Thursday, March 29, 2018

Demo Ojek Online Demi Upah Sebesar Rp. 1,5 Juta Perhari

Kehadiran transportasi berbasis daring (online) memberikan angin segar bagi permasalahan pengangguran tinggi yang saat ini menjadi masalah utama sektor ketanagakerjaan di tanah air.  Terlebih, data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta orang pada Agustus 2017. Jumlah ini naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 7,03 juta orang.

Berdasarkan kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang dirilis bulan ini, penghasilan mitra pengemudi aplikasi Gojek bahkan bisa melampaui Upah Minimal Pekerja (UMP). Survei yang dilakukan lembaga tersebut pada akhir tahun lalu ini menyebut, 
  • sekitar 1.200 dari 3.315 responden mitra Gojek mengaku memperoleh penghasilan di atas Rp3,5 juta per bulan. 
  • Sebagai pembanding, sebelum menjadi mitra Gojek, hanya 264 responden dari 3.315 responden yang memiliki penghasilan di atas Rp3,5 juta per bulan. 

Adapun untuk menjadi mitra Gojek, tak dibutuhkan syarat pendidikan, hanya perlu keterampilan mengemudi.  Di awal kemunculannya, perusahaan transportasi online atau aplikator memberikan subsidi tarif dan insentif yang cukup menggiurkan kepada para mitranya. Tak ayal, masyarakat pun berbondong-bondong melamar menjadi tukang ojek.

Namun, dalam perjalanannya, kemitraan ini beberapa kali mendapatkan sandungan. Pasalnya, aplikator tak bisa terus menerus memberikan subsidi tarif yang besar seiring membengkaknya jumlah mitra. Di sisi lain, aplikator juga saling besaing satu sama lain dalam memberikan tarif guna menarik penumpang. Beberapa kali pengembang aplikator didemo oleh mitranya karena masalah hubungan kemitraan yang dianggap merugikan, terutama masalah tarif.

Terakhir, Selasa (27/3) lalu, ribuan pengemudi ojek online menggelar demo di depan Istana Negara. Kali ini, protes aliansi pengemudi ojek online yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia itu menuntut intervensi pemerintah dalam rasionalisasi tarif ojek online yang diberlakukan oleh aplikator.

Setelah bertemu dengan perwakilan pendemo, pemerintah mengusulkan batas minimal tarif ojek online setidak nya Rp 2.000 per kilometer (km) setelah memperhitungkan keuntungan dan biaya jasa yang berkisar Rp1.400 - Rp1.500 per km. 

Namun, angka tersebut masih di bawah usulan pengemudi ojek online yang menuntut setidaknya tarif minimal Rp 3.000 per km tanpa perlu ada insentif tambahan, seperti bonus dan promo. Dengan skema seperti ini maka cukup dengan 4 kali rit dengan jarak 10 km per rit pengemudi online sudah mampu membawa sekitar Rp. 100.000, per hari dengan jam kerja kurang dari 3 jam per hari.
Lima orang perwakilan driver ojek online (ojol) mengeluhkan tarif yang kelewat murah kepada Presiden Joko Widodo. Driver ojol mengusulkan tarif sebesar Rp 2.500 per kilometer. "Usulnya jadi Rp 2.500 per kilometer," ujar Menhub Budi Karya Sumadi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/3/2018).

Menurut Menhub, tarif yang diberlakukan saat ini terlalu murah. Tarif itu disebut merugikan driver.
"(Mereka mengeluh) tarifnya kemurahan, sekarang itu Rp 1.600 per kilometer. Jadi 6 kilometer itu baru dapat Rp 10.000 (Kecuali apabila kurang dari jarak minimal). Jadi mereka merasa kurang," tutur Budi.

Budi menuturkan para driver ojol akan kembali melakukan mediasi. Mediasi akan digelar pada Rabu (28/3) di Kemenhub."Tadi pengemudi ojek online sudah diterima dan rencananya akan melakukan mediasi besok jam 16.00 WIB," ujar Budi. Setelah bertemu Jokowi, perwakilan driver ojol menemui massa yang menunggu di depan Istana. Jokowi disebut kaget atas skema tarif ojol saat ini.

"Beliau (Jokowi) kaget ketika saya gambarkan dulu saya pernah (mengalami tarif, red) Rp 4 ribu per 1 km, sehari saya bawa Rp 1,5 juta. Sekarang cuma Rp 1.600 per km, Bapak Presiden kaget," kata perwakilan dari Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), Rahman, saat menemui massa.

