Thursday, December 2, 2010

Gagalnya Indonesia Incorporated Oleh Pertamina dan Medco

Ketika memberikan paparan dalam acara Diskusi Seri Indonesia Incorporated yang diselenggarakan Lingkar Muda Indonesia dan Kompas, 22 Oktober 2010, Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan mengemukakan bahwa perusahaan migas nasional bisa tumbuh karena tiga hal.

Pertama, diberikan hak menguasai cadangan migas. Kedua, hak untuk mengelola cadangan. Ketiga, ada sumbangan yang lebih besar dari sektor migas.

Poin pertama dan kedua sangat penting dalam konteks ketahanan energi yang menopang ketahanan nasional. Tanpa kedaulatan penguasaan sumber daya, mustahil bagi kita untuk bisa berdaulat sebagai negara. Dukungan ini pula yang diharapkan Pertamina yang sedang mengejar target beralih menjadi perusahaan kelas dunia.

Sayangnya, melihat kasus batalnya rencana akuisisi Medco Energi oleh Pertamina, dukungan itu sepertinya belum diperoleh. Di batas akhir Exclusivity Period, 30 November 2010, Pertamina dan Encore Int’l Limited (EIL), induk perusahaan Medco Energi, memutuskan untuk tidak melakukan transaksi.

Komisaris Utama Medco Energi Hilmi Panigoro menegaskan, ”Kita sudah lupakan kerja sama di level holding meskipun tetap akan mencari alternatif lain,” kata Hilmi.

Artinya, rencana sinergi dua badan usaha migas nasional, Medco Energi dan PT Pertamina, layu sebelum tumbuh. Indikasi gagalnya transaksi sudah terbaca dua hari sebelumnya.

Komisi VII DPR ketika menggelar rapat dengar pendapat dengan direksi PT Pertamina menyatakan tidak setuju dengan rencana akuisisi Medco tersebut.

Sikap yang sama disampaikan Komisi VI DPR. Kedua komisi ini menjadi mitra kerja Kementerian Energi Sumber Daya Mineral serta Kementerian BUMN, dua kementerian yang membawahkan Pertamina.

Penjajakan kerja sama

Informasi dari Dewan Komisaris PT Pertamina menyebutkan, mereka belum pernah dilapori oleh direksi terkait rencana akuisisi tersebut.

Satu-satunya dokumen yang masuk adalah laporan tentang penandatanganan perjanjian untuk melakukan due diligence penjajakan kerja sama.

Sinergi Medco dan Pertamina mulai dijajaki tiga tahun lalu. Ketika itu pendiri Medco Energi, Arifin Panigoro, sudah melontarkan ide membentuk Indonesia Incorporated.

Pada saat yang sama, Direktur Utama PT Pertamina Ari Soemarno sedang merancang program transformasi bisnis hulu PT Pertamina.

PT Pertamina menargetkan bisa menjadi world class company, seperti Petronas yang selalu dijadikan contoh oleh banyak pihak sebagai national oil company (NOC) yang bisa bertransformasi menjadi multinational company (MNC).

Ketika itu Ari mengemukakan, aliansi bisnis hulu migas antara Pertamina dan Medco akan berdampak positif tidak hanya bagi perkembangan kemampuan Pertamina dan industri migas nasional, tetapi juga memperkuat ketahanan energi nasional.

Medco memiliki aset yang bagus dan potensial di luar negeri. Selain itu, Medco juga lebih berpengalaman dalam mengendalikan operasi hulu di luar negeri ketimbang Pertamina.

Memiliki Medco menjadi salah satu strategi pengembangan anorganik Pertamina untuk mencapai target produksi 1 juta barrel per hari pada tahun 2015.

Sebagaimana yang disampaikan Deputi Direktur Bidang Perencanaan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas Haposan Napitupulu, BUMN tersebut memiliki wilayah kerja yang luasnya mencapai 140.000 kilometer persegi. Namun, posisi wilayah kerja itu tersebar sehingga menyulitkan dalam eksploitasi cadangan.

Cadangan yang tersebar itu pula yang menyebabkan tingkat pengurasan (withdrawal rate) Pertamina tergolong rendah dibandingkan dengan produsen migas lainnya yang memiliki wilayah kerja lebih kecil, tetapi cadangannya besar.

Informasi dari pihak Pertamina yang terlibat dalam proses akuisisi itu mengatakan, BUMN tersebut sangat yakin bahwa keseluruhan proses valuasi dilakukan dengan sangat hati-hati.

Meskipun antara Medco sebagai penjual dan Pertamina sebagai pembeli masih banyak hal yang perlu dibicarakan, kedua pihak dalam posisi yakin untuk melakukan transaksi.

Nilai 700 juta dollar AS yang sempat disebut-sebut sebagai harga penawaran Medco juga memiliki alasan yang cukup berdasar. Sebagai penjual, Medco memasukkan dua pertimbangan utama, yaitu harga minyak pada masa depan dan potensi dari cadangan migas yang mereka miliki pada aset-aset utamanya.

Harga minyak pernah menyentuh level 100 dollar AS per barrel. Sejumlah analis, termasuk International Energy Agency, memperkirakan bukan tidak mungkin harga minyak kembali sampai ke level tersebut dari posisi saat ini yang ada di level 80 dollar AS per barrel.

Direktur Utama Medco Eksplorasi dan Produksi Budi Basuki mengatakan, soal nilai perusahaan perlu melihat Medco secara menyeluruh, tidak hanya dari aset yang sudah berproduksi, tetapi juga aset lain. ”Seperti empat wilayah kerja migas yang baru saja mendapat perpanjangan dari pemerintah. Selain itu, aset-aset di luar negeri, terutama di Libya yang menjadi pintu bagi Pertamina untuk melebarkan langkah mereka di internasional,” ujar Budi.

Aset Medco yang paling diandalkan dan diincar oleh Pertamina adalah Blok 47 di Libya. Blok tersebut sedang dalam tahap eksplorasi lanjut yang siap untuk dikembangkan. Blok ini diperkirakan bisa menyumbang tambahan produksi sampai 50.000 barrel per hari jika sudah berproduksi penuh

Di sisi lain, Pertamina sebagai pembeli juga memiliki valuasi sendiri atas aset yang dimiliki Medco. Pertamina juga memiliki kepentingan menjadi pengendali di Medco jika transaksi akuisisi disepakati.

Gagalnya sinergi Medco dan Pertamina merupakan pelajaran berharga bagi pelaku industri migas di dalam negeri.

Ari Soemarno mengatakan, Pertamina yang sedang bertransformasi menjadi perusahaan migas kelas dunia sebaiknya diberi kesempatan untuk melakukan aksi korporasi. Namun, direksi Pertamina juga harus siap menjelaskan aksi korporasi yang dilakukan agar tidak dicurigai ada kepentingan pribadi atau golongan yang diuntungkan.

No comments:

Post a Comment