kerajinan tembaga, seperti hiasan dinding atau lampu hias.

Namun, saat usahanya mulai baik setahun kemudian, pada tahun 1996 ia merugi hingga Rp 7 juta lantaran dua pembeli bangkrut dan tak bisa membayar barang pesanan. Di saat itu, dia terpaksa berutang ke koperasi Rp 2,5 juta untuk tetap memutar roda produksi usahanya.

”Beberapa bulan kemudian ada kenalan yang menawarkan interior hotel di Solo. Hasilnya membaik, tetapi lebih dari itu ada pengusaha Belanda yang melihat jadi tertarik dan memesan untuk interior salah satu bank asing di Solo,” tuturnya.

Nilai kontrak saat itu Rp 45 juta dengan keuntungan dua per tiga dari nilai tersebut. Dari kontrak kerja itu, dia bisa melunasi utang dan meningkatkan volume usaha.

Usahanya terus menanjak setelah mendapat pesanan untuk ekspor pertama kali ke Amerika Serikat tahun 2001. Pengiriman tiga kontainer produk berjalan lancar dan dia mendapat keuntungan Rp 200 juta. Namun, dua kontainer belakangan tertahan di pelabuhan lantaran ditolak pembeli.

”Pembeli kecewa karena saya terlambat dua minggu dari jadwal. Akhirnya pembelian produk senilai Rp 400 juta dibatalkan. Saya perlu waktu dua tahun untuk menjual kerajinan itu secara eceran,” tutur Sumanto.

Namun, dari pengalaman buruk itu, dia mendapat pelajaran berharga, yakni sebaik-baiknya produk, tak berguna jika tak tepat waktu. Hal ini menjadi landasannya menjalin hubungan langgeng dengan pembeli Australia selama lima tahun terakhir dengan pesanan satu kontainer bernilai Rp 200 juta sebulan sekali. Ia sebisa mungkin menghindari keterlambatan pengiriman barang.

Bagi Sumanto, pasang surut usaha sesuatu yang sangat wajar sehingga harus disikapi dengan tenang dan jangan putus asa. Dia sudah membuktikan dengan jatuh bangun usaha selama belasan tahun itu.

”Jadi, kalau ada halangan seperti erupsi Merapi saya pusing, tetapi karena sudah sering pusing, jadi hilang pusingnya,” tuturnya bercanda.

No comments:

Post a Comment