Orang sukses tidak santai, orang santai tidak sukses," demikian pepatah Tionghoa yang berarti sukses bukan keberhasilan yang dikejar sewaktu-waktu, tapi harus diupayakan tiap saat. Setidaknya hal itu yang telah dilakukan taipan batubara Kalimantan asal Singapura, Low Tuck Kwong, hingga usianya yang ke 71 dinobatkan sebagai orang terkaya nomor 7 di Indonesia.
Forbes baru saja merilis jajaran orang paling berduit di 2019. Dari daftar tersebut, sebanyak 21 orang Indonesia masuk dalam jajarannya. Di urutan ke-7 ada nama pendiri Bayan Resources, Low Tuck Kwong, dengan jumlah kekayaan US$2,4 miliar atau Rp33,6 triliun (asumsi kurs US$1=Rp14.000).
Dari daftar itu, kekayaan Low Tuck Kwong lebih banyak ketimbang kekayaan pendiri Group Lippo, Mochtar Riady dan keluarga sebesar US$2,3 miliar atau Rp32,2 triliun. Namun, masih lebih sedikit dibanding kekayaan Sang Raja Kayu Prajogo Pangestu sebesar US$3,5 miliar atau Rp49 triliun.
Sebelum akhirnya dikenal sebagai pendiri Bayan Resources, layaknya orang sukses lainnya, Low Tuck Kwong harus melewati perjalanan hidup yang panjang. Low Tuck lahir di Singapura pada 17 April 1948 silam dari keluarga dengan basis bisnis konstruksi. Ayahnya, David Low Yi Ngo, merupakan pemilik perusahaan konstruksi di Singapura.
Low Tuck muda di usia 20 tahunnya memilih menimba ilmu di perusahaan ayahnya sebelum terjun mandiri di dunia bisnis. Tahun 1972, saat berusia 24 tahun kemudian Low Tuck pindah ke Indonesia mencoba peruntungan di bidang bisnis yang sama dengan sang ayah, yakni kontraktor bangunan. Ia membuat perusahaan konstruksi yang khusus menangani pekerjaan umum, konstruksi bawah tanah hingga konstruksi bawah laut. Perusahaan konstruksi sipil ini kemudian mendapatkan kontrak batubara pada 1988.
Di tahun 1992, Low Tuck memutuskan berpindah kewarganegaraan dari Warga Negara Singapura menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Lima tahun setelahnya, November 1997, Low Tuck mengakuisisi PT Gunung Bayan Pratamacoal dan PT Dermaga Perkasapratama yang memiliki tambang. Setahun kemudian Low Tuck mengoperasikan terminal batubara di Balikpapan, Kalimantan.
Sejak itu, Low Tuck mengakuisisi sejumlah konsesi baru hingga resmi membentuk perusahaan induk yang dikenal dengan nama PT Bayan Resources. Melalui sejumlah perusahaan, Bayan Group memiliki hak eksklusif melalui lima kontrak pertambangan dan tiga kuasa pertambangan dari pemerintah Indonesia. Total konsesinya mencapai 81.265 hektare.
Low Tuck sejati-nya sudah masuk jajaran orang terkaya versi Forbes selama bertahun-tahun. Pada 2009, Low Tuck berada di posisi ke-25. Jumlah kekayaannya pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Jika pada 2008 kekayaannya diperkirakan US$214 juta, pada 2009 telah menjadi US$1,18 miliar. Kekayaannya bertambah karena saham Bayan Resources naik hingga 474%.
Bahkan, Low Tuck Kwong pernah berada di urutan ketiga orang terkaya di Indonesia oleh Forbes pada 2012 dengan total kekayaan US$3,6 miliar. Naik drastis dari US$1,2 miliar pada Maret 2010. Berdasarkan laman resmi www.forbes.com, Low Tuck juga mengendalikan perusahaan pelayaran Singapura, Manhattan Resources. Pada 8 Oktober 2010 Low Tuck membeli 5,3 juta saham di Manhattan Resources dari pasar terbuka, meningkatkan sahamnya menjadi 10,55% dari 9,36%. Sehari sebelumnya, ia telah membeli sekitar 1,8 juta saham. Secara tidak langsung memegang saham 49,57% di penyedia jasa kelautan.
Ia juga memiliki kepentingan dalam The Farrer Park Company, Samindo Resources dan Voksel Electric. Low juga ada di belakang nama besar SEAX Global, yang membangun sistem kabel laut bawah laut untuk konektivitas internet yang menghubungkan Singapura, Indonesia dan Malaysia.
Agustus 2008, Bayan Resources melantai di Bursa Efek Jakarta (BEJ) ketika itu. Bayan Resources melepas 3,33 miliar unit saham di harga Rp 5.800 per saham. Namun, sebelum sampai pada kesuksesan ini, perjalanan bisnis Low Tuck tidak selalu mulus. Ia sempat berkonflik dengan Sukamto Sia, taipan dari Singapura yang merupakan menantu eks pemilik Bank Bira, Atang Latief.
