Thursday, October 26, 2017

Tidak Adanya Pembatasan Toko Online Membuat Toko Konvensional Berguguran

Gerai ritel yang berguguran pada akhir bulan ini mungkin terhitung jari. Namun akumulasi dampak berlapis penghentian kegiatan operasional pertokoan itu terhadap ekonomi nasional bisa jadi sulit terhitung secara kasat mata.

Tidak adanya pembatasan pada toko online telah membuat dampak yang mencengangkan yaitu mati surinya bisnis ritel konvensional. Tidak adanya keharusan memiliki lokasi fisik, gudang serta papan nama toko (hilangnya potensi pajak), pembatasan harga promo membuat kompetisi tidak sehat pada industri ritel karena toko online memiliki keunggulan biaya murah. Seharusnya pembatasan seperti yang pemerintah giat perjuangkan untuk diterapkan pada taksi onlike yang juga memiliki harga jual pokok yang lebih murah guna melindungi taksi konvensional yang tidak efisien, juga diterapkan pada industri retail terutama keharusan memiliki lokasi fisik toko online yang berupa gudang yang tidak boleh berapa pada lokasi perumahan dan juga keharusan memiliki papan nama sehingga potensi pajak tidak hilang.

Penutupan puluhan gerai 7-eleven menjadi pembuka sekaligus pengejut industri ritel fisik nasional. Disusul kemudian delapan gerai Ramayana, dan dua gerai Matahari Department Store. Hingga akhirnya satu gerai Debenhams, dan akan menjelang tiga gerai Lotus milik perusahaan yang melantai di bursa saham PT Mitra Adi Perkasa Tbk. Belum lagi, beberapa gerai ritel lain yang tak terdeteksi karena skala usaha yang relatif minim.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara mengkhawatirkan, penutupan gerai ritel dapat menyebabkan kontribusi sektor ritel terhadap pertumbuhan ekonomi bisa menciut.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ritel memberi porsi sekitar 13,03 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada semester I 2017, atau menjadi penyumbang keempat yang terbesar setelah industri pengolahan, konstruksi, serta informasi dan komunikasi.

"Jadi, dampaknya cukup signifikan dan memberikan multiplier effect (dampak berlapis), khususnya ke industri pengolahan dan sektor lain," ujar Bhima. Industri ritel atau perdagangan dalam negeri yang melemah tak bisa dikompensasi oleh ekspor yang terus meningkat dan berhasil membuat neraca perdagangan Indonesia surplus.

"Karena industri pengolahan yang diekspor masih kalah dengan ekspor bahan mentah. Dari data, sebanyak 79 persen ekspor masih barang primer, manufaktur hanya 20 persen. artinya, tujuan utama produk industri masih dijual di pasar domestik," jelasnya.  Di sisi lain, dengan melemahnya ritel, ada pula bayang-bayang sumbangan indikator konsumsi rumah tangga juga terkontraksi, sehingga bertambah lagi sentimen negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Sebab, indikator ini merupakan penyumbang terbesar ke PDB. Tercatat, pertumbuhan konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,95 persen pada kuartal II lalu. Selain dampak secara makro, terdapat pula kekhawatiran Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari sektor riil. Pasalnya, penutupan gerai akan menyebabkan perusahaan sulit membayar upah para pekerja.

Beberapa perusahaan mungkin mengklaim akan memindahkan karyawannya sehingga PHK tak terjadi. Hanya saja, hal itu tidak bisa terjadi pada pelaku ritel yang jelas-jelas menutup seluruh gerainya, misalnya Lotus. Sekalipun bisa dipindahkan ke unit bisnis lain, jumlahnya tak bisa diserap semua. Sebab, harus pula melihat kebutuhan dari unit bisnis yang dituju. Alhasil, tetap akan ada PHK dari sektor ritel dan jumlahnya tak sedikit.

Misalnya, 7-Eleven, ada sekitar dua ribu karyawan yang tak jelas kelanjutan hidupnya sampai saat ini. Yang perlu diingat, dua ribu karyawan itu hanya berasal dari gerai di Jakarta. Belum lagi, akumulasi secara nasional dari sumbang penutupan ritel lainnya. "Tapi kalau kondisi ritel terus memburuk, angka PHK bisa naik hingga 10 ribu orang sampai tahun depan," katanya.

Angka ini tentu tak menjadi pertanda baik, sebab lagi-lagi sumbangan ritel kepada sektor riil sangat besar. Tercatat, pekerja sektor perdagangan saja mencapai 29 juta orang pada Februari lalu. Sekitar 80,3 persen dari jumlah itu merupakan tenaga kerja yang menggantungkan hidup di sektor ritel. "Artinya, potensi gangguan PHK akan berdampak pada 23,3 juta tenaga kerja di sektor ritel nasional," tuturnya.

