"Harga pembelian listrik untuk PLTMH akan sangat bagus, dari sebelumnya Rp 656 per kWh naik di atas Rp 1.000 per kWh, Peraturannya sebentar lagi terbit," kata Rida. Bila melakukan investasi 1 unit PLTMH dengan kapasitas 1 megawatt sebanyak US$ 2 juta, maka pengusaha cepat balik modal.
"Empat tahun bisa balik modal, setelah itu tinggal ongkang-ongkang kaki dapat untung," ucap Rida.
Karena harga listrik PLTMH cukup tinggi, maka pemerintah menerapkan sistem harga staging, harga makin tahun makin turun. "Ini di awalkan harganya tinggi, pengusaha semangat karena akan cepat balik modal, tapi kta staging makin hari harganya makin turun, ini memang akan membuat keuntungan turun juga, tapi kan sudah untung besar, dengan staging ini pengusaha juga akan terpacu bangun PLTMH lainnya lagi," ungkapnya.
Rida menambahkan lagi, pada 2013 telah terbangun 11 unit PLTMH yang dibiayai oleh APBN dengan kapasitas total 1.301 MW. Jadi 11 PLTMH tersebut telah melistriki 2.345 rumah yang tersebar di beberapa daerah. "PLTMH tersebut dikelola langsung oleh masyarakat sekitar, tarif listrik ditentukan Bupati, sedangkan kepala daerahnya dikursuskan untuk pelihara PLTMH tersebut, dampaknya masyarakat sekitar juga tidak merusak hutan, karena jika mereka lakukan itu akan merusak debit air sungai, sehingga rumah mereka terancam tidak mendapatkan listrik lagi," tutupnya.
Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana memperhitungkan, pelanggan PLN bisa balik modal dalam 12 tahun. Balik modal yang dimaksud untuk menutup biaya pemasangan PLTS atap.
Perhitungan tersebut dengan mempertimbangkan biaya pemasangan PLTS atap di kisaran US$ 1/Watt peak (Wp) atau US$ 1.000/kilowatt peak (kWp). Kemudian pengembalian modal dihitung dari kelebihan daya yang dijual ke PLN yang dihargai 65% dari total yang diekspor ke PLN.
"Itu payback-nya (balik modal) bisa beda beda, kalau 65% periodenya 12 tahun," katanya di Kantor Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta Selatan, Rabu (28/11/2018).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 49 Tahun 2018. Permen ini berisi tentang penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap oleh konsumen PT PLN (Persero). Adapun perhitungan ekspor energi PLTS atap dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikalikan 65%. Perhitungan ini dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan kWh ekspor.
Secara terpisah, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris merincikan hitung-hitungannya. Pengembalian modal selama 12 tahun itu dengan asumsi pelanggan PLN yang memakai PLTS atap hanya menjual 10% listriknya. Angka 10% ini berdasarkan kebiasaan penggunaan PLTS atap.
"Ini data riil, pengguna PLTS atap, yang terpasang 4 kW, yang dipakai dalam penggunaan sendiri 90%, yang diekspor ke PLN 10%," katanya. "Ada hitungan sederhana, dengan kasus yang 10% diekspor ini maka payback return-nya kalau yang 10% kalau konversinya 0,65 (65%) itu payback-nya 12 tahun," tambahnya.
Mengutip Permen tersebut, Senin (26/11/2018), aturan ini diterbitkan dengan latar belakang pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) guna memanfaatkan energi ramah lingkungan.
PLTS atap yang dimaksud dalam Permen ini adalah pembangkitan tenaga listrik menggunakan modul fotovoltaik yang dipasang dan diletakkan pada atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan milik konsumen PT PLN (Persero) serta menyalurkan energi listrik melalui sistem sambungan listrik konsumen PT PLN (Persero).
Sistem PLTS atap meliputi modul surya, inverter, sambungan listrik, sistem pengaman, dan meter kWh ekspor-impor. Kapasitas sistem PLTS atap dibatasi paling tinggi 100% dari daya tersambung konsumen PLN. Misalnya, sambungan rumah tangga terpasang 1.300 kWh maka maksimal PLTS atap yang dipasang adalah 1.300 kWh.
Pelanggan PLN yang ingin membangun PLTS atap harus mengajukan permohonan ke GMN Unit Induk Wilayah PLN yang dilengkapi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan administrasi paling tidak memuat Nomor Identitas Konsumen PLN. Sedangkan persyaratan teknis paling sedikit memuat besaran daya terpasang Sistem PLTS atap, spesifikasi teknis peralatan yang akan dipasang, dan diagram satu garis. Aturan ini berlaku sejak diundangkan pada tanggal 15 November 2018.
No comments:
Post a Comment