Sebelum Bayan Resources melakukan IPO Agustus 2008, Bayan Resources dan Low Tuck menerima somasi dari Sukamto pada Juli 2008. Sukamto menyebut Low telah ingkar janji ihwal pemberian 50% saham Bayan Resources. Sukamto menganggap Low harus memberi kompensasi atas pinjaman yang dia berikan kepada Low pada tahun 1996.
Mulanya, Sukamto mengaku diajak Low berinvestasi bisnis batu bara di Indonesia. Sukamto menyatakan saat itu Low sedang kesulitan keuangan. Menurut Sukamto, Low menjanjikan bisnis batu bara itu bisa bernilai US$500 juta dalam tempo tujuh tahun sampai delapan tahun ke depan. Kasus ini diserahkan ke Pengadilan Singapura.
Kemudian, Pengadilan Singapura tahun 2015 menyatakan Low Tuck memenangi sengketa. Hakim Pengadilan Tinggi Singapura memerintahkan Sukamto membayar 80.000 dollar AS kepada Low, karena telah mencemarkan nama baik Low. Low balik menggugat Sukamto atas tudingan mencemarkan nama baik. Low menuntut US$132 juta dari Sukamto. Pengadilan Tinggi Singapura memenangkan gugatan Low dan denda tambahan US$ 280 ribu kepada Sukamto Sia.
Berdasarkan informasi situs resmi PT Bayan Resources Tbk (BYAN), Dato' Dr. Low Tuck Kwong kini menjadi pemegang saham pengendali dengan persentase 51,59%. Ia diangkat menjadi Direktur Utama di sebagian besar anak perusahaan Bayan Group tanggal 10 Januari 2018. Low Tuck pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Bayan Resources Tbk (2004-2008), Komisaris Utama PT Bayan Resources Tbk (2008-2018) dan anggota Komite Remunerasi dan Nominasi (2016-2018). Low Tuck Kwong dianugerahi gelar Doktor HC dari Universitas Notre Dame of Dadiangas, Filipina pada tanggal 17 Maret 2012 dan memiliki Diploma di bidang Teknik Sipil dari Japan Institute.
Low Tuck Kwong, pengusaha dan pendiri Bayan Resources, menambah panjang daftar orang kaya dari Indonesia di Forbes Billionaires dunia. Dia menempati peringkat ke-2.524 di dunia pada tahun lalu atau urutan ke-18 di Indonesia. Sebetulnya, Kwong bukan asli Indonesia. Ia seorang kelahiran Singapura yang hijrah ke Indonesia dan berpindah kewarganegaraan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Ia bekerja dan menggemukkan pundi-pundinya di Indonesia lewat bisnis tambang batu bara. Saat ini, kekayaannya ditaksir tembus US$2,6 miliar setara Rp37,05 triliun (kurs Rp14.250 per dolar AS).
Kwong lahir dan tumbuh di Singapura pada 17 April 1948 silam hingga usianya 24 tahun. Ia sempat bekerja di perusahaan konstruksi milik ayahnya, David Low Yi Ngo.
Namun, pada 1972, ia mengadu nasib ke Indonesia, dan baru lah 20 tahun kemudian hijrah menjadi WNI, yakni pada 1992. Pada 1997, Kwong memutuskan membeli perusahaan tambang batu bara pertamanya, yakni PT Gunungbayan Pratamacoal yang kini dikenal Bayan Resources. Inilah jackpot kekayaan Kwong.
Setahun kemudian, melalui PT Dermaga Perkasapratama, ia sudah mengoperasikan terminal batu bara di Balikpapan, Kalimantan Timur. Tak cuma dari batu bara, Kwong juga kaya raya dari bisnis pelayaran lewat Singapura Manhattan Resources dan dia memiliki kepentingan di The Farrer Park Company, Samindo Resources, sampai Voksel Electric. Bisnisnya terus berkembang biak. Kini, ia mengerahkan dukungannya pada SEAX Global, yang tengah membangun sistem kabel bawah laut untuk konektivitas internet yang menghubungkan Singapura, Indonesia, dan Malaysia.
Di tengah harga saham dan harga batu bara yang melorot, Kwong beraksi memborong saham perusahaan miliknya sendiri, yaitu BYAN. Tujuannya untuk investasi dengan status kepemilikan langsung. Memang, Kwong dikenal getol mengakumulasi saham. Sepanjang tahun lalu, Kwong rajin membeli saham perusahaan besutannya. Menariknya, semua transaksinya beli, tanpa jual sekalipun.
Mengutip Keterbukaan Informasi, Senin (3/1), Kwong menambah kepemilikannya hingga 145.600 saham di harga Rp26.609,80 per saham atau setara Rp3,87 miliar. Lewat transaksi tersebut, jumlah kepemilikan saham Kwong bertambah dari sebelumnya sekitar 55,19 persen menjadi 55,20 persen dari total saham perusahaan.
Diketahui saham BYAN sempat berada di zona merah. Pada Senin (3/1) sahamnya turun 500 poin atau 1,85 persen. Harga sahamnya turun setelah aturan pemerintah yang membatasi ekspor batu bara untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri (DMO) sampai dengan akhir bulan ini. Kendati harganya turun, saham BYAN dibandingkan tahun lalu sudah mendaki 37,31 persen.