”Dengan memajaki bahan bakar fosil, akan ada tambahan dana untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Ini perlu disikapi serius karena kecenderungan harga bahan bakar fosil akan terus meningkat,” kata Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, di Jakarta, Kamis (9/12), dalam Peluncuran Studi Energi oleh Bank Dunia dengan judul, ”Winds of Change, East Asia’s Sustainble Energy Future”.
Pemerintah, lanjut Herman, tengah memperhitungkan untuk menekan konsumsi bahan bakar fosil. Pertama, mengalihkan anggaran subsidi dari bahan bakar minyak (BBM) ke subsidi energi terbarukan. Kedua, menerapkan pajak bahan bakar fosil.
Dalam laporan studi yang disusun Spesialis Energi Senior Bank Dunia, Xiaodong Wang,
Eropa juga telah menerapkan pajak bahan bakar bagi kendaraan truk, atau mobil kelas SUV, yang mengonsumsi bahan bakar lebih banyak. Ini adalah salah satu cara untuk menekan permintaan energi dari sektor transportasi.
Selain mengenakan pajak, menurut Wang, cara lain adalah memberikan insentif kepada perusahaan yang sukarela menekan emisi karbon dioksida. Insentif itu bisa berupa insentif pajak, yang terkait dengan kebijakan ramah lingkungan.
Menurut Wang, insentif dibutuhkan karena ongkos produksi suatu produk yang dihasilkan oleh alat produksi berbasis energi fosil jauh lebih murah dibandingkan produksi yang berbasiskan energi terbarukan.
Dengan insentif itu, diharapkan target pemerintah mendorong komposisi penggunaan energi terbarukan sebesar 17 persen dari total energi pada tahun 2025 akan tercapai.
”Pada saat yang sama, pengalihan subsidi bahan bakar minyak perlu didorong lebih cepat ke green subsidies (anggaran subsidi yang berbasiskan program energi terbarukan),” kata Wang.
Tahun 2010, Indonesia mengalokasikan anggaran subsidi BBM Rp 88,9 triliun. Apabila ditambah dengan subsidi listrik, total anggaran untuk subsidi energi mencapai Rp 140 triliun.
Setiap liter BBM di Indonesia kini sudah dibebani Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen. Pajak ini sudah termasuk dalam harga jual.
Presiden Direktur PT EMI Gannet Pontjowinoto mengatakan, pengurangan subsidi BBM tidak mudah dilakukan di Indonesia. Hal ini karena subsidi BBM tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut politik dan sosial.
”Padahal, program efisiensi energi sangat mudah dilakukan dan cepat serta sangat dekat dengan masing-masing individu. Sebagai contoh, ruang berpendingan udara padahal masih pagi, atau ruang yang menggunakan kabel tebal, padahal ini mengeluarkan panas. Kalau hal-hal kecil itu saja bisa dihapuskan, efisiensi bisa sangat terjadi,” katanya
No comments:
Post a Comment