Dengan bayang-bayang dampak yang besar itu, semua tentu harus berbenah. Tak hanya pelaku ritel, pelaku bisnis terkait, hingga terutama pemerintah. Beberapa kebijakan dirasa perlu diberikan untuk menstimulus kebangkitan ritel. Misalnya, memaksimalkan 16 jilid Paket Kebijakan Ekonomi yang seakan masih kurang tajam taringnya. Deregulasi yang telah dilakukan tak akan berarti bila tak diimplementasikan. "Seperti tax allowance dan tax holiday itu masih kerap membingungkan investor," katanya.

Padahal, dua kebijakan itu bisa menjadi stimulus dari sisi permodalan ke sektor ritel, sehingga pelaku bisa melakukan perubahan strategi. Adapula soal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang infrastrukturnya juga belum jelas. Padahal tujuannya KEK menjadi kawasan industri yang terpusat, sehingga biaya produksi diharapkan bisa lebih murah.

Bila lebih murah, tentu produk yang didistribusikan ke ritel bisa lebih murah pula, sehingga bisa bersaing dengan online maupun ritel impor dari berbagai negara, terutama yang besar dari China. Tak ketinggalan soal gas murah bagi industri. Rencana itu harus segera bisa dinikmati oleh industri. Lagi-lagi efeknya mendongkrak kompetitifan sebuah produk hasil industri.

Sedangkan bila nasi telah menjadi bubur, bila PHK sudah terjadi. Tentu dibutuhkan penciptaan lapangan kerja baru yang lebih cepat dan bisa menyerap banyak pengangguran.  "Jalannya berupa alif profesi bagi tenaga kerja yang di PHK atau beri insentif diskon listrik misal 50 persen ke perusahaan, agar tak jadi PHK, berkurang bebannya," pungkasnya.

Sementara dari kalangan pelaku ritel, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta bilang, memang efisiensi tengah ketat, namun mau tidak mau harus dilakukan. Sebab, persaingan antar sesama pelaku ritel ibarat sudah saling 'sikut'sikutan' dalam mencari laba besar untuk masuk kantong dan memutarnya kembali demi menutup beban operasional yang juga terus meningkat.

"Efisiensi dari ritel tahun ini memang cukup ketat. Tapi sebenarnya ini bukan kali ini saja terjadi, dari dulu begitu, ada masanya, yang tidak produktif lagi ya ditutup, bisa ganti ke yang lain," ucap Tutum. Bahkan, tutup tak sungkan menelan prediksi pahit bahwa pertumbuhan industri ini tak sesuai dengan prediksi semula. Bahkan, diperkirakan pada kuartal III dan IV justru akan lebih buruk dibandingkan kuartal II lalu.

Sebab, setidaknya pada kuartal II ada gairah dari momen Ramadhan dan Lebaran yang masih memberi benih-benih keuntungan pada ritel. Ia pun meminta pemerintah segera memberi insentif, misalnya dari sisi keringanan beban operasional, misal tarif listrik, sewa gedung, hingga pajak yang harus disetor kepada negara.

Director Corporate Communication PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) Fetty Kwartati bilang, memang efisiensi ini sudah dilakukan oleh perusahaan, termasuk dengan menutup tiga gerai Lotus dan Debenhams. "Betul tiga gerai Lotus akan tutup, perusahaan melakukan restrukturisasi untuk meningkatkan overall kinerja department store," kata Fetty.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rupanya masih butuh waktu untuk melihat dengan jeli semua kesakitan ritel ini. Ia menduga, ada sentimen negatif dari digitalisasi. Sebab, kantong penerimaan negara yang berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap terisi. Artinya, penjualan tetap terjadi untuk produk ritel. Hanya saja, bisa jadi bukan dari ritel fisik, namun bisa saja dari online. 

Namun, ia tak ingin menjadikan digitalisasi sebagai pelaku utama mulai turunnya performa ritel. Untuk itu ia masih ingin menganalisa lebih lanjut.  "Kami akan terus memonitor perubahan dari perekonomian akibat era digitalisasi. Jadi dalam hal ini, adanya ritel yag berubah bentuknya ataukah ritel secara fisik tutup lalu pindah ke online. Atau memang yang awalnya online, semuanya menjadi satu perhatian kita," kata Ani, sapaan akrabnya.

Bersamaan dengan itu, Ani menyebut bahwa pemerintah akan segera menyesuaikan formulasi kebijakan yang ada saat ini untuk mengikuti perkembangan ekonomi yang telah berubah dari sentimen-sentimen tersebut, termasuk digitalisasi. "Saya sampaikan kami akan terus memantau dan merespon dengan berbagai kebijakan-kebijakan, baik dari sisi belanja negara, perpajakan, dan penerimaan negara," pungkas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

No comments:

Post a Comment