Sebagai gambar dengan penghasilan Rp. 1,5 juta per hari atau sekitar Rp. 45 juta sebulan maka penghasilan driver ini sudah setara dengan gaji direktur diperusahaan skala besar bahkan dengan bekerja selama kurang dari 2 jam perhari driver sudah dapat menghasilkan Rp 3 juta sebulan. Tentu saja para pemakai jasa mereka harus rela mengeluarkan uang lebih banyak dan mungkin menghemat pengeluaran di tempat lain.

Konsep kemitraan antara aplikator dengan mitra pengemudi di Indonesia merupakan suatu anomali. Pasalnya, posisi aplikator dan pengemudi sebagai mitra tidak berimbang. Misalnya, dalam hal penentuan tarif yang cenderung diputuskan sepihak oleh aplikator.  Menurut Susilo, anomali ini terjadi karena jumlah pasokan tenaga kerja di Indonesia melampaui jumlah lapangan kerja yang tersedia, tercermin dari masih tingginya angka pengangguran. Akibatnya, posisi tawar mitra pengemudi yang membutuhkan lapangan kerja menjadi lebih rendah.

Di sisi lain, pengemudi ojek online bukanlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh aplikator. Akibatnya, hak dan kewajiban mitra pengemudi ojek online tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun tentang Ketenagakerjaan. Indonesia, lanjut Susilo, belum memiliki payung hukum yang jelas dalam melihat hubungan kemitraan gaya baru ini. Jangankan hubungan kemitraan, moda transportasi ojek sebenarnya tidak termasuk sebagai angkutan umum yang diakui dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kendati demikian, melihat banyaknya jumlah mitra pengemudi yang kini telah menggantungkan hidupnya pada ojek online, pemerintah tak bisa berdiam diri.  "Dalam konteks sebagai regulator, pemerintah harus menjadi pelindung dari pihak yang lemah. Pemerintah harus intervensi dan membuat aturan yang jelas antara mereka (aplikator dan mitra pengemudi), termasuk masalah hak dan kewajiban," ujar Susilo.

Pemerintah, lanjut Susilo, bisa berperan sebagai mediator antara kedua belah pihak. Namun, pada akhirnya, masalah penentuan tarif harus dikembalikan pada aplikator dan mitranya.'

Senada dengan Susilo, Pengamat Ketenagakerjaan sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono juga menilai masalah penentuan tarif harus dikembalikan kepada kedua belah pihak karena hubungan keduanya merupakan hubungan kemitraan. Jika terjadi pelanggaran dalam perjanjian kemitraan, salah satu pihak bisa membawa ke ranah hukum perdata.

"Seharusnya, (pengemudi ojek online) tidak meminta pemerintah untuk mengatur (tarif itu). Ini kan berarti pemerintah campur tangan pada perjanjian pada umumnya," ujarnya. Pemerintah, lanjut Aloysius, hanya bisa berperan sebagai perantara antara kedua pihak untuk mengadakan perjanjian mengenai tarif. Pengamat ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi mengungkapkan keberadaan aplikasi ojek online bisa menjadi solusi jangka pendek bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia yang belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja. Karenanya, keberadaannya jangan sampai dihilangkan.

"Kalau memiliki keahlian tinggi tetapi lapangan kerjanya tidak ada kan sama saja," ujar Tadjudin.

Pemerintah sendiri terus mengkaji aturan hubungan kerja antara aplikator transportasi online dengan mitranya, terutama pengemudi kendaraan roda dua.  Menurut Menteri Ketenakerjaan Hanif Dhakiri, pola kemitraan antara keduanya masih samar. "Yang terjadi saat Ini kan nonstandard form of employment. Jadi memang polanya tidak biasa. Makanya, justru karena kasusnya seperti itu, kami mengkaji secara mendalam, apakah perlu output dalam bentuk kebijakan. Tapi dengan catatan, kalau misalnya jadi regulasi, jangan bikin industrinya jadi tidak berkembang," ujar Hanif kemarin.

Penyelesaian konflik antara mitra pengemudi gojek dengan aplikator harus segera menemukan titik temu. Jika terjadi konflik berlarut-larut, pada akhirnya yang akan dirugikan adalah masyarakat luas.

Di tengah terpaan debu dan gelapnya malam Jakarta, beberapa pengemudi ojek konvensional masih terlihat setia menunggu penumpang di pangkalan mereka depan Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara.  Pandangan mata tertuju pada salah seorang pengemudi ojek konvensional. Pengemudi ojek tersebut menggunakan jaket salah satu perusahaan ojek online. Namun ia pakai secara terbalik sehingga sekilas terlihat seperti jaket hitam biasa.

Pria itu biasa dipanggil Maksus. Dia dulunya berprofesi sebagai tukang ojek pangkalan. Kini dia menjalani sebagai pengemudi ojek online sekaligus ojek pangkalan. "Iya mas saya awalnya opang (ojek pangkalan), kemudian saya menjadi ojek online. Sekarang saya kembali menjadi ojek pangkalan," kata Maksus.

Masalah pendapatan menjadi alasan Maksus menyambi keduanya, pengemudi ojek pangkalan sekaligus ojek online. Ia tidak bisa bergantung pada pendapatan sebagai pengemudi ojek online. Begitu juga sebaliknya, penghasilan yang ia dapat dari ojek pangkalan tak bisa menjadi pegangan sehari-hari.

Maksus bercerita pendapatan sebagai pengemudi ojek pangkalan tak beda jauh dengan ojek online. Yang membedakan, ojek online memiliki sistem bonus dan insentif. Selain itu pengaplikasian teknologi internet dalam ojek online, tentu bisa menjaring konsumen lebih banyak daripada ojek konvensional.

"Saya jadi opang itu sehari Rp100 ribu sampai Rp150 ribu sih ketutup narik cuma perlu 4 kali kerja enak bisa santai dan banyak nongkrong. Sama saja seperti ojol, beda dikit, kalau lagi malas Rp80 ribu, kalau lagi rajin bisa dapat Rp150 ribu tapi harus kerja keras 8 jam, jadi malas karena nggak bisa sambil main main. Tapi kan di ojol ada bonus dan insentif juga.

Selain soal perbedaan pendapatan, Maksus, pria berusia 42 tahun yang sudah menjadi tukang ojek selama 20 tahun ini juga bercerita mengenai ojek online yang kian hari dia anggap kian semena-mena dan terlalu berpihak pada pelanggan dengan menganggap konsumen adalah raja.

Saat itu, ia merasa perusahaan ojek online sebagai operator tiba-tiba mengubah tarif dan bonus yang justru merugikan pengemudi. Karena dasar itu, dia kemudian berhenti sebagai pengemudi ojek online. "Saya tidak suka dengan tindakan aplikator yang semena-mena mengubah tarif atau bonus," ujar dia.

Maksus menjelaskan rinci aplikator melakukan penurunan tarif tanpa pemberitahuan, padahal sebelumnya selalu ada pemberitahuan setiap ada kebijakan penurunan tarif.  Selain itu ada juga perubahan sistem bonus. Awalnya pengemudi harus memenuhi syarat jumlah pelanggan untuk mendapat bonus, kini berubah syaratnya menjadi jumlah kilometer yang ditempuh dan ini namanya pemaksaan untuk harus rajin bekerja padahal tujuan awalnya adalah agar bisa santai.

"Tadinya per orang (konsumen) buat bonus, sekarang perkilometer bonusnya. Tarif per kilo juga saya bingung, dulu ada pemberitahuan lewat pesan singkat, sekarang turun ya turun saja tarifnya," kata Maksus. Pria asli Betawi ini menyebut alasan lain ia berhenti sebagai pengemudi ojek online karena merasa aplikator tidak memikirkan nasib para pengemudinya di lapangan. Tindakan semena-mena tersebut tercermin dari penurunan tarif dan penentuan promo sesuka hati aplikator.

"Bayangkan kalau dari Gading ke Pantai Indah Kapuk hanya Rp 20 ribu. Isi bensin saja bisa Rp15 ribu. Gila kata saya. Bisa pingsan di jalan dong driver-nya. Sudah begitu dipotong juga sama promo. Ya kami makan apa? Makan angin?," ungkap Maksus menggebu-gebu. Sedangkan bila jadi opang bisa pakai harga tembak dan kartel, jadi dapatnya bisa Rp. 100 ribu sekali jalan.

Pria dua anak ini lantas menyebut istilah karyawan atau mitra yang disematkan oleh aplikator kepada pengemudi tak lebih sekadar status. Karena di sisi lain, perusahaan justru seperti tak memikirkan nasib para mitranya. "Narik cuma buat kasih makan orang aplikator. Kita kan bekerja begini supaya bisa buat kasih makan anak istri juga. Jangan mereka (aplikator) makmur, kita (pengemudi) modar," cetus Maksus.

Usai berhenti dari ojek online selama tiga bulan, Maksus kembali lagi menjadi pengemudi ojek online karena sekarang sulit menerapkan harga tembak, tanpa melepaskan statusnya sebagai ojek pangkalan. Dia menegaskan, penghasilan merupakan alasan utama dia menjalani dua profesi ini.

Ada plus minusnya antara ojek pangkalan dan ojek online.

Maksus menyebut keuntungan sebagai pengemudi ojek konvensional, yakni pengemudi bisa menentukan tarif perjalanan sesuka hati dengan penumpang karena disini penumpang tidak punya daya tawar dan hanya jadi objek perahan. Berbanding terbalik dengan pengemudi ojek online yang tarifnya ditentukan sesuka hati oleh aplikator.

Di sisi lain ada kerugian sebagai pengemudi ojek konvensional, dalam hal ini memakan waktu lama untuk mendapatkan pelanggan karena mahalnya tarif sehingga penumpang lebih memilih naik taksi atau membawa kendaraan pribadi. Berbeda dengan ojek online yang berada dalam jaringan internet, akan lebih mudah mendapat konsumen.

"Kalau sebagai opang saya yang nentuin tarif sesuka hati sama penumpangnya. Kalau di online saya tidak bisa menentukan, dari operator saya ditentuinnya, operator yang seenaknya itu. Bedanya, kalau opang itu mau mencari penumpang saja sampai menunggu dua tiga jam, baru bisa dapat tarikan nunggu orang yang laig kepepetlah istilahnya," kata Maksus sambil tersenyum lebar.

Di samping itu, ia mengakui menjadi pengemudi ojek online bisa mendapat keuntungan lain berupa bonus untuk menambah penghasilan. Namun lagi-lagi, sistem bonus juga mulai diubah oleh aplikator. Perubahan ini yang dianggap malah memberatkan pengemudi.

"Bonus sekarang (dihitung) per kilometer," ujar dia. "Ini kan sama dengan memaksa orang jadi rajin dan kurang waktu untuk bergaul dan tidur siang"

Saat ini tarif per kilometer ojek dalam jaringan sekitar Rp1.600. Tarif rendah ini yang menjadi tuntutan ribuan pengemudi ojek online saat berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3). Mereka menyampaikan usulan soal tarif baru kepada perusahaan. Mereka berkeras kenaikan tarif harus terjadi. Tarif yang mereka inginkan antara Rp 3.500 sampai Rp 4.000 per kilometer sehingga dengan bekerja 8 jam perhari bisa membawa uang pulang sebesar Rp. 45 juta sebulan

Perwakilan ojek online pun sudah diterima Presiden Jokowi yang kemudian menunjuk dua menterinya, yakni Menhub Budi Karya Sumadi dan Menkominfo Rudiantara untuk mengurus dan menyelesaikan permasalahan yang jadi tuntutan para pengemudi ojek online.

Mengenai unjuk rasa itu, Maksus pun berharap agar pemerintah bisa merealisasikan tuntutan tarif Rp4.000 pe rkilometer karena dirinya sudah tidak sabar untuk membeli mobil

Menurutnya, naiknya tarif perkilometer ojek online juga akan memberi kesempatan bagi ojek pangkalan. Artinya, tarif antara ojek pangkalan dan ojek online tidak terlalu berbeda jauh sehingga akan membuat persaingan sehat. Penghasilan antara ojek pangkalan dan ojek online pun bisa setara.

"Kalau saya meminta mudah-mudahan aspirasi dari yang pada demo itu tolong diusahakan. Per kilometer Rp 4.000, tapi ya Rp 3.000 per kilometer juga tidak apa," ujar Maksus. Lebih dari itu, ia berharap agar pemerintah mendorong para aplikator ojek online dapat memperhatikan kesejahteraan para pengemudi.

Dalam hal ini, diharapkan pemerintah bisa menekan para aplikator untuk tidak menerapkan sistem yang bisa 'mencekik' para pengemudi online. Misalnya soal syarat bonus yang justru memberatkan para pengemudi, maupun pemberlakuan promo potongan tarif yang hanya menguntungkan konsumen. "Intinya pikirkan kami (pengemudi) yang selalu dirugikan dengan tarif rendah dan potongan promo. Kita kan sama-sama cari uang juga," terang Maksus sambil berlalu untuk kembali berbaring sambil menunggu penumpang.

No comments:

Post a Comment